Investasi Jangan Abaikan Kepentingan Buruh
RUU Cipta Kerja bertujuan memperbaiki iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun, regulasi itu jangan sampai mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan buruh.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyerahkan surat presiden dan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (12/2/2020). Penyerahan draf RUU itu menandai segera dimulainya pembahasan regulasi berkonsep sapu jagat itu di Parlemen.
RUU itu diserahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly kepada Ketua DPR Puan Maharani.
Penyerahan itu diwarnai unjuk rasa buruh yang tergabung dalam Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) di depan Gedung DPR/MPR/DPD. Mereka menolak RUU Cipta Kerja karena proses formal penyusunan draf RUU itu dinilai tertutup dan tidak melibatkan buruh. Selain itu, substansi RUU dikhawatirkan bisa mengancam kesejahteraan buruh.
Tertutupnya penyusunan regulasi itu membuat para pekerja tidak mendapatkan kesempatan turut menentukan isi substansi RUU Cipta Kerja. Mereka khawatir dan tidak ingin regulasi itu merugikan buruh demi meningkatkan investasi.
Ada sembilan poin yang dikhawatirkan bisa mengancam hak dan kesejahteraan buruh. Salah satunya adalah pengurangan pesangon bagi pekerja yang diputus hubungan kerja (PHK). Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, besar pesangon bagi buruh maksimal sembilan bulan dan dapat berlipat ganda untuk jenis PHK tertentu sehingga pesangon bisa mencapai 18 bulan upah.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, akan ada perubahan formula pemberian pesangon yang akan mengurangi jumlah pesangon. ”Pada dasarnya kami mendukung investasi masuk, tetapi jangan sampai buruh dianggap sebagai faktor penghambat investasi sehingga RUU ini mereduksi hak-hak dan kesejahteraan pekerja,” kata Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea.
Pada dasarnya kami mendukung investasi masuk, tetapi jangan sampai buruh dianggap sebagai faktor penghambat investasi.
Libatkan buruh
Menurut Andi, pemerintah baru melibatkan asosiasi buruh untuk membicarakan substansi draf RUU Cipta Kerja pada Selasa (11/2/2020) malam. Padahal, proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja itu berlangsung sejak Presiden Joko Widodo mencetuskan penyederhaan regulasi melalui omnibus law dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
Andi berharap, ketika pembahasan bergulir di DPR nanti, buruh bisa diajak masuk dalam tim pembahasan. ”Kami siap untuk itu, kami punya tim dewan pakar. Kami harap DPR tidak sembunyi-sembunyi seperti pemerintah,” katanya.
Kami siap untuk itu, kami punya tim dewan pakar. Kami harap DPR tidak sembunyi-sembunyi seperti pemerintah.
Pada 7 Feburari 2020, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Tim itu terdiri dari perwakilan pengusaha, pemerintah, dan akademisi.
Baca juga: Kembali Berunjuk Rasa, Buruh Tak Ingin Dikorbankan demi Investasi
Menanggapi hal itu, Ida Fauziyah mengemukakan, selama ini pemerintah sudah berupaya melibatkan kelompok buruh dan meminta masukan. Sejumlah pertemuan sudah dilakukan antara pemerintah dengan beberapa konfederasi dan serikat pekerja untuk menyosialisasikan RUU tersebut.
”Ini masih rancangan, akan ada ruang publik nanti untuk mendiskusikannya ketika sudah dibahas di DPR,” ujarnya.
Ida juga membenarkan, jumlah pesangon akan berkurang karena ada perubahan formula pemberian pesangon di draf RUU Cipta Kerja. Namun, akan ada kompensasi yang ditawarkan pemerintah melalui formula Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam bentuk pemberian uang saku tunai, pelatihan vokasi, serta akses penempatan kerja baru.
”Jadi, ada plus-minusnya. Jumlah pesangon memang berkurang, tetapi ada formula lain yang akan diperoleh pekerja yang di-PHK,” kata Ida.
