Produksi gula konsumsi tahun ini diperkirakan turun 5,7-10,19 persen akibat mundurnya jadwal tanam. Petani berharap impor jangan sampai menekan harga gula petani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemarau panjang tahun lalu membuat masa tanam dan panen tebu mundur 1-2 bulan tahun ini. Akibatnya, produksi gula untuk kebutuhan konsumsi diperkirakan turun.
Produksi gula konsumsi dari tebu petani, menurut Asosiasi Gula Indonesia (AGI), diperkirakan 2-2,1 juta ton. Jumlah itu turun dibandingkan dengan produksi tahun 2019 yang mencapai 2,227 juta ton.
Direktur Eksekutif AGI Budi Hidayat dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/2/2020), mengatakan, meski luas lahan tebu giling meningkat dari 411.435 hektar tahun 2019 menjadi 413.432 hektar tahun 2020, tingkat produktivitas gula diperkirakan turun 10 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 5,41 ton per hektar.
Adapun rendemen gula diperkirakan turun dari 8,03 persen menjadi 7,55 persen. ”Penurunan itu akibat kemarau panjang tahun lalu,” ujarnya.
Sementara itu, kebutuhan gula konsumsi diperkirakan naik dari 3,095 juta ton tahun lalu menjadi 3,163 juta ton tahun ini. Dengan stok awal tahun 1,08 juta ton dan perkiraan produksi 2-2,1 juta ton, defisit gula konsumsi diproyeksikan 29.000 ton tahun ini.
Menurut anggota Ikatan Ahli Gula Indonesia, Yadi Yusriadi, defisit gula sudah terasa saat ini. Indikatornya, harga gula di tingkat konsumen naik. Menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, rata-rata harga gula di tingkat konsumen naik dari Rp 13.950 per kilogram pada 2 Januari 2020 menjadi Rp 14.450 per kg pada 12 Februari 2020.
AGI mengusulkan impor 1,4 juta ton gula mentah untuk produksi gula konsumsi dan mengamankan stok awal 2021. Angka itu termasuk sekitar 400.000 ton sisa kuota tahun lalu.
Lindungi petani
Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen ragu produksi gula nasional tahun 2020 bakal optimal. Kemarau panjang menyebabkan mundurnya masa tanam, terutama di lahan tebu yang mengandalkan air hujan. Penurunan produksi bisa berdampak pada kesejahteraan petani.
Akibat kemarau panjang tahun lalu, awal tanam mundur. Masa panen dengan kualitas optimal pun mundur hingga Juni-Juli. Oleh karena itu, Soemitro berharap pabrik gula menyesuaikan waktu penggilingan dengan masa panen. Itu karena, jika penggilingan tetap digelar pada Mei-Juni, kualitas tebunya tidak optimal.
Kalangan petani berharap gula diimpor dalam wujud kristal putih untuk konsumsi, bukan gula mentah. Dengan demikian, pabrik gula tetap menggiling tebu hasil panen petani. ”Kami juga ingin harga menggairahkan petani untuk merawat tebunya. Kami ingin gula petani dibeli minimal Rp 12.500 per kg,” katanya.
Keterbukaan
Neraca yang dipaparkan AGI tidak mencakup gula industri. Menurut Yadi, kebutuhan gula industri berkisar 3,1 juta ton tahun ini. Kebutuhan untuk industri sepenuhnya dari gula mentah yang diimpor dan diolah oleh industri gula rafinasi. Pemerintah menetapkan kuota impor gula 3,2 juta ton.
Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community Colosewoko mengatakan, neraca gula nasional mencakup komponen impor, produksi dalam negeri, stok awal, dan konsumsi. ”Namun, butuh keterbukaan data terkait realisasi impor dan penggunaannya,” katanya.