Penggunaan ”E-wallet” Marak, Keamanan Data Pengguna Harus Jadi Prioritas
Masyarakat kini kian dimanjakan dengan kenyamanan dan kemudahan bertransaksi menggunakan dompet elektronik atau e-wallet. Bisnis e-wallet juga harus menaruh perhatian pada keamananan data nasabah.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Cepat, simpel, dan nyaman menjadi daya tarik masyarakat dalam bertransaksi menggunakan layanan teknologi finansial. Kemudahan ini pun dinilai akan terus mendorong pertumbuhan pasar di segmen bisnis sekaligus terhadap para penggunanya.
Mengutip dari artikel Learn Bonds berjudul Mobile Wallets to Become U$ 1 Trillion Industry this Year, Selasa (18/2/2020), industri mobile wallet atau dompet elektronik (e-wallet) akan tembus 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 13.694,1 triliun pada tahun 2020 dengan pertumbuhan 36,5 persen setiap tahun. Tren kenaikan juga diprediksi terus berlanjut dengan nilai mencapai hingga 2,1 triliun dollar AS.
Berdasarkan survei Statista, pada 2017, pasar e-wallet secara global bernilai 368 miliar dollar AS. Dua tahun berikutnya, nilai melonjak hingga lebih dari 745,7 miliar dollar AS. Jika nilai dari berbagai e-wallet diakumulasi, pada 2023 diperkirakan dapat tumbuh 28,1 persen menjadi 2,1 triliun dollar AS.
Untuk jumlah pengguna, pada 2017, sebanyak 824 juta orang di seluruh dunia sudah menggunakan pembayaran dengan e-wallet. Jumlah ini melonjak 1,3 miliar dalam tiga tahun terakhir dengan pertumbuhan 13,5 persen setiap tahun.
Jika dibagi berdasarkan kelompok pengguna utama, generasi milenial (usia 23-38 tahun) memiliki pangsa pasar sebesar 37 persen, sementara generasi Z (usia 7-22 tahun) sebesar 25 persen. Pada 2023, jumlah orang yang menggunakan e-wallet diperkirakan 1,6 miliar jiwa di seluruh dunia.
Begitu pun di Indonesia, hasil survei dari Ipsos menggambarkan, mayoritas responden (68 persen) menyatakan, kenyamanan dan kemudahan menjadi alasan utama mereka menggunakan e-wallet. Promo dan cashback menjadi alasan sekunder (23 persen) dan keamanan data pribadi juga menjadi alasan lainnya (9 persen).
Ada 500 generasi milenial dan generasi Z yang menjadi responden dalam survei yang diadakan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Palembang, dan Manado. Survei diadakan pada 20 Desember 2019-5 Januari 2020.
Dari hasil survei, Gopay memiliki pangsa pasar tertinggi dibandingkan e-wallet lainnya, yakni hingga 54 persen, meskipun tanpa promo. Setelah Gopay, responden menyatakan menggunakan Ovo (29 persen), Dana (9 persen), dan LinkAja (4 persen).
Gopay juga menjadi e-wallet pertama yang digunakan mayoritas responden (60 persen) dan yang paling sering digunakan (55 persen). Mayoritas konsumen yang disurvei menyatakan menggunakan e-wallet untuk membayar biaya transportasi (40 persen) serta makanan dan layanan jasa lainnya (32 persen).
Vita (35), karyawan swasta di Jakarta, memilih menggunakan Gopay atau terkadang Ovo dalam bertransaksi. Mulai dari membeli kopi, mengantar anak ke sekolah, pergi ke kantor, hingga membeli makan siang, semuanya dibayar dengan e-wallet.
”Kalau saya, memang bukan mengejar promo, melainkan mengejar enggak ribet-nya. Saya sudah sekitar 2 tahun ini pakai e-wallet, sudah menjadi kebiasaan juga dan memang lebih cepat dan simpel, enggak perlu kembalian-kembalian,” kata Vita saat dijumpai di salah satu kedai kopi di kawasan Jakarta.
Adapun Naba (24), karyawan swasta, bisa bertransaksi hingga lima kali per hari menggunakan e-wallet, mulai dari transportasi hingga makan. ”Kalau sekarang pakai cash, itu rasanya ribet karena kadang harus ambil dulu ke ATM atau kadang enggak ada kembalian. Kalau pakai e-wallet, kan, sudah pasti pas,” ujarnya.
