Peran APBN melawan siklus perlambatan pertumbuhan ekonomi dioptimalkan. Konsumsi rumah tangga dijaga agar tidak merosot. Diharapkan, perekonomian RI terjaga meskipun tetap ada risiko arus modal keluar.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Dampak ekonomi akibat epidemi COVID-19 diantisipasi dengan menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan belanja negara. Kedua jenis konsumsi itu akan dipercepat lebih awal pada triwulan I-2020.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI pada 2019 sebesar 5,02 persen. Dari angka itu, konsumsi rumah tangga menyumbang 2,73 persen.
“Pada triwulan I-2020 sudah ada arahan untuk mendorong konsumsi belanja negara. Maka, pada saat yang sama bisa mengupayakan untuk mendorong konsumsi rumah tangga,” ujar Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Arif Baharudin di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, langkah untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari penyebaran Covid-19 difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong aktivitas produktif.
Pemerintah menyiapkan lima langkah untuk mendorong pertumbuhan konsumsi pada triwulan I-2020, yaitu mempercepat realisasi belanja kementerian/lembag. Realisasi belanja itu terutama belanja bantuan sosial dan belanja nonoperasional. Pemerintah juga mempercepat pembangunan lima destinasi pariwisata super prioritas, yakni Danau Toba, Borobudur, Likupang-Manado-Bitung, Labuan Bajo, dan Mandalika.
Selain itu, belanja padat karya untuk kegiatan produktif yang menyerap banyak tenaga kerja dipercepat. Hal yang juga dilakukan adalah mengoptimalkan peran APBN untuk melawan siklus perlambatan pertumbuhan ekonomi serta mempertajam program dan memperluas sasaran Kredit Usaha Rakyat.
Sejauh ini, virus korona tipe baru yang merebak dari Wuhan, China itu berdampak signifikan pada pergerakan arus orang dari China ke Indonesia.
“Pergerakan penumpang asal China ke Indonesia mencapai puncak pada 25 Januari 2020, lalu turun drastis. Kini jumlah penumpang dari China kurang dari 500 orang,” ujar Arif.
Arus modal
Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja berpendapat, epidemi COVID-19 tidak berpengaruh terhadap pasar obligasi Indonesia. Berdasarkan data historis, kasus penyebaran virus Sindrom Pernapasan Akut (SARS) pada 2003 dan Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2020 tidak berdampak negatif bagi pasar obligasi Indonesia.
“Sebaliknya, aset Indonesia dan arus modal keluar lebih sensitif terhadap kondisi pasar keuangan global, seperti saat gejolak akibat kebijakan ekonomi Amerika Serikat pada 2013 dan devaluasi yuan pada 2015,” kata Enrico.
Enrico menambahkan, tren modal masuk ke Indonesia yang cukup deras sejak akhir 2019 juga akan melambat. Kondisi itu mulai tercermin dari arus modal keluar 2 miliar dollar AS sepanjang Januari 2020. Di sisi lain, arus modal masuk semakin melambat, yang per 7 Februari hanya 150 juta dollar AS.
aset Indonesia dan arus modal keluar lebih sensitif terhadap kondisi pasar keuangan global
Pemerintah juga tengah menghitung dampak transmisi penyebaran wabah virus korona baru terhadap kinerja perdagangan Indonesia-China pada awal 2020. Mengutip laman Kementerian Perdagangan, total perdagangan Indonesia-China pada 2019 senilai 72,826 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia terhadap China defisit 16,989 miliar dollar AS.
Berdasarkan kajian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, penyebaran virus korona baru berdampak terhadap perekonomian Indonesia melalui tiga jalur, yakni pergerakan orang, barang, dan uang. Jika perekonomian China turun 1 persen, maka perekonomian Indonesia diperkirakan terkontraksi 0,1-0,3 persen.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, investasi pada triwulan I-2020 kemungkinan besar melambat akibat penyebaran virus korona tipe baru ini. (KRN)