Perubahan model bantuan pangan mengubah lanskap perberasan nasional. Hulu dan hilir tak terintegrasi lagi, sementara instrumen stabilisasi dinilai semakin tumpul.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejak akhir Agustus 2019, Perum Bulog tidak lagi memasok beras untuk program beras sejahtera atau rastra seiring perubahan penuh bantuan pangan dari natura menjadi transfer langsung melalui bantuan pangan nontunai. Sejumlah kalangan mengingatkan adanya potensi masalah akibat perubahan tersebut.
Tahun ini, program bantuan pangan nontunai (BPNT) menjangkau 15,6 juta keluarga penerima manfaat. Mereka sebelumnya adalah rumah tangga sasaran program rastra yang sekaligus menjadi pangsa pasar (captive market) bagi Bulog. Perubahan tersebut berdampak serius terhadap instrumen stabilisasi harga, baik di tingkat konsumen maupun produsen dan petani.
Di hilir, saluran beras semakin sempit, sementara peran pemerintah melalui Bulog di hulu dianggap semakin lemah. Hal ini tecermin dari realisasi pengadaan gabah/beras dalam negeri yang cenderung turun. Oleh karena saluran semakin kecil di hilir, stok beras menumpuk di gudang.
Sampai pekan lalu, stok beras di gudang Bulog secara nasional mencapai 1,839 juta ton atau sekitar 60 persen dari total kapasitas, terdiri dari 1,718 juta ton cadangan beras pemerintah dan 121.162 ton beras komersial.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso saat ditemui di Jakarta, Rabu pekan lalu, menyebutkan, dari 1,839 juta ton itu, sekitar 900.000 ton merupakan bagian dari 1,718 juta ton beras yang diimpor pada 2018. Tertahannya stok beras di gudang menjadi persoalan. Selain membutuhkan usaha dalam penyimpanan, penumpukan stok menghambat penyerapan. ”Kalau tak ada peluang penyaluran, (kemampuan) Bulog menyerap terbatas,” ujarnya.
Stok beras di gudang-gudang Bulog di daerah sentra relatif besar dalam situasi menjelang panen raya musim rendeng 2019/2020. Di Cirebon, Jawa Barat, stok beras di gudang Bulog Cabang Cirebon mencapai 88.000 ton atau sekitar 78 persen dari total kapasitas. Adapun di Karawang, stok beras di gudang Bulog setempat mencapai 49.234 ton, 48 persen dari total kapasitas gudang 104.000 ton.
Bulog Wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) sampai Kamis (6/2/2020) masih menyimpan 83.000 ton dari 214.000 ton hasil penyerapan tahun lalu. ”Yang dulu saja masih tersisa. Sekarang, kami harus menyerap lagi. Kami akan kesulitan kalau (saluran) distribusinya terbatas,” kata Attar Rizal, Kepala Bulog Wilayah Sulselbar.
Tidak laku
Selain di gudang Bulog, stok beras di penggilingan dan pedagang masih relatif besar. ”Beras hasil panen (musim) rendeng dan gadu pada 2019 tidak begitu laku sehingga stok masih menumpuk,” kata Tulus Budiono, Ketua Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Jawa Tengah, pekan lalu.
Stok beras juga masih tersimpan di gudang petani. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sri Jaya Makmur di Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, misalnya, masih menyimpan 90 ton gabah kering giling dan lebih dari 50 ton beras hasil panen 212 petani anggotanya. Menurut Amrin, Ketua Gapoktan Sri Jaya Makmur, pihaknya kesulitan menjual beras karena harga di pasar rendah.
Harga pembelian oleh pedagang di pasar induk di Karawang dan Cipinang, misalnya, Rp 9.400 per kilogram (kg). Padahal, harga gabah telah mencapai Rp 6.300-Rp 6.500 per kg. Dengan harga gabah sebesar itu, ongkos produksi beras setidaknya Rp 9.840 per kg, belum termasuk biaya giling, karung, dan pengangkutan.
Menurut Arif (40), pedagang beras di pasar beras Martoloyo, Kota Tegal, Jawa Tengah, penjualan beras lesu setahun terakhir. Kini di gudangnya masih tersimpan sekitar 2 ton hasil pembelian akhir 2019. ”Setahun lalu masih bisa jual sedikitnya 3 kuintal per minggu, kini sekitar 1,5 kuintal seminggu,” ujarnya.
Harga pembelian
Selain penyaluran, realisasi penyerapan beras dalam negeri oleh Bulog juga terus turun, yakni dari 2,961 juta ton (2016) jadi 2,051 juta ton (2017) dan 1,488 juta ton (2018). Menurut Budi Waseso, selain karena saluran yang makin kecil, realisasi penyerapan rendah karena rendahnya harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras.
Hingga kini, Bulog masih berpegang pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Namun, HPP tertinggal oleh harga pasar. Akibatnya, Bulog tidak leluasa membeli gabah/beras dari petani, bahkan ketika pemerintah memberi kelenturan pembelian hingga 10 persen di atas HPP.
Budi berharap HPP disesuaikan agar penyerapan gabah/beras produksi dalam negeri lebih optimal. Apalagi, HPP menjadi instrumen penting untuk menjamin petani mendapatkan harga jual di atas ongkos produksi. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menyatakan, pemerintah berencana menyesuaikan HPP menjelang panen raya musim rendeng atau pada Maret 2020.
Budi berharap HPP disesuaikan agar penyerapan gabah/beras produksi dalam negeri lebih optimal.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan alternatif kebijakan beras hulu-hilir meski dia tidak menyebutkannya secara spesifik. Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, sistem tata kelola perberasan yang telah berlangsung 40 tahun macet ketika kebijakan beralih dari rastra ke BPNT. Dia mengusulkan pembaruan model bisnis Bulog demi menyokong perannya sebagai stabilisator harga dari hulu ke hilir secara berkelanjutan dan jangka panjang.
Salah satu alternatif pembaruan itu ialah dengan membangun jaringan perdagangan melalui sistem elektronik (e-dagang) khusus untuk beras. Hal ini membutuhkan infrastruktur beserta sistem logistik yang dapat menghubungkan seluruh penggilingan padi secara nasional, ritel, hingga konsumen.(MEL/IKI/XTI/HRS/ REN/MKN/JUD)