Pengusaha Optimistis UU Cipta Kerja Tingkatkan Serapan Tenaga Kerja
Ada 57 persen pekerja di Indonesia bekerja di sektor yang tidak ada kepastian. Meski angka kemiskinan menurun tiap tahun, masih ada sekitar 25 juta orang miskin. Pada kondisi seperti ini, mana yang harus didahulukan?
Oleh
Cyprianus anto saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan usaha dan industri optimistis, setelah berlaku nanti, Undang-Undang Cipta Kerja akan meningkatkan investasi. Dengan meningkatnya investasi, lapangan kerja akan tercipta sehingga akan meningkatkan serapan tenaga kerja.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit, Kamis (13/2/2020), mengatakan, regulasi sapu jagat cipta kerja diharapkan meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Lapangan kerja ini dibutuhkan puluhan juta orang di Indonesia.
Tahun lalu, pengangguran terbuka di Indonesia sebanyak 7,05 juta orang. Selain itu, setiap tahun ada penganggur baru sekitar 2,24 juta orang, setengah menganggur 8,14 juta orang, dan bekerja paruh waktu 28,41 juta orang.
”Sehingga total ada 45,84 juta orang atau 34,3 persen dari total angkatan kerja. Menurut saya, sebagian besar dari mereka berharap mendapatkan pekerjaan tetap,” kata Anton ketika dihubungi di Jakarta.
Regulasi sapu jagat cipta kerja diharapkan meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Lapangan kerja ini dibutuhkan puluhan juta orang di Indonesia.
Menurut Anton, proporsi pekerja informal dibandingkan dengan formal di Indonesia 57:43. Artinya, ada 57 persen pekerja di Indonesia bekerja di sektor yang tidak ada kepastian. Meski angka kemiskinan menurun tiap tahun, masih ada sekitar 25 juta orang miskin.
”Pada kondisi seperti ini, mana yang harus didahulukan? Apakah mendahulukan 45 juta orang yang memang membutuhkan pekerjaan atau mendahulukan yang sedang bekerja yang juga masih dilindungi oleh undang-undang?” ujar Anton.
Ia menegaskan, hal ini menyangkut masalah keadilan. Pemerintah tentu harus melihat kepentingan keseluruhan rakyat.
Rabu lalu, pemerintah telah menyerahkan surat presiden dan draf RUU Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penyerahan draf RUU itu menandai segera dimulainya pembahasan regulasi berkonsep sapu jagat itu di parlemen.
RUU itu diserahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly kepada Ketua DPR Puan Maharani.
Penyerahan itu diwarnai unjuk rasa buruh di depan Gedung DPR/MPR/DPD. Mereka menolak RUU Cipta Kerja karena proses formal penyusunan draf RUU itu dinilai tertutup dan tidak melibatkan buruh. Selain itu, substansi RUU dikhawatirkan bisa mengancam kesejahteraan buruh.
Tertutupnya penyusunan regulasi itu membuat para pekerja tidak mendapatkan kesempatan turut menentukan isi substansi RUU Cipta Kerja. Mereka khawatir dan tidak ingin regulasi itu merugikan buruh demi meningkatkan investasi.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia sekaligus juru bicara Gerakan Buruh Bersama Rakyat, Nining Elitos, mengatakan menolak tegas omnibus law. Omnibus law itu termasuk RUU Cipta Kerja dan Perpajakan.
”RUU Perpajakan juga akan mengurangi pendapatan negara, memberikan kemudahan atau keringanan bagi pengusaha, tetapi memberikan beban itu kepada rakyat. Ini tidak adil bagi rakyat,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Nining, sejak awal proses penyusunan omnibus law tidak terbuka atau tidak memberi ruang demokratisasi. Perwakilan buruh tidak mengetahui konsep, naskah akademis, dan daftar isian masalah regulasi itu.
”Kami tidak pernah diajak membahas. Tiba-tiba sudah jadi RUU di DPR,” katanya.