JAKARTA, KOMPAS Badan Pusat Statistik kembali melakukan sensus penduduk guna menyediakan satu data kependudukan Indonesia. Sensus kali ini untuk pertama kalinya menggunakan sistem dalam jaringan (daring) atau online.
Masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang akan diadakannya sensus dan adanya kekhawatiran terhadap keamanan data yang diberikan menjadi tantangan utama dalam sensus, khususnya secara daring, yang telah dimulai pada Sabtu (15/2/2020).
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 12-13 Februari lalu menunjukkan, sebanyak 60,9 persen responden menyatakan tidak tahu bahwa tahun ini akan diadakan sensus. Selain itu, ada 54,3 persen responden yang tidak tahu bahwa Sensus Penduduk 2020 akan menggunakan metode daring. Sebanyak 51,5 persen responden masih memilih untuk didatangi petugas dalam sensus kali ini.
”Saya belum mendapatkan informasi terkait Sensus Penduduk 2020. Juga belum tahu bahwa ternyata sekarang warga diminta untuk mengisi data sendiri secara daring,” kata Hanif, (26), warga Kota Depok, Jawa Barat, saat ditemui di Jakarta, Minggu (16/2). Hanif yang adalah konsultan teknologi informasi ini mengaku enggan mengisi data pribadinya secara daring karena meragukan keamanan data itu.
Keraguan ini muncul terkait munculnya kasus jual beli data pribadi yang berujung pada ragam kejahatan siber belakangan ini. Astri Utami (22), warga Jakarta Timur, juga masih sulit percaya dengan platform daring yang meminta data pribadi sekalipun itu dilakukan lembaga resmi. Terlebih untuk sensus, elemen data yang diminta akan lebih detail. ”Masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan meyakinkan untuk bisa memercayai metode sensus daring,” kata praktisi kesehatan ini.
BPS menjamin
Kepala Subdirektorat Statistik Demografi Badan Pusat Statistik (BPS) Nashrul Wajdi menjamin keamanan data yang diinput masyarakat dalam sensus daring. BPS telah bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta menggandeng pakar teknologi informasi untuk menjaga keamanan laman BPS. ”Data yang diinput masyarakat (dalam sensus) langsung terkunci di back end, tidak kami tampilkan di server utama kami. Data itu tak bisa diakses oleh siapa pun,” katanya.
Ada 22 pertanyaan yang meliputi nama, jenis kelamin, status perkawinan, agama, pendidikan, dan suku dalam sensus ini. Meski sudah berupaya optimal menjamin keamanan data yang diinput masyarakat dalam sensus daring, Nashrul mengaku BPS telah memprediksi adanya resistansi masyarakat untuk menggunakan sistem itu dalam pengisian data.
Pasalnya, seiring dengan peningkatan literasi digital, tingkat kesadaran masyarakat terhadap data privasinya juga semakin tinggi. Oleh karena itu, BPS juga akan melakukan sensus secara konvensional atau offline, yaitu dengan mendatangi rumah penduduk. Guna melaksanakan sensus secara konvensional yang akan dilakukan Juli mendatang, BPS menyiapkan 340.000 petugas dengan 74.000 koordinator tim di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
Berbeda dengan sensus sebelumnya pula, lanjut Nashrul, pada sensus kali ini para petugas sudah dibekali data dasar, yaitu data kependudukan yang didapat dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Dengan data dasar itu, diharapkan kerja petugas lebih terkontrol dan minim penyelewengan.
Metode daring dan konvensional ini diambil untuk meminimalkan jumlah penduduk yang tidak tercacah. ”Berdasarkan Post Enumeration Survei Sensus Penduduk 2010, masih ada penduduk Indonesia yang tak tercacah, jumlahnya kurang dari 1 persen dari total penduduk Indonesia,” ujar Nashrul.
Namun, menurut Nashrul, jumlah itu masuk dalam kategori aman. Mengacu pada standar internasional, jumlah penduduk yang tidak tercatat sebaiknya di bawah 5 persen dari total jumlah penduduk. Penduduk yang tak terhitung itu umumnya merupakan anggota komunitas adat, mereka yang tinggal di daerah pelosok, atau gelandangan yang hidup di perkotaan.
Target
BPS menargetkan jangkauan penduduk yang disensus melalui metode daring bisa mencapai 22 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Target ini ditetapkan dengan melihat kemampuan literasi dan jangkauan internet yang tidak merata di wilayah Indonesia. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono optimistis target itu tercapai.
Ini karena seluruh struktur pemerintahan baik pusat maupun daerah sudah bekerja. Kementerian, lembaga, dan kampus sudah menegaskan komitmennya untuk menyukseskan sensus ini. ”Kami sudah beriklan di media, menyebarkan info di media sosial hingga grup RT/RW untuk menyasar langsung ke penduduk bahwa survei daring akan digelar Februari-Maret,” ujar Margo.
Tujuan Sensus Penduduk 2020, kata Margo, adalah untuk menyediakan data penduduk berdasarkan komposisi dan karakter masyarakat Indonesia menuju satu data Indonesia. Dengan data itu, jumlah penduduk dan karakteristik penduduk Indonesia dapat diketahui secara pasti. Hasil sensus 2020, lanjut Margo, juga akan menyediakan parameter demografi, misalnya kelahiran, kematian, dan migrasi.
Hal ini penting untuk pemetaan ke depan, seperti pemetaan program pembangunan berkelanjutan. Selain itu, juga bisa digunakan untuk mendapatkan distribusi penduduk dan karakteristik. Contohnya, pada 2045 jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 318,96 juta jiwa dengan jumlah warga lansia mendekati 20 persen. Data ini penting untuk mengetahui kebutuhan pangan, hunian, dan kebutuhan dasar lainnya.
Data sensus 2020, kata Margo, juga dapat dimanfaatkan untuk perbaikan data lainnya, seperti data pemilih di pemilu. Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi berharap data yang diperoleh dari sensus bisa mengakomodasi kebutuhan pemerintah daerah dan pusat secara mudah dan murah. ”Bappenas akan menggunakan data itu untuk perencanaan ke depan, misalnya program bantuan untuk warga miskin,” kata Pungky. (NIA/DEA/BOW)