Sejumlah Bank Antisipasi Dampak Perlambatan Ekonomi
BRI meyakini "omnibus law", kebijakan fiskal yang akomodatif, dan kebijakan bank sentral akan terus menggerakkan roda perekonomian. Kendati begitu, manajemen risiko disiapkan sebagai antisipasi perlambatan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bank berupaya mengantisipasi dampak perlambatan ekonomi. Upaya itu mulai dari meningkatkan cadangan untuk pengelolaan risiko dan menurunkan target kredit segmen tertentu.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso, Selasa (18/2/2020), di Jakarta, mengatakan, BRI telah menetapkan target pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK). Tahun ini, kredit ditargetkan tumbuh 10-12 persen, sedangkan DPK 10-12 persen.
Dalam penetapan itu, BRI sudah memperhitungkan dampak perlambatan ekonomi global dan juga wabah virus Covid-19 terhadap ekonomi domestik. BRI juga meyakini penyusunan omnibus law, kebijakan fiskal yang akomodatif, dan kebijakan bank sentral akan terus menggerakkan roda perekonomian.
”Pengaruhnya pasti ada, tetapi karena kami sudah sering mengalami situasi yang turbulensi dan bergejolak seperti ini, maka manajemen risiko kami cukup kuat untuk menghadapinya,” kata dia seusai rapat umum pemegang saham (RUPS).
BRI juga meyakini penyusunan omnibus law, kebijakan fiskal yang akomodatif, dan kebijakan bank sentral akan terus menggerakkan roda perekonomian.
BRI, lanjut Sunarso, telah memiliki kemampuan menghimpun laba dan mengalokasikannya untuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Pada tahun ini, BRI membukukan laba bersih Rp 34,4 triliun. Laba itu tumbuh 6,2 persen dibandingkan 2018.
Dari total laba bersih itu, sekitar 60 persen atau Rp 20,6 triliun atau 60 persennya dibagikan kepada pemilik saham. Negara selaku pemegang saham utama BRI memperoleh dividen Rp 11,7 triliun, selebihnya dibagikan ke pemegang saham publik.
Total aset BRI pada 2019 sebesar Rp 1.416,8 triliun. Sepanjang tahun itu, BRI menyalurkan kredit Rp 907,4 triliun dan menggalang DPK Rp 1.021,2 triliun. Adapun rasio kredit bermasalah (NPL) BRI sebesar 2,8 persen.
Dalam RUPS tersebut, juga ditetapkan perubahan susunan anggota dewan komisaris dan direksi. Di antaranya, menetapkan penggantian Komisaris Utama BRI Andrinof Chaniago menjadi Kartika Wirjoatmodjo, yang saat ini menjabat Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara itu, Direktur Kepatuhan BRI Azizatun Azhimah digantikan oleh Wisto Prihadi.
Penurunan target
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menargetkan perolehan laba bersih Rp 2,8 triliun pada tahun ini. Adapun kredit ditargetkan tumbuh 8-10 persen dan DPK 13-15 persen.
Di tengah perlambatan ekonomi, BTN berupaya menjaga kualitas kredit. Salah satunya adalah menata kredit-kredit bermasalah pada akhir 2019, terutama di segmen komersial berupa kredit apartemen.
”Pada 2019 BTN menurunkan target kredit, terutama di segmen bangunan tinggi atau apartemen. Langkah ini disebabkan penjualan apartemen yang turun,” kata Direktur BTN Nixon LP Napitupulu.
Secara keseluruhan, kredit konstruksi apartemen yang masih ada di BTN Rp 12 triliun-Rp 13 triliun. Dari jumlah itu, Rp 1,9 triliun di antaranya bermasalah karena bangunan apartemen belum selesai.
Kredit itu yang dicatatkan pada 2016-2017 itu lantas dimasukkan ke dalam kredit bermasalah dan dihapus buku karena tidak lagi direstrukturisasi. Langkah itu membawa konsekuensi berupa peningkatan NPL gross, dari 2,8 persen pada akhir 2018 menjadi 4,8 persen pada akhir 2019.
”Soal kredit, kami fokus pada biaya dan kualitas kredit tahun ini,” ujarnya.
Tahun ini, BTN tetap akan menggarap pasar kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah seharga hingga Rp 500 juta per unit. Pangsa pasar KPR akan dipertahankan, termasuk pangsa pasar rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pangsa pasar KPR akan dipertahankan, termasuk pangsa pasar rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Per akhir 2019, pangsa pasar BTN untuk KPR subsidi sekitar 91 persen, sedangkan nonsubsidi 40 persen. Sementara, pada program sejuta rumah pemerintah, BTN berkontribusi 736.000 unit atau 60 persen dari 1,2 juta unit yang terealisasi.
Pada 2019, laba bersih BTN Rp 209 miliar atau anjlok 92,55 persen secara tahunan. Penurunan laba ini merupakan dampak dari penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, yang mengharuskan CKPN ditambah. Pada akhir 2019, CKPN Bank BTN sebesar Rp 6,1 triliun, meningkat dari posisi akhir 2018 yang sebesar Rp 3,3 triliun.
Di sisi lain, kondisi likuiditas yang ketat membuat persaingan mendapatkan DPK semakin tinggi. Tahun ini, BTN juga berupaya meningkatkan dana pihak ketiga dalam bentuk tabungan.
Berbagai kondisi itu membuat laba bersih BTN tergerus. ”Namun, kami yakin kondisi ini akan lebih baik pada tahun ini dengan estimasi laba bersih hingga Rp 3 triliun,” kata Nixon.