PT Semen Indonesia (Persero) Tbk merilis ulang mereknya menjadi SIG. Perubahan ini untuk menghadapi perubahan yang cepat dan dinamis.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan BUMN mesti bisa mengamati dan menyikapi perubahan dalam peradaban. Sebab, pada titik perubahan tersebut, banyak bisnis yang mati. Namun, pada saat yang sama, terbuka kesempatan bagi bisnis baru untuk tumbuh dan berkembang.
”Di dalam perkembangan peradaban akan terjadi satu titik infleksi, yakni terjadi perubahan signifikan. Sebagai suatu entitas bisnis, kita mesti selalu mengantisipasi,” kata Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin dalam acara The Corporate Rebranding of Semen Indonesia di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Pada kesempatan itu, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk mengenalkan logo baru SIG. Upaya itu merupakan bagian transformasi perseroan membangun kehidupan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Staf Ahli Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Gani Ghazaly Akman saat membacakan sambutan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, di era disrupsi, ketika terjadi perubahan yang sangat cepat dinamis, harus beradaptasi agar tidak tertinggal.
Direktur Utama Semen Indonesia Hendi Prio Santoso menyampaikan, SIG memiliki visi tak hanya hadir sebagai produsen semen. Namun, juga akan hadir sebagai penyedia produk material bangunan dan jasa solusi bangunan terintegrasi di kawasan regional.
Director of Marketing and Supply Chain Management Semen Indonesia Adi Munandir menuturkan, penduduk Indonesia dalam 10 tahun mendatang akan bertambah 28 juta orang. Pertambahan jumlah penduduk ini memunculkan peluang dan tantangan.
”Misalnya, total kekurangan rumah saat ini 7,6 juta unit. Kalau termasuk dengan rumah tidak layak huni yang harus diperbaiki, total 11 juta rumah. Artinya, dalam waktu satu tahun harus ada 700.000 rumah tambahan,” kata Adi.
Adi menuturkan, Indonesia juga harus menambah infrastruktur. Saat ini akan ada tambahan pembangunan 2.000 kilometer (km) jalan tol, 2.500 km jalan nasional, dan 38 bendungan multiguna. ”Sebanyak 25 bandara baru harus dibangun dan rehabilitasi lebih dari 125 bandara,” ujarnya.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah tidak semua kebutuhan membangun infrastruktur dapat dipenuhi dari dalam negeri. Indonesia harus mengimpor 71 persen lebih dari kebutuhan aspal untuk membangun infrastruktur jalan.
”Bayangkan, kita harus mengimpor 421 juta dollar AS pada 2018. Sebanyak 56 persen dari konsumsi tersebut adalah untuk perbaikan jalan,” kata Adi.
Adi menambahkan, tantangan lain yang dihadapi adalah menyangkut sampah, limbah, dan masalah lingkungan. ”Ada 64 juta ton sampah kota dan 20 juta ton lebih sampah industri dalam satu tahun,” ujarnya. (CAS)