”Diiming-imingi Produk Asuransi Apa Pun, Saya Tak Mau”
Kasus gagal bayar Jiwasraya yang notabene berstatus BUMN telah melukai nasabah. Akibatnya, kepercayaan nasabah memudar, tak hanya kepada Jiwasraya, tetapi juga kepada industri asuransi nasional
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
Kasus gagal bayar Jiwasraya yang notabene berstatus badan usaha milik negara telah melukai nasabah. Akibatnya, kepercayaan nasabah memudar, tak hanya kepada Jiwasraya, tetapi juga kepada industri asuransi nasional.
Trauma terhadap produk asuransi melekat pada Hornady Setiawan (46), nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang tinggal di Jakarta Selatan. ”Saya trauma, tak mau lagi percaya pada industri asuransi di Indonesia. Yang dikelola negara saja tak bisa dipercaya, apalagi yang bukan. Diiming-imingi produk asuransi apa pun, saya tak mau,” tuturnya saat dihubungi, Selasa (21/1/2020) malam.
Hornady mengambil polis JS Saving Plan sejak Januari 2018. Jatuh tempo polis tersebut pada Januari 2019. Akan tetapi, dia belum mendapatkan pembayaran dari Jiwasraya hingga saat ini.
Kabar pembayaran yang tertunda itu pun tak disampaikan langsung oleh Jiwasraya. Hornady mendapatkan kabar itu melalui surat dari KEB Hana yang menyatakan adanya penundaan pembayaran akibat tekanan likuiditas.
Padahal, Hornady akan menggunakan uang itu demi kepentingan kuliah anaknya di sebuah kampus swasta, yaitu untuk pembayaran biaya semesteran. Akibatnya, dia mesti meminjam uang ke saudara untuk membayar uang kuliah tersebut.
Penundaan pembayaran itu juga mengganggu keuangan bisnis Hornady yang berada di skala usaha mikro, kecil, dan menengah. ”Kasus penundaan pembayaran sungguh berdampak pada roda kehidupan keluarga saya. Rasanya berat sekali untuk menjalankan bisnis dan melunasi tagihan-tagihan,” katanya.
Oleh sebab itu, Hornady berharap pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan menyelesaikan pembayaran kepada nasabah secara profesional. Menurut dia, pembayaran jatuh tempo itu mesti ditaati.
Orangtua
Lunturnya kepercayaan terhadap industri asuransi nasional juga dialami Vin (29), nasabah yang tinggal di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ”Awalnya saya percaya, uang saya dikelola secara aman di Jiwasraya karena merupakan perusahaan BUMN. Kini, kalau tidak ada jaminan dari negara terkait pembayaran, bagaimana saya bisa percaya,” katanya saat dihubungi, Rabu (22/1/2020).
Vin mengambil produk JS Saving Plan sejak awal 2017. Namun, saat jatuh tempo pada awal 2019, dia mendapatkan pesan teks dari Jiwasraya terkait penundaan pembayaran.
Padahal, uang yang disetorkan Vin berasal dari dana pensiun orangtuanya. Dia menceritakan, orangtuanya mempercayakan uang itu kepada Vin untuk dikelola sebagai sumber biaya kesehatan dan berobat.
Akibat penundaan pembayaran ini, lanjut Vin, kualitas fasilitas kesehatan dan pengobatan untuk kedua orangtuanya berubah drastis. Dia pun mesti meminjam uang dari saudara untuk biaya tersebut. ”Mulanya, saya biasa membawa orangtua saya ke Penang (Malaysia) untuk berobat. Sejak awal 2019, pengobatan berganti dengan fasilitas BPJS Kesehatan di rumah sakit umum daerah. Saya jadi merasa bersalah kepada orangtua saya karena mempertaruhkan nyawa mereka,” tuturnya.
Kasus penundaan pembayaran Jiwasraya ini membuat Vin tak lagi percaya kepada industri asuransi nasional. Namun, dia berharap pemerintah segera memberikan kepastian dan jaminan pembayaran kepada nasabah secara resmi.
Mengurangi karyawan
Penundaan pembayaran Jiwasraya turut mengganggu likuiditas keuangan usaha yang dikelola Haresh Nandwani (63), nasabah yang tinggal di Jakarta Pusat. ”Saat ini saya sedang mengurangi jumlah karyawan karena gangguan keuangan tersebut. Kepercayaan saya pada industri keuangan nasional pun hilang total,” katanya.
Haresh menceritakan, ia mengambil program bancassurance Jiwasraya pada 2017. Seharusnya, polisnya jatuh tempo pada Oktober 2018. Dia berencana menggunakan uang itu untuk perluasan usaha.
Oleh sebab itu, Haresh berharap pemerintah memprioritaskan pembayaran kepada nasabah yang sudah jatuh tempo. ”Mengusut penyebabnya itu penting. Namun, pembayaran kepada nasabah jauh lebih prioritas,” ujarnya.
Tak manusiawi
Selain itu, Haresh menilai, nasabah Jiwasraya yang menuntut haknya kepada Kementerian BUMN maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak ditangani secara manusiawi. Berdasarkan pengalamannya, dia pernah diusir dan dibentak oleh petugas satuan pengamanan (satpam) di kantor Kementerian BUMN.
Hornady juga mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan saat menuntut haknya ke kantor OJK. Sesampai di sana, dia tak dipertemukan oleh pejabat yang berwenang dan malah diusir petugas satpam. Dia pun menilai pemerintah dan OJK tidak menangani nasabah secara profesional.
Selama lebih dari setahun, Vin bolak-balik dari Kabupaten Bandung ke Jakarta untuk menuntut haknya. ”Saat ke kantor Kementerian BUMN, saya mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi. Saya ditempatkan di pos satpam bersama polisi, seolah-olah saya maling,” katanya.
Pentingnya kepercayaan
Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional Arief Safari menekankan, kepercayaan dalam bertransaksi penting bagi industri asuransi nasional. ”Negara harus hadir memulihkan hak konsumen (nasabah Jiwasraya) agar kepercayaan konsumen dalam jasa asuransi tetap terjaga,” katanya.
Oleh sebab itu, Arief mengusulkan pemerintah untuk memprioritas pembayaran kepada nasabah. Pemerintah juga mesti memerinci rencana pembayaran itu secara terbuka dan transparan kepada nasabah, baik dari sisi skema pembayaran maupun lini masanya.
Kasus Jiwasraya menjadi alarm pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi nasional. Agar industri asuransi nasional tetap berdaya, penting bagi pemerintah untuk segera membayarkan dana nasabah Jiwasraya.