Sekalipun tidak ada promo lagi yang diberikan e-wallet, Naba menyatakan akan tetap menggunakan e-wallet. Terlebih, ia berharap agar semakin banyak merchant (pedagang) ikut mendaftar di berbagai layanan e-wallet tersebut.
Tantangan ”e-wallet”
Berbeda dengan generasi milenial dan generasi Z, generasi X (usia 41-55 tahun) dan generasi baby boomer (usia 56-76 tahun) tidak sepenuhnya menggunakan e-wallet sekalipun mereka telah menggunakan ponsel. Salah satunya, Eha (47), pemilik warung makan di sekitar Jakarta yang mengaku ingin menggunakan e-wallet tetapi tidak paham caranya.
”Saya mau bisa pakai e-wallet buat naik ojek online atau misalnya saat saya memesan layanan Go-massage untuk pijat. Selain itu, saya juga mau nantinya para pelanggan di warung saya bisa bayar pakai Gopay atau Ovo. Ini masih nunggu adik saya buat ngajarin,” kata Eha.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menyampaikan, edukasi dan penetrasi kepada generasi X dan generasi baby boomer memang menjadi tantangan bagi bisnis e-wallet ke depan. ”Bagaimana caranya agar segmentasi pasar e-wallet tidak terbatas hanya kepada anak-anak milenial dan generasi Z,” kata Bhima.
Tantangan lain adalah untuk berdaya saing secara global, bisnis e-wallet tidak lagi dapat mengandalkan promo ”bakar uang”. Namun, pebisnis harus mendorong inovasi dan lebih cepat lagi beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang semakin memudahkan pengguna.
Salah satu peluang yang bisa digunakan untuk berdaya saing adalah tentang keamanan data pribadi dari para pengguna. ”Ini harusnya menjadi salah satu perhatian di Indonesia. Meski belum ada undang-undang perlindungan data pribadi, harapannya perlindungan data pribadi bisa menjadi salah satu keunggulan dari bisnis e-wallet,” kata Bhima.
Sebab, ke depan, untuk mendapatkan kepercayaan dari publik, e-wallet harus mampu menjamin keamanan data setiap pengguna. Tidak hanya melalui ”bakar uang” karena dalam dunia digital tidak ada yang namanya customer loyalty (pelanggan setia).
Pengguna e-wallet, kata Bhima, jika hanya difasilitasi dengan promo, suatu saat bisnis tersebut akan berhenti. Pelanggan pun akan beralih pada e-wallet lain yang menawarkan berbagai fitur dan keamanan data pribadi.
”Kalau kejar-kejarannya adalah dengan bakar uang dan suatu saat berhenti, orang bisa balik lagi ke cash. Itu sangat mungkin terjadi, maka faktor keamanan menjadi salah satu faktor yang berperan penting membuat bisnis e-wallet bertahan sepanjang masa,” kata Bhima.
Untuk diketahui, pada 24 Januari 2020, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyerahkan draf final Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi kepada DPR. Draf final itu terdiri dari 15 bab dengan 72 pasal. Pemerintah fokus pada dua hal, yakni data pribadi bersifat umum dan data pribadi bersifat spesifik.
Kedua hal tersebut mengandung tiga faktor yang diperhatikan pemerintah, yakni kedaulatan terkait keamanan negara, perlindungan subyek data, dan pengguna memiliki data yang akurat. Langkah Indonesia ini dalam upaya melindungi data pribadi warga negara Indonesia.
Hasil riset ”Internet Privacy Index 2020” oleh Privacy International, Norwegia adalah negara yang menawarkan komitmen tertinggi terhadap privasi internet warganya dengan skor 90,1. Australia di urutan kedua (skor 89,1), lalu Denmark (87,4), Swedia (85,2), dan Finlandia (83,6).
Skor yang kian tinggi menunjukkan privasi warga semakin dilindungi. Sementara Indonesia berada di posisi ke-56 dari 110 negara dengan skor 39,9. (Kompas, 14 Februari 2020)
Untuk itu, bisnis e-wallet harus mulai berfokus untuk memberikan jaminan keamanan kepada para pengguna terhadap data pribadi mereka. Jika tidak demikian, pengguna akan mudah beralih pada aplikasi lain yang menjamin keamanan data mereka.