Diskusi Pengusaha-Buruh Tidak Seimbang
Pengusaha umumnya tidak memberikan catatan dan menyetujui isi draf RUU, sementara buruh menyampaikan banyak kritik. Perdebatan akhirnya tidak nyambung.
JAKARTA, KOMPAS — Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja telah merampungkan hasil pembedahan RUU sapu jagat itu. Diskusi berlangsung tidak seimbang karena kepentingan pekerja, yang merasa dirugikan, bertolak belakang dengan kepentingan pengusaha yang merasa diuntungkan RUU tersebut.
Dari kelima kluster isu yang dibahas terkait dengan ketenagakerjaan, sisa satu kluster isu, yakni terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penghargaan lainnya, yang belum merampungkan pembahasan. Rapat lanjutan khusus kluster isu itu akan diselenggarakan Jumat (21/2/2020).
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Nasional Benny Rusli adalah salah satu perwakilan unsur buruh yang memutuskan bertahan dalam tim bentukan pemerintah itu. Perwakilan serikat buruh lainnya satu per satu mengundurkan diri karena merasa pelibatan mereka tidak signifikan dan hanya sebagai stempel legitimasi pemerintah.
Setelah mengikuti semua rapat pembahasan, ia menuturkan, ada banyak silang pendapat antara unsur pekerja dan pengusaha karena kepentingan yang bertolak belakang satu sama lain. Pengusaha umumnya tidak memberikan catatan dan menyetujui isi draf RUU, sementara buruh menyampaikan banyak kritik.
”Perdebatan akhirnya tidak nyambung. Kami hanya bisa berharap masukan kami ini benar-benar disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai janji agar ketika dibahas dengan DPR, perspektif dari kelompok buruh diwadahi,” kata Benny yang tergabung dalam tim kluster isu pengupahan, Kamis (20/2/2020).
Baca juga : RUU Cipta Kerja Dibahas secara Terbuka
Perdebatan akhirnya tidak nyambung. Kami hanya bisa berharap masukan kami ini benar-benar disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai janji agar ketika dibahas dengan DPR, perspektif dari kelompok buruh diwadahi. (Benny Rusli)
Dalam rapat tim kluster pengupahan, salah satu isu yang mengemuka adalah mengenai upah minimum untuk sektor padat karya. Ketentuan baru itu tercantum dalam Pasal 88E, yang bunyinya ”demi menjaga keberlangsungan usaha dan memberikan perlindungan kepada buruh industri padat karya, pada industri padat karya ditetapkan upah minimum tersendiri”.
Upah minimum khusus itu wajib ditetapkan oleh gubernur dengan menggunakan formula tertentu yang berbeda dari formula penghitungan upah minimum provinsi (UMP). Ayat terakhir pasal itu mengatur, ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Benny mengatakan, dalam pembahasan di rapat tim kecil, perwakilan buruh meminta pasal itu dihapus. Ada kekhawatiran, demi menarik masuknya investasi di sektor padat karya, upah minimum akan ditetapkan lebih rendah daripada standar umum.
”Sekarang saja pada praktiknya upah untuk industri tekstil, seperti di Jawa Barat, sudah lebih rendah dari standar upah minimum. Kami minta itu dihapus dan disamakan saja,” katanya.
Unsur buruh juga menyoroti perihal formula penghitungan upah minimum yang diubah dalam draf RUU Cipta Kerja. Awalnya, upah minimum ikut memperhitungkan faktor upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Kini, upah minimum provinsi (UMP) dijadikan acuan tunggal besaran upah.
Buruh mengkhawatirkan standar upah minimum akan menjadi lebih rendah dengan meniadakan dua faktor lainnya itu. Sebab, di beberapa daerah, ada beberapa kabupaten/kota yang upah minimumnya lebih besar daripada UMP di Jawa Barat.
UMK di Karawang sebesar Rp 4,5 juta, sementara UMK Bekasi sebesar Rp 4,4 juta. Padahal, upah minimum provinsi yang berlaku di Jawa Barat hanya Rp 1,8 juta.
Formula baru kenaikan upah juga hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, tidak lagi mempertimbangkan inflasi, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Formula baru ini akan menurunkan standar upah minimum bagi pekerja.
