”Omnibus Law” Dorong Penguatan dan Pertumbuhan UMKM
Kemudahan berusaha bagi pelaku UMKM juga dikecualikan dari ketentuan upah minimum bagi perusahaan mikro dan kecil. Upah itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh di perusahaan.
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi sapu jagat atau omnibus law diyakini dapat mendorong penguatan dan pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meski begitu, pengaturan sumber permodalan dan klustering pungutan pajak UMKM perlu dimatangkan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian memang tidak memberikan insentif perpajakan baru bagi UMKM.
RUU itu memuat enam substansi pokok terkait dengan peningkatan pendanaan investasi, penerapan sistem teritori untuk penghasilan luar negeri, penentuan subyek pajak orang pribadi, peningkatan kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, penciptaan keadilan iklim berusaha dalam negeri, serta pengaturan fasilitas dalam UU Perpajakan.
Omnibus law perpajakan itu tidak menyebutkan pelaku UMKM mendapat fasilitas dan insentif pajak baru, baik berupa Pajak Penghasilan (PPh) Badan maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, fasilitas dan insentif itu telah terkompensasi di omnibus law RUU Cipta Kerja.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (17/2/2020), di Jakarta, mengatakan, pemerintah masih mematangkan insentif dan fasilitas baru untuk UMKM. Salah satu upaya peningkatan daya saing UMKM akan diatur dalam RUU Cipta Kerja.
”Dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah akan mengubah kriteria UMKM, mempermudah perizinan berusaha, mempermudah prosedur administrasi dan pengajuan insentif pajak, melonggarkan pendirian perseroan terbatas, serta membebaskan perseroan untuk UMKM dari segala biaya pendirian hukum,” katanya.
Pemerintah akan mengubah kriteria UMKM, mempermudah perizinan berusaha, serta mempermudah prosedur administrasi dan pengajuan insentif pajak.
RUU Cipta Kerja telah mengatur sejumlah kemudahan bagi pelaku usaha UMKM. Contohnya, Pasal 13 RUU itu mengatur, pemerintah pusat memberi kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan bagi pelaku UMKM dan koperasi dalam pelaksanaan penanaman modal.
Bentuk perlindungan itu berupa pembinaan dan pengembangan UMKM dan koperasi lewat program kemitraan, pelatihan, peningkatan daya saing, inovasi dan perluasan pasar, akses pembiayaan, serta penyebaran informasi seluas-luasnya.
Kemudahan berusaha bagi pelaku UMKM juga tampak melalui pengecualian ketentuan upah minimum bagi perusahaan mikro dan kecil. Pasal 90B RUU Cipta Kerja mengatur, upah minimum perusahaan mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh di perusahaan tanpa perlu mengikuti standar upah minimum dari pemerintah.
Upah minimum perusahaan mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh di perusahaan tanpa perlu mengikuti standar upah minimum dari pemerintah.
Perusahaan mikro dan kecil juga tidak harus memenuhi kewajiban memberi uang penghargaan atau yang disebut pemerintah sebagai satu kali bonus pemanis sebesar lima kali upah untuk pekerja yang memiliki masa kerja 12 tahun. Pasal 92 RUU Cipta Kerja menyebutkan, keharusan memberi bonus itu dikecualikan untuk UMKM.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun, Senin (17/2), mengatakan, RUU Cipta Kerja sudah cukup memberi kemudahan bagi UMKM. Meski demikian, ada beberapa kebutuhan pelaku UMKM, seperti dorongan akses permodalan nonperbankan, yang dinilai belum tergambar jelas di RUU.
RUU itu sudah cukup bagus, tetapi permodalan nonperbankan, seperti dari koperasi atau badan layanan unit dari pemerintah, belum jelas. ”Usulan kami, jika ingin membantu UMKM dalam berusaha, aturan itu bisa ikut dicantumkan dalam RUU,” katanya.
Jaminan akses pasar
Sementara Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu (Kopitu) Yoyok Pitoyo menyatakan, pelaku UMKM tidak dilibatkan dalam penyusunan omnibus law. Padahal, UMKM membutuhkan regulasi yang memberikan privilese akses pasar, baik secara fisik (offline) maupun dalam jaringan (daring atau online).
”Contohnya, ada segmentasi pasar yang khusus untuk UMKM dan perusahaan besar tidak boleh berada di pasar tersebut,” ujarnya.
UMKM membutuhkan regulasi yang memberikan privilese akses pasar. Ada segmentasi pasar yang khusus untuk UMKM dan perusahaan besar tidak boleh berada di pasar tersebut.
Menurut Yoyok, jaminan akses pasar bagi UMKM akan berdampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha. Keberlangsungan usaha ini dapat mendorong UMKM taat membayar PPh final sesuai dengan regulasi yang ada.
Di RUU Cipta Kerja, UMKM mendapatkan tempat. Di situ diatur perubahan kriteria UMKM yang minimal memuat indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, nilai investasi, dan jumlah tenaga kerja.
Selain itu, ada juga tentang basis data tunggal UMKM, fasilitas kemitraan antara usaha mikro dan kecil dengan usaha menengah dan besar dari pemerintah pusat, serta kemudahan izin berusaha bagi UMKM.
Bahkan, pemerintah mengatur pula penyederhanaan administrasi perpajakan bagi UMKM, dana alokasi khusus untuk pemberdayaan dan pengembangan UMKM, serta kemitraan UMKM dalam partisipasi pengusahaan tempat istirahat dan pelayanan jalan tol.
Yoyok menilai, asosiasi UMKM tak terlibat dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. Akibatnya, naskah RUU itu bersifat konseptual dan belum mengakomodasi aturan-aturan yang berorientasi pada jaminan akses pasar bagi UMKM.
Klustering
Sementara Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, omnibus law perpajakan sejatinya dapat mengatur revisi PPh final untuk UMKM agar lebih adil. Saat ini, PPh final ditetapkan 0,5 persen untuk semua kriteria UMKM.
Padahal, tarif PPh final bisa dibuat berlapis berdasarkan omzet usaha. Sementara untuk wajib pajak UMKM orang pribadi berhak mengurangkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, aturan perpajakan UMKM yang ada sudah spesifik. Pelaku UMKM dengan omzet Rp 4,8 miliar per tahun tidak wajib menjadi pengusaha kena pajak. Mereka tidak wajib membayar PPN.
”Sebagian besar pekerja di sektor UMKM juga tidak membayar pajak karena termasuk kelompok PTKP. Penghasilan pekerja UMKM rata-rata di bawah Rp 54 juta setiap tahun,” ujarnya.