JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan menyayangkan rencana pemerintah untuk membuka keran ekspor benih lobster. Kebijakan ekspor benih secara terbatas akan memukul upaya pengembangan budidaya lobster di Tanah Air.
”Kalau ekspor benih dibuka, walaupun secara ketat, tidak ada jaminan ekspor ilegal lewat jalan tikus akan berhenti. Buktinya, ketika pemerintah menutup keran ekspor benih lobster, penyelundupan marak. Aparat belum serius menegakkan aturan,” kata Amin Abdullah, Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/2/2020).
Amin yang dihubungi dari Jakarta menyatakan penolakannya terhadap rencana pemerintah membuka keran ekspor benih lobster. Amin dan sejumlah pembudidaya pembesaran lobster di Lombok Timur menilai, pembukaan keran ekspor benih lobster berpotensi memicu eksploitasi benih secara besar-besaran dan penyelundupan benih lobster.
Kebijakan ekspor itu dikhawatirkan akan membuat pembudidaya tidak mampu bersaing menyediakan benih lobster. Itu karena harga benih menjadi mahal dan sulit didapat.
Amin menambahkan, pemerintah harus becermin dari masalah pengelolaan perikanan yang memicu kelangkaan. Ia mencontohkan penangkapan cumi-cumi yang masif di Selat Alas oleh nelayan Lombok Timur. Pada 1970-1990 tidak ada yang memprediksi cumi-cumi yang melimpah di Selat Alas akan habis. Hasil tangkapan yang melimpah itu dikirim ke Jepang. Akibat eksploitasi besar-besaran, kini nelayan kesulitan menangkap cumi-cumi sehingga harus mencari ke perairan Sumba di Nusa Tenggara Timur.
Baca juga: Keran Ekspor Benih Lobster Akan Dibuka
Tak berpihak
Pembudidaya lobster di Sibolga, Sumatera Utara, Effendy Wong, menilai, kebijakan ekspor benih lobster menunjukkan pemerintah tidak berpihak terhadap upaya pengembangan budidaya lobster di Tanah Air. Sebaliknya, ekspor benih lobster justru akan memajukan budidaya lobster di Vietnam yang selama ini mengandalkan pasokan benih dari Indonesia.
”Pemerintah harus sadar bahwa perkembangan budidaya di Indonesia yang lambat antara lain karena regulasi yang kurang berpihak kepada pembudidaya,” ujar Effendy.
Ia menambahkan, budidaya lobster dalam negeri harus berhadapan dengan Vietnam yang jauh lebih maju. Minat pemodal nasional untuk berperan dalam budidaya lobster bisa merosot.
Indonesia juga dipastikan akan kalah bersaing dengan Vietnam untuk mengisi pasar China. Itu karena produk Vietnam masuk ke China cukup melalui jalan darat, sedangkan produk Indonesia harus menggunakan pesawat dan kena pajak impor.
”Indonesia yang memiliki banyak benih lobster seharusnya bisa mengatur pasar lobster dunia jika benih lobster tidak dibawa ke luar negeri,” ujarnya.
Dari rilis Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, penyelundupan benih lobster selama ini marak, antara lain ke Vietnam dan Singapura. Benih selundupan asal Indonesia dibesarkan hingga ukuran konsumsi sehingga memberi nilai tambah besar.
Indonesia yang memiliki banyak benih lobster seharusnya bisa mengatur pasar lobster dunia.
Rencana kebijakan membuka penangkapan benih lobster untuk budidaya dan ekspor secara terbatas dipaparkan dalam forum konsultasi publik: ”Arah Baru Kebijakan: Bergerak Cepat untuk Kesejahteraan, Keadilan, dan Keberlanjutan”, yang diselenggarakan Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP) pada Rabu (5/2).
Ketua KP2-KKP Effendi Gazali, Senin, berpendapat, lobster tidak akan punah dalam waktu dekat karena tidak termasuk daftar Appendix CITES dan daftar merah Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Dari hasil kajian Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah telur lobster sebanyak 26,9 miliar per tahun, sedangkan potensi benih lobster 12,3 miliar per tahun.
Menurut Wakil Ketua Umum KP2-KKP Bidang Riset dan Pengembangan Bayu Priyambodo, Indonesia memiliki wilayah sink population, yakni populasi benih lobster sangat banyak, tetapi populasi dewasanya sangat jarang. Benih lobster di lokasi sink population itu akan mati sia-sia jika tidak dimanfaatkan.
”Harus ada pemanfaatan sumber daya alam. Kalau (benih lobster) dibiarkan di alam, akan mati sia-sia,” ujar Bayu, yang juga peneliti lobster KKP.
Menurut Bayu, budidaya lobster di Indonesia sudah tertinggal hampir 30 tahun dibandingkan dengan Vietnam. Indonesia tetap akan mengembangkan budidaya lobster, tetapi perlu waktu dan tahapan, termasuk pengembangan budidaya pakan lobster dan teknologi. Permintaan benih lobster untuk budidaya diperkirakan masih sangat sedikit dalam jangka pendek.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mempertanyakan metode pengukuran potensi benih lobster yang terkesan dipaksakan. Benih lobster merupakan plasma nutfah Indonesia yang seharusnya dijaga dan dikelola melalui budidaya lobster di Tanah Air.
”Penangkap benih lobster bisa dialihkan menjadi pembudidaya lobster dengan pendampingan intensif,” ujarnya.
Ia juga menyoroti metode penetapan kuota ekspor dan penunjukan pihak yang boleh mengekspor benih lobster. Selain itu, pemerintah juga perlu menerapkan mekanisme pengawasan ketat.