Baca juga: Setelah Sekian Lama, Buruh Baru Dimintai Masukan
Bonus ”pemanis”
Menurut Ida, pengurangan pesangon diperlukan karena tidak semua pengusaha mampu membayarnya dengan jumlah tinggi seperti selama ini. Namun, Ida tidak menjelaskan berapa signifikan pengurangan jumlah pesangon itu.
”Perlu dihitung, apakah pengusaha mampu memenuhi atau mencukupi? Jangan kita ngotot tinggi, tetapi pengusaha tidak mampu,” ujarnya.
Kompensasi lain yang ditawarkan pemerintah adalah bonus yang bisa mencapai lima kali gaji untuk pekerja aktif, bukan pekerja yang mengalami PHK. Bonus ”pemanis” ini akan diberikan satu kali dalam rentang waktu satu tahun setelah RUU Cipta Kerja disahkan.
Kompensasi lain yang ditawarkan pemerintah adalah bonus yang bisa mencapai lima kali gaji untuk pekerja aktif, bukan pekerja yang mengalami PHK.
Menurut Ida, bonus ini hanya berlaku untuk karyawan perusahaan besar, bukan perusahaan kecil, mikro, dan menengah. ”Begitu UU ini disahkan, ada semacam bentuk penghargaan yang diberikan kepada para pekerja. Bagaimana formula menghitungnya, itu akan diatur lebih detail,” ujarnya.
Baca juga: Memuluskan Jalan ”Omnibus Law”
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pada dasarnya RUU Cipta Kerja diharapkan bisa memuluskan masuknya investasi dan menciptakan banyak lapangan kerja. Terkait dengan keharusan pengusaha memberi bonus ”pemanis” bagi karyawan, itu tentu menjadi beban untuk pengusaha.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah bisa menyeimbangkan antara kepentingan pekerja dan pengusaha. ”Tidak semua perusahaan selama ini sanggup memenuhi ketentuan upah dan pesangon di UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Jangan terlalu populis
Hariyadi juga menyatakan, harus ada take and give, yakni bagaimana caranya agar yang menerima kompensasi merasa bisa lebih baik dan yang memberi kompensasi juga merasa lebih baik.
”Harapannya, hak-hak normatif pekerja tidak hilang, tetapi juga dibuat realistis, jangan terlalu populis. Tujuannya, kan, bagaimana menciptakan lapangan kerja dan berdampak positif bagi ekonomi,” katanya.
Harapannya hak-hak normatif pekerja tidak hilang, tetapi juga dibuat realistis, jangan terlalu populis. Tujuannya, kan, bagaimana menciptakan lapangan kerja dan berdampak positif bagi ekonomi.
Saat menemui perwakilan buruh, Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel berjanji, DPR akan memprioritaskan aspek kesejahteraan para pekerja dalam pembahasan draf tersebut. DPR akan memperjuangkan hak-hak buruh dan melihat secara riil kenapa pemerintah mau ada RUU ini.
”Tren investasi (di Indonesia) mulai turun pada era globalisasi. Memang, ini sangat rumit. Kita harus lihat bagaimana tetap mendapat investasi, tetapi tenaga kerja kita juga mendapat keuntungan dari investasi itu,” katanya.
Kita harus lihat bagaimana tetap mendapat investasi, tetapi tenaga kerja kita juga mendapat keuntungan dari investasi itu.
Berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2019 terhadap pelaku bisnis, ada 16 faktor yang dinilai menghambat investasi. Faktor utama adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, kebijakan tidak stabil, instabilitas pemerintah, serta tarif pajak. Faktor etos kerja buruh, pendidikan tenaga kerja, dan peraturan tenaga kerja ada di urutan tengah ke bawah.
Ekonomi Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan, pengaturan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang baik menjadi faktor penentu masuknya investor.
”Jika RUU Cipta Kerja ini sampai mengabaikan hak-hak buruh, tidak hanya buruh yang bingung, tetapi investor pun bingung. Investor patuh dan baik akan mempertanyakan sehingga menimbulkan pertanyaan, investor seperti apa yang diinginkan?” kata Bhima.