Produktivitas Utang untuk Industri Berbasis Ekspor Perlu Ditingkatkan
Rasio pembayaran pokok dan bunga utang jangka panjang dan pembayaran bunga utang jangka pendek terhadap ekspor turun. Pengelolaan utang swasta yang lebih produktif untuk mendukung industri berorientasi ekspor diperlukan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri pada triwulan IV-2019 tumbuh melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan utang luar negeri pada periode sama tahun sebelumnya. Meski menunjukkan perlambatan, produktivitas pemanfaatan utang luar negeri untuk menggenjot ekspor tetap perlu ditingkatkan.
Berdasarkan rilis Bank Indonesia (BI) yang diterima Kompas, Senin (17/2/2020), utang luar negeri Indonesia hingga akhir Desember 2019 tercatat mencapai 404,3 miliar dollar AS (Rp 5.660 triliun). Utang ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral (202,9 miliar dollar AS) dan utang sektor swasta (201,4 miliar dollar AS).
Dalam keterangan resminya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, utang luar negeri pada triwulan IV-2019 tumbuh 7,7 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini melambat ketimbang pertumbuhan triwulan IV-2018 yang sebesar 10,4 persen.
”Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah masih ditopang oleh arus masuk investasi pada surat berharga negara domestik dan penerbitan obligasi global berdenominasi dolar AS dan euro. Ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi domestik yang tinggi,” ujarnya.
Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah masih ditopang oleh arus masuk investasi pada surat berharga negara domestik dan penerbitan obligasi global berdenominasi dolar AS dan euro.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai, meski laju pertumbuhan utang luar negeri cenderung melambat, rasio pembayaran utang (debt service ratio/DSR) tier 1 pada akhir 2019 cenderung meningkat menjadi 26 persen dari 25,1 persen pada akhir 2018.
”Peningkatan DSR tier 1 tersebut mengindikasikan rasio pembayaran pokok dan bunga utang jangka panjang dan pembayaran bunga utang jangka pendek terhadap ekspor cenderung menurun,” ujarnya.
Berdasarkan standar Dana Moneter Internasional (IMF), DSR tier 1 dalam kisaran 20 persen-40 persen masih dalam level terkendali. Meski demikian, perlu ada pengelolaan utang swasta yang lebih produktif untuk mendukung sektor industri yang berorientasi ekspor.
Perlu ada pengelolaan utang swasta yang lebih produktif untuk mendukung sektor industri yang berorientasi ekspor.
Kinerja ekspor sepanjang 2019 cenderung melemah dengan terkontraksi minus 6,9 persen secara tahunan. Sementara pada 2018 yang tercatat tumbuh 6,6 persen dari periode tahun sebelumnya. Adapun rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2019 sebesar 15 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 17,3 persen.
”Produktivitas penarikan utang luar negeri juga perlu ditingkatkan khususnya untuk mendorong kinerja ekspor,” kata Josua.
Pemerintah, lanjut Josua, perlu semakin fokus mendorong peningkatan ekspor industri pengolahan agar berkontribusi besar terhadap pertumbuhan dan perbaikan struktur perekonomian nasional.
Beberapa strategi dilakukan pemerintah supaya produk manufaktur dalam negeri memiliki daya saing tinggi di kancah global khususnya di sejumlah subsektor manufaktur, di antaranya garmen, alas kaki, elektronik, dan otomotif.
”Selain itu, transformasi ekonomi secara khusus di sektor sumber daya alam perlu terus dilakukan sedemikian sehingga kinerja ekspor dapat terjaga sekalipun kondisi ekonomi global yang kurang mendukung,” ujarnya.