Menarik investor
Dalam kunjungan Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law Cipta Kerja ke Redaksi Harian Kompas, Kamis, Ketua Satgas Rosan Roeslani yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia mengatakan, industri padat karya merupakan sektor utama yang diincar melalui RUU Cipta Kerja. Industri padat karya yang membutuhkan banyak tenaga kerja diharapkan dapat lebih banyak membuka lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran.
”Selama ini, investasi yang masuk tidak diiringi dengan penyerapan angkatan kerja yang tinggi,” ujarnya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi di sepanjang 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Namun, investasi yang masuk itu hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.033.835 orang. Itu karena, seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan tenaga sumber daya manusia mulai banyak tergantikan oleh teknologi.
BKPM mencatat, realisasi investasi di sepanjang 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Namun, investasi yang masuk itu hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.033.835 orang.
Di tengah kondisi itu, Rosan mengatakan, berbagai insentif ditawarkan untuk menarik perhatian investor menanamkan modal pada sektor padat karya agar lebih banyak menyerap tenaga kerja. Salah satunya memberlakukan ketentuan upah minimum pekerja padat karya secara khusus, tidak mengacu pada standar UMP pada umumnya.
”Harapan kita, kan, bagaimana investasi yang masuk ke Indonesia tidak hanya membawa dananya, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan. Akan lebih baik kalau invetor yang masuk itu bergerak di sektor padat karya dan berorientasi ekspor,” katanya.
Baca juga : ”Payung Bolong” Buruh Lokal, ”Payung Teduh” Pekerja Asing
Saat ditanyakan terkait potensi upah minimum di industri padat karya akan lebih rendah, Rosan tidak menampik adanya peluang itu demi menarik para investor padat karya. Namun, ia berargumen, sudut pandang terkait pengupahan itu harus diubah.
”Mestinya dibalik, kita tidak usah bicara upah minimum, kita bicara produktivitas. Daripada membayar banyak orang, tapi produktivitasnya tidak tinggi, lebih baik kita bayar tinggi, tetapi produktivitasnya tinggi. Kami sadar juga, ini bukan zamannya buruh dibayar rendah,” katanya.
Kami sadar juga, ini bukan zamannya buruh dibayar rendah. (Rosan Roeslani)
Wakil Ketua Satgas Omnibus Law Cipta Kerja Shinta Kamdani mengatakan, persoalan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja perlu dilihat secara komprehensif. Ia pun mengutip survei Organisasi Dagang Eksternal Jepang (Jetro) terbaru, yang menilai produktivitas pekerja di Indonesia tidak selaras dengan upah minimum regional.
”Memang ada faktor-faktor lain seperti korupsi, perizinan, dan lain-lain, tetapi buruh ini salah satu faktor penting yang memengaruhi masuknya investasi,” katanya.
Berdasarkan survei Jetro, hanya 23,7 persen perusahaan yang menilai upah minimum regional di Indonesia sesuai dengan produktivitas pekerja, adapun 55,8 persen menilai tidak sesuai, dan 20,4 persen tidak tahu.
Sebagai perbandingan, survei Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) 2019 terhadap pelaku bisnis memetakan, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, kebijakan tidak stabil, dan instabilitas pemerintah. Faktor etos kerja buruh, pendidikan tenaga kerja, dan peraturan tenaga kerja ada di urutan tengah ke bawah.
Sebagai catatan, survei Jetro yang dikutip Shinta hanya menangkap pendapat dari perusahaan dan investor Jepang, sementara survei WEF sudah mencakup pandangan dari investor sejumlah negara.
Baca juga : ”Omnibus Law” Bikin Realisasi Investasi Tahun 2020 Lebih Optimistis
Dalam draf RUU Cipta Kerja, prinsip easy hire, easy fire atau mudah direkrut mudah dipecat sangat gamblang terlihat. Shinta tidak menampik hal tersebut. Menurut dia, hal itu dibutuhkan untuk menarik investor. Sebab, selama ini, dalam hubungan industrial, pengusaha sangat sulit memecat pekerjanya.
”(Upah buruh) ini salah satu faktor penting. Kalau mau kita bandingkan, dari segi biaya buruh, kita salah satu yang paling tinggi, (pesangon) PHK kita pun paling tinggi. Ketika kita bicara mau menarik investasi, tentu jadi tidak menarik, apalagi kalau kita mau membidik industri padat karya,” ujar Shinta.