Sektor nontambang dapat menjadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua, dengan prasyarat infrastruktur dan angkutan diperbaiki.
Oleh
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS— Sektor pariwisata dan perikanan atau lebih luasnya sektor nontambang dapat menjadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua. Namun, keterbatasan infrastruktur dan angkutan menguburkan potensi dua sektor tersebut.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura Izaac Tonny Matitaputty mengatakan, biaya transportasi ke kawasan timur Indonesia begitu tinggi sehingga menyulitkan kawasan itu berkembang. ”Maluku, misalnya, menjadi seolah abadi dalam keterbelakangan ekonomi,” ujar Izaac, Sabtu (8/2/2020), kepada Kompas.
Wisatawan pun tidak terlalu banyak terbang ke Maluku dan Papua karena mahalnya harga tiket penerbangan. Tiket penerbangan dari Jakarta ke Sorong pada Senin (10/2/2020), misalnya, lebih mahal dari Jakarta ke Da Nang, Vietnam, dengan waktu tempuh 6 jam 40 menit.
Kalau seperti itu, sampai kiamat pun Maluku susah maju.
Padahal, pariwisata dapat menjadi program pintas untuk membangkitkan perekonomian setempat. Apalagi, kawasan timur Indonesia dikaruniai alam dan budaya yang indah. Tanpa program pintas, tidak mudah mengembalikan pertumbuhan ekonomi kawasan itu yang minus 7,4 persen pada 2019.
Sejauh ini, banyak rencana infrastruktur di Maluku tidak dipenuhi pemerintah pusat dengan dasar minimnya populasi. ”Kalau seperti itu, sampai kiamat pun Maluku susah maju,” kata Wakil Gubernur Maluku Barnabas N Orno.
Agar perekonomian di wilayah kepulauan seperti Maluku bisa tumbuh, pemerintah pusat perlu memberikan perlakuan khusus. Alokasi dana wilayah kepulauan perlu memperhatikan luas laut. Selama ini, alokasi hanya menghitung luas daratan dan jumlah penduduk.
Izaac pun mengungkapkan, Maluku dapat maju dengan mengandalkan perikanan. Potensi perikanan di Maluku bahkan mencapai 3 juta ton per tahun atau sekitar 30 persen dari potensi nasional.
Sayangnya, tidak ada industri besar perikanan di Maluku. Ketika tangkapan ikan melimpah terkadang sulit terjual. Nelayan akhirnya terpaksa membuang ikan ke laut.
Dari sejumlah kawasan pesisir di Maluku, untuk dapat dipasarkan ke Jawa atau diekspor, hasil laut harus dibawa ke Ambon. ”Transportasinya susah dan mahal. Kalau nelayan lokal mau ekspor juga sulit karena biaya transpor yang mahal,” kata Izaac.
Nontambang
Adapun Papua, termasuk Papua Barat, harus menyusun rencana agar tidak bergantung pada sektor tambang. Terlebih lagi, penurunan pertumbuhan ekonomi Papua tahun 2019 dipicu penurunan produksi PT Freeport Indonesia akibat perubahan sistem penambangan.
Untuk membangun Papua, Bank Indonesia menyarankan pengembangan kluster sumber ekonomi sektor nontambang. Kluster itu antara lain kluster ikan tuna di Biak Numfor dengan produksi 50 ton per bulan, kluster cabai di Keerom dengan luas 3 hektar dan produksi 2 ton per bulan, serta kluster kopi di Wamena dengan luasan 50 hektar dan produksi 2 ton per bulan.
”Beberapa program itu sebagai percontohan pengembangan ekonomi agar dapat ditiru pemda di Papua,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua Naek Tigor Sinaga.
Kepala Subbidang Kawasan Khusus Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Alva Kapisa mengatakan, pihaknya telah menyiapkan program khusus untuk meningkatkan ekonomi Papua. Di antaranya, Program Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan Seluruh Rakyat Papua (Gerbangmas Hasrat Papua).
Program Gerbangmas Hasrat Papua fokus di tiga sektor, yakni kesehatan, pendidikan, dan ekonomi mikro, sejak tahun 2014 hingga 2018 dengan total anggaran sekitar Rp 700 miliar.
”Saat ini, ada program yang masih ditunda. Sebab, kami sedang fokus melaksanakan Pekan Olahraga Nasional XX di Papua (Oktober-November 2020),” ungkap Alva.