Stimulus Peningkatan Pendapatan Bisa Persempit Kesenjangan
Kesenjangan indeks pembangunan manusia atau IPM antardaerah masih menjadi sorotan. Berbagai upaya digenjot untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya, membuat stimulus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun indeks pembangunan manusia atau IPM meningkat pada 2019, kesenjangan antardaerah masih menjadi sorotan. Untuk menyempitkan kesenjangan IPM di tingkat daerah, pemerintah dan pelaku usaha dapat memberikan stimulus yang berdampak pada peningkatan pendapatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, Senin (17/2/2020), IPM Indonesia pada 2019 berada di posisi 71,92. Indeks ini meningkat dari pencapaian pada 2017 dan 2018 yang masing-masing senilai 70,81 dan 71,39.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, IPM Indonesia tergolong dalam kategori tinggi. ”Peningkatan IPM ini disebabkan oleh perbaikan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan kesehatan,” katanya dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Senin.
Di bidang kesehatan, Suhariyanto mengatakan, indikator yang menyokong kenaikan IPM terdiri dari peningkatan akses masyarakat pada air bersih dan air minum, meningkatnya jumlah warga yang memiliki jamban, serta penurunan tingkat pernikahan dini. Umur harapan hidup saat lahir tumbuh 0,2 persen menjadi 71,34 tahun pada 2019.
BPS mendata, persentase perempuan usia 20-24 tahun dengan usia perkawinan pertamanya kurang dari 18 tahun menurun dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019. Tingkat kepemilikan jamban di tengah masyarakat naik dari 90,75 persen (2018) menjadi 92,53 persen (2019), sedangkan proporsi warga yang mendapatkan akses air minum layak meningkat dari 87,75 persen (2018) menjadi 89,27 persen.
Pada indikator pendidikan, rata-rata lama sekolah tumbuh 2,08 persen menjadi 8,34 tahun. Suhariyanto menambahkan, angka partisipasi sekolah di tingkat usia 19-24 tahun juga meningkat, yang menandakan kenaikan jumlah lulusan sekolah menengah atas yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau akademi yang lebih tinggi.
Komponen penyokong peningkatan IPM Indonesia lainnya berupa pertumbuhan pengeluaran yang sebesar 2,17 persen pada 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi Rp 11,299 juta per kapita per tahun. Pengeluaran menjadi indikator pendapatan.
Meskipun demikian, Suhariyanto mengatakan, kesenjangan IPM di tingkat daerah masih menjadi persoalan yang mesti dipecahkan. ”Karena solusi di bidang kesehatan dan pendidikan membutuhkan waktu jangka panjang, solusi pada komponen pengeluaran atau pendapatan dapat menjadi opsi. Stimulus pada komponen pengeluaran atau pendapatan berupa terjaganya tingkat inflasi dan daya beli masyarakat,” tuturnya.
Jika ditilik di tingkat provinsi, DKI Jakarta pada 2019 menempati peringkat tertinggi dengan IPM senilai 80,76 dan tergolong dalam status kelompok sangat tinggi. Namun, Papua berada di posisi terakhir dengan IPM sebesar 60,84 dan berstatus sedang.
Papua juga memiliki tingkat kesenjangan atau disparitas IPM antarkabupaten/kota tertinggi se-Indonesia. Kota Jayapura memiliki IPM tertinggi pada 2019 di Papua dengan nilai 80,16 dan berstatus sangat tinggi, tetapi Kabupaen Nduga memiliki IPM terendah yang sebesar 30,75 dan berada dalam status rendah.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati menambahkan, stimulus terhadap komponen pendapatan memiliki dampak ganda pada komponen IPM lainnya. ”Kenaikan pendapatan berpotensi meningkatkan akses masyarakat ke layanan kesehatan dan pendidikan,” katanya saat ditemui setelah konferensi pers.
Tak hanya pemerintah pusat dan daerah, Sri berpendapat, stimulus pada komponen pengeluaran itu dapat berasal dari pelaku usaha. Menurut dia, pelaku usaha berperan dalam menciptakan lapangan kerja yang menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat.
Agar pelaku usaha dapat optimal menjalankan peran tersebut, kata Sri, pemerintah daerah perlu mengondusifkan situasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Kondisi yang kondusif itu mendatangkan investasi sehingga pelaku usaha dapat membuka lapangan kerja di daerah.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, pelaku usaha berperan sebagai pusat penghasil profit saat berpartisipasi dalam peningkatan IPM Indonesia. ”Partisipasi ini bersifat produktif dan sirkular terhadap kebutuhan produktivitas perusahaan,” katanya.
Shinta menyebutkan, instrumen utama dari pelaku usaha dalam menjalankan partisipasi tersebut ialah menciptakan lapangan kerja serta memberikan jaminan sosial dan jaminan kesehatan kepada tenaga kerja. Peningkatan IPM juga dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja agar kompetensinya dapat meningkat.
Dari sisi makro, IPM menjadi indikator dalam mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup masyarakat dan indikator target pembangunan pemerintah. IPM juga digunakan pemerintah untuk menentukan dana alokasi umum dan dana insentif daerah.