Tanpa Jaminan Suplai, Aturan Soal Harga Acuan Bakal Sia-sia
Pemerintah merevisi ketentuan tentang harga acuan pembelian dan penjualan sejumlah komoditas. Namun, tanpa pasokan yang terjamin, regulasi itu dinilai bakal sia-sia.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Regulasi itu merevisi kententuan serupa yang tertuang dalam Permendag Nomor 96 Tahun 2018.
Akan tetapi, kebijakan baru tentang harga acuan berpotensi sia-sia jika sisi suplai tak terjamin. Sebab, naik turunnya harga sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran.
Permendag 7/2020 ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada 5 Februari 2020 dan berlaku mulai 10 Februari 2020. Lewat regulasi ini, pemerintah menaikkan harga acuan pembelian di tingkat petani/produsen dan penjualan di tingkat konsumen untuk komoditas jagung serta telur dan daging ayam.
Berbeda dengan sebelumnya, regulasi ini memasukkan harga acuan bibit ayam. Namun, Ketua Umum Pengurus Pusat Pehimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Singgih Januratmoko berpendapat, kebijakan baru berpotensi sia-sia apabila tak dibarengi usaha pemerintah untuk mengendalikan pasokan.
Tanpa usaha pengendalian pasokan, harga di tingkat peternak tetap rentan anjlok. “Harga telur dan daging ayam terbentuk berdasarkan keseimbangan permintaan dan suplai,” kata Singgih saat dihubungi, Jumat (14/2/2020).
Harga acuan telur dan daging ayam masing-masing naik Rp 1.000 per kilogram (kg), baik pembelian di petani maupun penjualan di konsumen. Di tingkat peternak, harga acuan pembelian telur dan daging ayam ditetapkan Rp 19.000-21.000 per kg, rentang batas bawah dan batas atas.
Harga penjualan daging ayam di konsumen ditetapkan Rp 35.000 per kg. Sementara harga acuan penjualan telur ayam Rp 24.000 per kg. Harga bibit ayam umur sehari (DOC) untuk pedaging ditetapkan Rp 5.000-6.000 per ekor, sementara ayam petelur Rp 8.000-10.000 per ekor.
Menurut Singgih, pengendalian pasokan mesti dimulai dari hulu, yakni impor DOC sebagai bibit ayam galur murni (grandparent stock/GPS). Volume impor DOC GPS berdampak pada suplai ayam di tingkat akhir (final stock) dua tahun kemudian.
Suplai ayam pedaging tahun 2020, misalnya, berpotensi berlebih karena impor DOC tahun 2018 kelebihan 100.000 ekor dibandingkan angka perkiraan kebutuhan. Menurut data Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), impor DOC GPS tahun 2018 mencapai 743.827 ekor atau naik dibandingkan impor pada tahun 2017 yang 671.911 ekor.
Sesuai perhitungan
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto menyatakan, perubahan acuan ditetapkan berdasarkan perhitungan komponen pembentuk harga yang melibatkan kementerian/lembaga terkait dan pelaku usaha.
“Kami mendapatkan masukan bahwa bibit ayam, yang harganya cenderung tinggi dan fluktuatif, merupakan salah satu komponen utama pembentuk harga telur dan daging ayam ras. Hal ini dapat mengganggu kontinuitas produksi yang berdampak pada stabilitas harga dan ketersediaan pasokan telur dan daging ayam,” ujarnya.
Selain itu, permintaan DOC cenderung meningkat karena adanya tren berternak ayam. Dengan adanya ketentuan itu, dia berharap, peternak rakyat atau mandiri memperoleh kepastian berusaha dengan harga DOC yang terjangkau.
Di sisi lain, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Apindo, Anton J Supit menyatakan, penetapan aturan harga acuan mesti dibarengi kebijakan pengendalian pasokan. “Pemerintah seharusnya memiliki strategi ketika (telur dan daging ayam) kelebihan atau kekurangan suplai,” katanya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menegaskan fungsi badan penyangga dalam komoditas telur dan daging ayam. Ketika stok berlebih, badan penyangga membeli dengan harga acuan di tingkat peternak. Sebaliknya, saat stok kurang, badan penyangga menjual pasokan sesuai dengan harga acuan.
Permendag 7/2020 menugaskan Perum Bulog dan badan usaha milik negara untuk melaksanakan fungsi tersebut. Pelaksanaan penugasan itu diputuskan melalui rapat koordinasi tingkat menteri.