Mengembalikan Kepercayaan Publik
Gagal bayar polis asuransi Jiwasraya pada nasabahnya bergulir menjadi sebuah kasus dugaan pidana korupsi. Selain kepercayaan terhadap hukum, tantangan lainnya pemulihan asuransi dan pengawasan yang efektif.
Masalah gagal bayar polis oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah bergulir menjadi sebuah kasus dugaan pidana korupsi. Meskipun masalah gagal bayar klaim asuransi bukanlah yang pertama terjadi, indikasi adanya ketidakberesan sebenarnya telah dilontarkan sejak lama.
Dalam rapat dengan Panitia Kerja (Panja) Komisi VI DPR, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir beberapa waktu lalu mengatakan, ketidakhati-hatian dalam investasi memicu masalah keuangan Jiwasraya. Dana nasabah terkonsentrasi pada saham dan reksa dana saham berkualitas rendah. Bahkan, terdapat pula indikasi rekayasa pembentukan harga saham.
Hal ini karena taruhannya adalah citra pemerintah.
Proses penyidikan pun telah dipindahkan dari sebelumnya oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ke Kejaksaan Agung. Karena terkait erat dengan proses bisnis sebuah perusahaan asuransi milik pemerintah, proses penyidikan pun berkutat pada pengungkapan proses bisnis yang tidak sesuai dengan tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini karena taruhannya adalah citra pemerintah.
Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018 pun menemukan, sejak 2006, laba yang dibukukan Jiwasraya adalah laba semu yang merupakan hasil rekayasa akuntansi (window dressing). Pada 2017, Jiwasraya membukukan laba Rp 2,4 triliun. Namun, laba tersebut tidak wajar karena terdapat dugaan kecurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun. Kemudian, pada 2018 Jiwasraya tercatat merugi Rp 15,3 triliun.
Baca juga: Nasabah Jiwasraya Masih Belum Dapat Kepastian Pembayaran Klaim
Kerugian tersebut terjadi karena kesalahan tata kelola dan sejumlah kecurangan terkait pengelolaan produk simpanan Saving Plan. Produk yang mengawinkan produk asuransi dengan investasi tersebut dijual dengan biaya dana (cost of fund) yang tinggi, melebihi bunga deposito dan obligasi.
Produk Saving Plan yang ditawarkan melalui bancassurance itu memiliki imbal hasil 9-13 persen per tahun selama 2013-2018 dengan periode pencairan setiap tahun. Imbal hasil tersebut lebih besar dari tingkat deposito sepanjang 2018, yakni 5,2 persen-7 persen.
Sementara imbal hasil produk asuransi yang ditawarkan terlalu tinggi, modal yang terkumpul justru diinvestasikan ke dalam saham-saham yang tidak prospektif. Apalagi, Jiwasraya dinilai tidak menetapkan manajemen portofolio yang mengatur alokasi investasi maksimum untuk aset berisiko tinggi.
Dari 22,4 persen atau setara Rp 5,7 triliun aset finansial Jiwasraya, hanya 5 persen yang ditempatkan pada 45 saham unggulan di bursa (LQ45). Sisanya, ditempatkan pada saham-saham yang berisiko tinggi. Kemudian dari aset finansial reksa dana sebesar 55,1 persen atau setara Rp 14,9 triliun, hanya 2 persen yang dikelola manajer investasi terbaik di Indonesia.
Meskipun memiliki aset investasi, dengan kondisi pasar yang ada saat ini, mayoritas aset investasi tersebut tidak dapat diperjualbelikan alias tidak likuid. Sementara, tidak ada cadangan aset yang cukup untuk memenuhi kewajiban. Hal itu berujung pada gagal bayar polis.
Dari audit, Jiwasraya pun mengalami gagal bayar klaim nasabah Rp 12,4 triliun per Desember 2019. Pada 2018, Jiwasraya sudah merugi Rp 15,83 triliun. Kerugian negara dan nasabah dalam kasus ini diperkirakan Rp 27 triliun.
Kerugian negara dan nasabah dalam kasus ini diperkirakan Rp 27 triliun.
Sebagaimana jumlah kerugian yang sangat besar, demikian pula nasabah Jiwasraya yang mengalami gagal bayar polis juga sangat banyak. Mereka terdiri dari 17.000 pemegang polis bancassurance (asuransi melalui kanal perbankan) dan 5,2 juta peserta polis asuransi jiwa Jiwasraya. Itulah sebagian kekacauan manajemen Jiwasraya yang ujungnya memuncak pada kebangkrutan Jiwasraya.
Upaya pengembalian
Pengembalian uang nasabah pun kini menjadi prioritas utama pemerintah, selain juga pertanggungjawaban hukum para direksi serta para pelaku yang ”membobol” Jiwasraya. Erick Thohir menyatakan, pengembalian uang nasabah menjadi prioritas utama pemerintah dan direncanakan dimulai pada Maret mendatang.
