Pengusaha akan mendapat insentif dari sisi perpajakan. Namun, pemerintah mesti mencari cara agar risiko penurunan penerimaan pajak bisa dikompensasi.
JAKARTA, KOMPAS Daya tarik dan daya saing investasi ditingkatkan melalui berbagai upaya, antara lain relaksasi aturan perpajakan. Namun, ada risiko berupa kehilangan penerimaan negara yang mesti ditanggung. Pemerintah akan mengompensasi risiko itu. Di sisi lain, pengusaha meyakini, insentif perpajakan akan menarik investasi.
Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian disusun melalui mekanisme omnibus law. RUU ini mengakomodasi tujuh UU, yakni UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Kepabeanan, UU Cukai, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), serta UU Pemerintah Daerah.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, akhir pekan lalu di Jakarta, menyampaikan, perekonomian Indonesia membutuhkan stimulus untuk tetap tumbuh di atas 5 persen. Perpajakan merupakan salah satu instrumen yang dapat berkontribusi menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
Omnibus law Perpajakan memberi fasilitas dan insentif pajak baru berupa penurunan tarif PPh badan menjadi 20 persen, tambahan penurunan tarif PPh badan untuk perusahaan terbuka 3 persen, penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri, serta penyesuaian tarif PPh atas bunga.
Selain itu, penghasilan tertentu dari luar negeri, termasuk dividen, tidak dikenai PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia. Pengusaha kena pajak juga mendapat relaksasi hak pengkreditan pajak masukan dan penghapusan sanksi hukuman pidana. Suryo menambahkan, otoritas pajak belum menghitung potensi kehilangan penerimaan akibat kebijakan relaksasi dalam omnibus law Perpajakan secara komprehensif.
Namun, kehilangan penerimaan negara akibat penurunan PPh badan saja diperkirakan Rp 80 triliun setiap tahun. ”Untuk mengompensasi kondisi itu, otoritas pajak akan memperluas basis pajak, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi,” kata Suryo.
Perluasan basis pajak ditempuh melalui pembentukan kantor pelayanan pajak (KPP) madya baru. Tujuannya, meningkatkan layanan dan edukasi perpajakan. Sementara, KPP pratama akan fokus dalam pengawasan wajib pajak atau ekstensifikasi berbasis kewilayahan. Langkah ini diharapkan dapat mengidentifikasi warga yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Realisasi pendapatan negara 2019 sebesar Rp 1.957,2 triliun atau tumbuh 0,7 persen secara tahunan. Pendapatan negara itu terdiri dari realisasi penerimaan perpajakan Rp 1.545,3 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 405 triliun, serta hibah Rp 6,8 triliun.
Bersyarat
Secara terpisah, peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, berpendapat, pemerintah perlu memberlakukan relaksasi bersyarat untuk memobilisasi penerimaan pajak. Relaksasi bersyarat dapat dilakukan dengan ”memaksa” wajib pajak untuk memberikan data informasi atau melakukan kegiatan ekonomi di sektor riil.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menambahkan, secara umum, kondisi perpajakan yang mendekati negara ASEAN lain dapat menjadi daya tarik. Terkait relaksasi serta pelayanan pajak, menurut Adhi, keduanya harus dijalankan dengan mendasarkan prinsip pelayanan dan bukan kecurigaan.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit menyebutkan, penerimaan pajak akan naik saat investasi masuk. (KRN/CAS)