Belanja Tinggal Klik dan Tempel, Tak Terasa Pengeluaran Membengkak
Tanpa disadari, kemudahan berbelanja dan pembayaran melalui teknologi finansial ternyata membuat masyarakat membeli barang-barang yang sebetulnya tidak menjadi kebutuhan.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
Kombinasi antara layanan jasa keuangan berbasis teknologi finansial (financial technology) dan platform toko dagang elektronik atau e-dagang memang memberi kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam berbelanja. Belum lagi berbagai promo yang ditawarkan oleh layanan-layanan tersebut membuat konsumen merasa harga barang menjadi murah.
Tanpa disadari, kemudahan berbelanja dan pembayaran melalui teknologi finansial (tekfin)ternyata membuat masyarakat membeli barang-barang yang sebetulnya tidak menjadi kebutuhan. Namun, kebiasaan ini telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang menambah pengeluaran.
Bank Indonesia mencatat, nilai transaksi uang elektronik terus meningkat dalam delapan tahun terakhir. Nilai transaksi dengan uang elektronik meningkat dari Rp 1,97 triliun (2012) menjadi Rp 145,17 triliun (2019).
Tahun 2019 tercatat sebagai nilai transaksi uang elektronik tertinggi dengan peningkatan hingga 207,56 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 47,19 triliun (2018). Volume transaksi pun meningkat dari 2,92 miliar kali transaksi (2012) menjadi 5,23 miliar kali transaksi (2019).
Uang elektronik meliputi uang dalam bentuk kartu elektronik seperti e-money dan layanan teknologi finansial seperti Gopay, Ovo, dan Dana.
Mudah
Budianto (26), karyawan swasta di Jakarta yang ditemui pada Rabu (12/2/2020), menyampaikan, bertransaksi dengan tekfin sangat mudah karena cukup dengan mengklik layar ponsel. Tanpa harus berjalan kaki, ia sudah bisa membeli sesuatu.
Produk tekfin yang dimilikinya antara lain Ovo, Gopay, Dana, dan LinkAja. Khusus untuk Ovo dan Gopay, Budianto mengatakan selalu mengisi Rp 100.000 untuk masing-masing produk tersebut.
Ia pun mengaku, layanan tekfin telah membawanya pada perilaku konsumtif. Misalnya, kebiasaan membeli kopi saat kumpul bersama teman-temannya telah menambah pengeluaran yang sebenarnya dapat ditabung.
Menurut Budianto, dari kebiasaan minum kopi bersama teman-teman, ia harus merogoh kocek Rp 50.000 per hari untuk satu gelas kopi. Kalau dirata-rata, dalam sebulan ia dapat mengeluarkan Rp 800.000 hingga Rp 1 juta untuk membeli kopi.
Tak hanya ketika berkumpul, saat menunggu transportasi umum pun demikian. ”Misalnya, kalau lagi menunggu kereta di stasiun. Sebenarnya tujuan awal cuma mau naik kereta. Tetapi karena melihat ada promo di kedai kopi dan kayaknya enak, jadi tertarik untuk beli,” ucapnya.
Paulina (24), karyawan swasta di Jakarta, juga memiliki kebiasaan serupa. Ia biasa membeli kopi atau minuman lainnya seharga Rp 30.000 per gelas, yang jika dirata-rata mencapai Rp 300.000 per bulan. Belum lagi membeli pakaian atau produk perawatan kulit hingga Rp 300.000 per bulan.
”Karena sudah menjadi kebiasaan dan bayarnya juga mudah (pakai tekfin), jadi enggak kepikir itu sebagai pengeluaran tambahan. Ternyata lumayan juga ya jumlahnya,” katanya.
Bagi Paulina, transaksi tekfin membuat dirinya cukup konsumtif. Sebab, pengeluaran uang menjadi tidak terasa mengingat yang berkurang bukan dalam bentuk uang fisik. ”Apalagi konsumen diiming-imingi promo cashback sehingga terasanya hanya sedikit yang dikeluarkan,” ucapnya.
Begitu pula yang dirasakan Muthia (24). Karyawan swasta di Jakarta ini mengakui, secara psikologis, membayar dengan uang tunai akan lebih terasa kehilangan, tetapi dengan tekfin menjadi tidak terasa. Kemudahan bertransaksi ini yang mendorong perilaku konsumtif.
”Ada anggapan, ’membeli barang A lebih hemat karena ada cashback’, tetapi sebenarnya lebih hemat jika tidak membeli barang itu sama sekali. Kecuali produk yang termasuk kebutuhan pokok atau menunjang pekerjaan,” ucap Muthia.
Kesulitan menabung
Muthia mengaku, akibat meningkatnya perilaku konsumtif, ia kesulitan menabung.
Tak hanya Muthia, karyawan swasta lainnya, Yolanda (23), juga mengaku sulit menabung. ”Apalagi sekarang ada belanja online, jadi lebih mudah dan saya mudah tergiur dengan promo besar. Jadi lupa menabung,” ucapnya.
Tentu saja, tidak semua orang menjadi lebih konsumtif akibat berbagai kemudahan dalam berbelanja. Sebagian pengguna tekfin nyatanya tetap disiplin dalam mengatur belanja dan keuangannya. Misalnya Ira (27), karyawan swasta di Jakarta, juga menggunakan berbagai produk tekfin, antara lain Ovo, Gopay, Dana, LinkAja, dan Shopee Pay, tetapi tetap mengatur pengeluaran.
”Penggunaan cashless itu bergantung pemakainya. Kalau saya menggunakan cashless sesuai kebutuhan, bukan kemauan. Tentu dengan pertimbangan promo, semisal cashback,” kata Ira.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, mengatakan, setiap orang harus mengukur berapa pendapatan dan belanja yang wajar. Idealnya, kita dapat menabung atau berinvestasi sebesar 30 persen dari gaji setiap bulan.
Perilaku konsumtif, menurut Bhima, juga harus diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Jika tidak demikian, akan ada kemungkinan berutang untuk sekadar memenuhi gaya hidup.
”Jangan sampai promo-promo itu membuat kita menjadi gelap mata. Setelah diakumulasi, ternyata pengeluaran tersebut lebih kepada pemborosan dan bisa berujung pada utang,” ujar Bhima.
Selain itu, Bhima juga mengingatkan agar masyarakat, khususnya milenial, memiliki prinsip. Tidak mudah latah dengan gaya hidup yang ada di media sosial karena pendapatan setiap orang berbeda-beda.