Nelayan Kecil Tak Tersentuh
Sebagian besar pelaku usaha perikanan di Indonesia adalah nelayan dan pembudidaya kecil. Kelompok ini yang mestinya diangkat agar naik kelas.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi kebijakan yang disusun Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai lebih berpihak pada sebagian kelompok. Namun, tak menyentuh kaum marjinal.
Rencana kebijakan itu juga belum menjawab persoalan mendasar di Tanah Air, yakni penguatan nelayan dan pembudidaya skala kecil.
Hal itu antara lain tergambar dalam masukan publik tentang rencana pemerintah merevisi kebijakan di sektor kelautan dan perikanan. Revisi terkait 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kesempatan bagi publik untuk menyampaikan masukan terkait rencana revisi kebijakan itu berakhir pada Selasa (11/2/2020).
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate Janib Achmad mengemukakan, rancangan kebijakan yang disusun saat ini cenderung mengarah ke elite pengusaha. Sebaliknya, kebijakan itu belum berpihak pada kelompok mayoritas yang marjinal.
Pemerintah telah membuka komunikasi dengan pemangku kepentingan. Namun, yang dilibatkan hanya terbatas yang memiliki akses. Padahal, nelayan kecil dan tradisional tidak memiliki akses terhadap rancangan kebijakan perikanan.
”Kebijakan pemerintah tidak memiliki sensitivitas terhadap kelompok nelayan marjinal dan nelayan tradisional. Kebijakan ini lebih banyak membantu mereka yang punya akses,” katanya, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Janib mencontohkan rencana membuka usaha penangkapan ikan bagi pemodal asing. Di sisi lain, infrastruktur nelayan kecil yang mendominasi pelaku usaha penangkapan ikan di Tanah Air tidak disiapkan. Apabila kebijakan itu diberlakukan, daya saing nelayan nasional semakin merosot.
Baca juga : Pembesaran Lobster Terpukul
Sebagian besar pelaku usaha perikanan di Indonesia merupakan nelayan dan pembudidaya skala kecil. Sekitar 64 persen nelayan merupakan nelayan tradisional yang minim akses permodalan, teknologi, dan jangkauan pasar.
Menurut Janib, kebijakan pemerintah mestinya menjawab berbagai persoalan mendasar agar tingkat kesejahteraan mayoritas pelaku usaha perikanan meningkat. Akan tetapi, rancangan kebijakan saat ini cenderung mengarah pada elite pengusaha dan belum berpihak pada kelompok mayoritas yang marjinal.
Benih lobster
Janib juga menyoroti rencana pemerintah membuka ekspor benih lobster secara ketat dan terbatas. Kebijakan itu dinilai tidak akan mampu menyejahterakan nelayan penangkap lobster. Sebaliknya, menguntungkan pengepul dan pemodal ekspor benih.
Rencana ekspor benih lobster sejalan dengan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI.
Janib menambahkan, pada saat kebijakan larangan ekspor benih lobster diterapkan pada 2015-2019, penyelundupan benih masih marak. Apabila ekspor benih lobster dilegalkan, pasokan benih lobster ke luar negeri diprediksi kian marak.
Disamping itu, eksploitasi besar-besaran benih lobster diprediksi akan terjadi dengan beragam cara dan teknologi. Sulit memastikan pengetatan ekspor akan efektif membendung eksploitasi. Sebaliknya, jika ekspor benih lobster tetap dilarang, nelayan akan memperoleh manfaat ganda, yakni akses pasar dan budidaya (pembesaran) lobster akan berkembang.
”Perlu diingat, pemainnya adalah mereka yang punya modal besar. Nelayan hanya bertahan hidup dengan menangkap benih lobster, tetapi keuntungan besar di tangan pengepul dan pemodal,” katanya.
Salah satu lokasi pembesaran lobster ada di Dusun Telong-Elong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tengga Barat. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pernah mengunjungi lokasi itu pada Desember 2019 dan berdialog dengan masyarakat di sana.
Nelayan hanya bertahan hidup dengan menangkap benih lobster.
Secara terpisah, Abdullah, petani lobster di Jerowaru, menyampaikan harapan agar ekspor benih lobster dibatalkan. Revisi peraturan diharapkan mendorong pengembangan budidaya lobster, termasuk penangkapan benih untuk dibesarkan di dalam negeri.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik mengingatkan, mayoritas pelaku usaha perikanan adalah nelayan dan pembudidaya skala kecil. Oleh karena itu, arah baru kebijakan nasional harus mampu memperkuat skala ekonomi nelayan kecil dan tradisional berbasis koperasi untuk naik kelas. Selain itu, memperkuat kualitas kemitraan nelayan kecil, menengah, dan besar. Kemitraan nelayan dengan industri pengolahan dan pasar serta akses pembiayaan dan teknologi mesti ditingkatkan. Hal yang tak kalah penting adalah memperkuat perikanan budidaya pada komoditas unggulan.
”Forum konsultasi publik belum menunjukkan upaya sungguh-sungguh menjawab persoalan sektor kelautan dan perikanan serta upaya melindungi dan memajukan potensi besar nelayan kecil dan tradisional untuk naik kelas,” ujarnya.
Ia mengapresiasi konsultasi publik yang dibuka pemerintah. Namun, ia menyarankan agar konsultasi publik dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
Substansi yang dibahas dalam 29 peraturan yang akan direvisi membutuhkan pembahasan yang lebih matang, antara lain membentuk komite-komite yang terkait dengan aturan yang direvisi.
”Tanpa hal tersebut, proses konsultasi publik berpotensi didominasi salah satu kelompok, tidak menjawab akar persoalan, atau bahkan melahirkan persoalan dan kegaduhan baru,” katanya. (LKT)