Kendati pertumbuhan utang luar negeri melambat, risiko kemampuan membayar utang justru meningkat. Hal itu tecermin pada rasio pembayaran utang (”debt service ratio”/DSR) yang masih tergolong tinggi.
Oleh
karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri pemerintah dan bank sentral ataupun utang swasta tumbuh melambat dalam setahun terakhir. Perlambatan pertumbuhan utang dibarengi peningkatan risiko terhadap kemampuan membayar utang.
Pada 2019, utang luar negeri RI sebesar 404,282 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin (17/2/2020), sebesar Rp 13.693 per dollar AS, utang luar negeri itu setara Rp 5.536 triliun.
Utang itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral 202,872 miliar dollar AS dan utang swasta 201,41 miliar dollar AS. Utang luar negeri tahun 2019 tumbuh melambah 7,7 persen secara tahunan. Pada 2018, utang luar negeri 375,430 miliar dollar AS.
Kendati pertumbuhan utang luar negeri melambat, risiko kemampuan membayar utang justru meningkat. Hal itu tecermin pada rasio pembayaran utang (debt service ratio/DSR) yang masih tergolong tinggi.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, DSR Tier-1 pada 2019 sebesar 26,04 persen atau meningkat dibandingkan 2018 yang sebesar 25,11 persen. Debt Services Framework (DSF) Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menyebutkan, batas aman DSR adalah 25 persen.
Rasio pembayaran utang (DSR) merupakan kemampuan membayar utang dari penerimaan pada neraca transaksi berjalan yang meliputi ekspor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder. Semakin rendah DSR berarti kemampuan membayar utang lebih baik.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David E Sumual mengatakan, rasio pembayaran utang meningkat sejalan dengan penurunan kinerja ekspor Indonesia. Ekspor komoditas migas dan nonmigas menurun sepanjang 2019. Hal itu mengakibatkan pasokan valuta asing untuk membayar utang luar negeri berkurang.
”DSR mencerminkan kebutuhan valuta asing (valas) untuk membayar utang. Sumber pendapatan valas terbesar Indonesia masih dari ekspor komoditas,” ujar David, yang dihubungi di Jakarta, Senin.
Risiko kemampuan membayar utang berpotensi, lanjut David, lebih tinggi. Perhitungan DSR pada 2019 belum mempertimbangkan penyebaran wabah virus korona baru. Permintaan ekspor komoditas Indonesia ke China akan menurun cukup signifikan. Padahal, kontribusi ekspor komoditas ke China mencapai 50 persen.
Risiko kemampuan membayar utang berpotensi lebih tinggi. Perhitungan DSR pada 2019 belum mempertimbangkan penyebaran wabah virus korona baru. Permintaan ekspor komoditas Indonesia ke China akan menurun cukup signifikan.
David mengatakan, diversifikasi negara tujuan ekspor jadi keniscayaan. Pemerintah tetap harus mencari pasar-pasar baru agar ekspor tidak terus terkontraksi. Hilirisasi produk ekspor juga mesti segera direalisasikan karena harga komoditas global terus menurun. Penurunan harga minyak dunia langsung berdampak ke cadangan devisa.
”Peningkatan risiko kemampuan membayar utang masih dalam batas aman. Penurunan ekspor harus diimbangi diversifikasi untuk mencukupi kebutuhan valas,” kata David.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, penarikan utang luar negeri pemerintah sepanjang tahun 2019 melambat 9,1 persen secara tahunan. Perlambatan penarikan utang luar negeri ini bagian dari strategi pembiayaan pemerintah.
”Dalam menghadapi ketidakpastian dan volatilitas global, pemerintah menerapkan strategi frontloading yang oportunistik,” ujarnya.
Luky menambahkan, pemerintah lebih mengutamakan penerbitan surat utang negara berdenominasi rupiah ketimbang valuta asing tahun 2020. Hal itu untuk memperkecil risiko volatilitas kurs mata uang di tengah risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan ketidakpastian kondisi global.