KNTI: Libatkan Seluruh Pemangku dalam Pengambilan Kebijakan
Pemerintah diharapkan melibatkan seluruh pemangku dalam merumuskan kebijakan kelautan dan perikanan. Diharapkan, kebijakan benar-benar mencerminkan kepentingan para pemangku, termasuk nelayan kecil.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia berharap pemerintah terus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan kelautan dan perikanan. Hal ini agar kebijakan tersebut benar-benar mencerminkan kepentingan para pemangku, termasuk nelayan kecil dan tradisional.
”Kami mengapresiasi dibukanya forum dialog multipihak yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di sektor kelautan dan perikanan,” kata Ketua Pelaksana Harian Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Dani Setiawan di Jakarta, Senin (17/2/2020).
Dani mengatakan hal tersebut pada konferensi pers bertema ”Memastikan Keadilan sebagai Sumbu dan Ujung Kebijakan Kelautan dan Perikanan”. Pada acara tersebut, KNTI menyampaikan pandangannya atas hasil konsultasi publik I yang diselenggarakan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan.
KNTI juga menyampaikan sejumlah masukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait revisi peraturan menteri (permen) serta arah baru kelautan dan perikanan.
”Forum kemarin dihadiri banyak pemangku kepentingan, dilakukan dari pagi sampai malam. Namun, kami lihat diskusinya menjadi kurang fokus karena banyak revisi permen-permen yang akan dibuat,” kata Dani.
Revisi di setiap permen tersebut membutuhkan penajaman dan pendalaman. ”Tidak boleh ada satu kelompok atau satu pihak yang mendominasi pembicaraan dan substansi dalam perumusan permen,” katanya.
Terkait hal itu, KNTI usul agar Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan terlebih dulu membentuk komite-komite di bawahnya. Komite dapat dibentuk berdasarkan jenis komoditas atau representasi pemangku kepentingan terkait permen yang akan direvisi, seperti komite lobster, komite nelayan tradisional, atau komite alat tangkap.
Terkait masukan atau catatan atas rencana revisi Permen Kelautan dan Perikanan, lanjut Dani, pada intinya KNTI meminta agar perubahan tersebut memperkuat instrumen operasional perlindungan nelayan serta pembudidaya skala kecil dan tradisional.
Selain itu, KNTI juga mendorong transformasi struktur ekonomi pelaku usaha perikanan yang lebih adil serta menegaskan kembali pelarangan penggunaan alat tangkap trawls atau yang menyerupainya.
”KNTI sejak lama mendorong pemerintah mengadopsi secara menyeluruh petunjuk sukarela yang dibuat FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) untuk menjamin perikanan skala kecil dan berkelanjutan dalam konteks ketahanan pangan serta pengentasan warga miskin. Termasuk juga bagaimana usaha-usaha perikanan kita mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia,” kata Dani.
Ketua Dewan Pakar DPP KNTI Ahmad Erani Yustika mengatakan, pembangunan ekosistem kelautan dan perikanan harus menyeimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang masing-masing memiliki kesamaan bobot.
Pembangunan ekosistem kelautan dan perikanan harus menyeimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
”Hal itu akan memungkinkan semua pemangku kepentingan kelautan dan perikanan yang terlibat di dalamnya akan mendapat faedah,” kata Ahmad Erani.
Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa besar. Apabila semua potensi tersebut didayagunakan dengan seluruh instrumen kebijakan ekonomi, sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian Indonesia pun akan luar biasa besar.
”Tetapi, kita bisa lihat, ekspor produk perikanan dan kelautan di Indonesia jauh di bawah Thailand dan Vietnam. Tahun 2018, misalnya, ekspor Indonesia hanya sekitar 4 miliar dollar AS, sedangkan Thailand sudah mencapai sekitar 12 miliar dollar AS dan Vietnam 9 miliar dollar AS,” kata Ahmad Erani.
Dia mengatakan, salah satu persoalan Indonesia adalah lemah di dalam transformasi ekonomi. ”Kami berharap kesejahteraan itu meningkat dengan cara membangun kebijakan, bukan hanya optimalisasi, tetapi menaikkan derajat nilai tambah dengan mengembangkan sektor manufaktur,” kata Ahmad Erani.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim menuturkan, utilisasi industri pengolahan ikan Indonesia masih sekitar 53 persen. Kementerian Perindustrian memetakan permasalahan utama industri pengolahan ikan adalah kekurangan bahan baku ikan.
Merujuk data tahun 2018, terdapat 718 perusahaan pengolahan ikan dengan kapasitas terpasang 2.772.000 ton. Dari volume kebutuhan ikan yang dibutuhkan industri sebesar 2.772.000 ton tersebut baru terpenuhi sekitar 1.482.100 ton.
Menurut Abdul Rochim, utilisasi yang rendah tersebut membuat industri pengolahan ikan Indonesia memiliki daya saing lemah dibandingkan industri negara lain, seperti India, Vietnam, dan Thailand.