Caranya, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) akan menghimpun dana dengan mengoptimalkan anak perusahaan PT Jiwasraya Putra dan mendorong pembentukan holding asuransi BUMN. Dengan cara itu, pengembalian dana nasabah akan dilakukan secara bertahap
Sementara, di sisi lain, pengembalian kerugian negara dan nasabah juga diupayakan dengan menyita aset-aset milik tersangka yang diduga terkait aliran dana Jiwasraya. Langkah tersebut memang cukup beralasan. Hal itu akan menimbulkan efek jera, serta tidak membebani keuangan negara dibandingkan jika harus mengucurkan dana talangan (bail out).
Oleh karena itu, proses hukum yang kini dilakukan Kejaksaan Agung menyasar beberapa hal sekaligus, yakni mencari pihak-pihak yang paling bertanggung jawab yang berdampak gagal bayar polis, yang terindikasi melakukan rekayasa pembentukan harga saham, dan juga pihak yang menikmat aliran dana Jiwasraya beserta aset-asetnya.
Namun, proses pengungkapan itu tidaklah sederhana. Sebab yang terjadi adalah transaksi investasi di pasar modal yang melibatkan perusahaan sekuritas, beberapa perusahaan yang tercatat di bursa saham dengan menelusuri rekening efek. Bisa jadi transaksi investasi dilakukan dengan menggunakan nama orang lain atau pinjam nama. Demikian pula periode waktu disidik juga sangat panjang, yakni 10 tahun antara 2008 dan 2018.
Sampai saat ini terdapat 800 subrekening efek yang sudah diblokir guna penyidikan kasus dugaan korupsi Jiwasraya. Dari jumlah itu, 212 di antaranya 212 pemegang single investor identification (SID). Dari satu SID, bisa terdapat beberapa rekening lagi.
”Di kasus Jiwasraya ini kental sekali dengan transaksi investasi. Oleh karena itu, penelusurannya memang lebih banyak dengan audit. Dari situ kita bisa tahu persis nilai kerugiannya, saham apa yang digunakan sebagai sarana untuk merugikan Jiwasraya, dan siapa yang terlibat,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah baru-baru ini.
Sampai saat ini, Kejagung telah mencegah 13 orang untuk ke luar negeri. Dari ke-13 orang itu, Kejagung telah menetapkan enam tersangka tindak pidana korupsi untuk kasus Jiwasraya. Keenam tersangka itu adalah bekas Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, bekas Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya Harry Prasetyo, bekas Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokro, Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidaya, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto. Kemudian, Benny dan Heru juga ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Baca juga: Jadi Tersangka, Joko Hartono Pernah Tawarkan Cara Perbaiki Keuangan Jiwasraya
Penerapan tindak pidana pencucian uang selain tindak pidana korupsi memang tepat. Sebab, dalam periode waktu yang panjang, dipastikan sudah terjadi penikmatan atas uang hasil korupsi atau dialirkan untuk hal-hal lain. Terlebih, tim penyidik mendeteksi aset para tersangka ada yang berada di luar negeri, antara lain Singapura dan Eropa, yang jelas diduga berasal dari mengeruk keuntungan dari Jiwasraya.
Penerapan tindak pidana pencucian uang selain tindak pidana korupsi memang tepat. Sebab, dalam periode waktu yang panjang, dipastikan sudah terjadi penikmatan atas uang hasil korupsi atau dialirkan untuk hal-hal lain.
”Dengan langsung menyangkakan TPPU, langkah Kejagung bisa lebih mudah melacak dan memblokir rekening, termasuk melacak keluar negeri tanpa izin siapa pun. Termasuk membuka rahasia bank dengan Undang-Undang TPPU itu boleh dan tidak bertentangan dengan UU Perbankan,” kata pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih.
Pengaruh pasar modal
Meskipun demikian, dampak lain yang dapat menyertai kekisruhan Jiwasraya adalah munculnya kepanikan investor di pasar modal. Karena dinamika di pasar modal turut dipengaruhi persepsi investor, bukan tidak mungkin para investor akan menjual saham atau mencairkan reksa dananya secara bersamaan.
Catatan Kompas, pada 22 Januari 2020, giliran Bursa Efek Indonesia (BEI) dan OJK menghentikan perdagangan sementara (suspensi) terhadap lima saham yang terkait dengan skandal Jiwasraya. Sekretaris Perusahaan BEI Yulianto Aji Sadono dalam keterangan persnya mengatakan, suspensi dilakukan sebagai bentuk komitmen regulator pasar modal untuk menjaga perdagangan efek yang teratur, wajar, dan efisien.
Keputusan melakukan suspensi itu merujuk pada surat yang dikeluarkan OJK No. SR-11/PM.21/2020 pada 22 Januari 2020. Surat itu berisi Perintah Penghentian Sementara Perdagangan Efek. Kelimanya adalah PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT SMR Utama Tbk (SMRU), dan PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM).
”Maka kalau tidak hati-hati dalam mengelola isu ini, bisa terjadi kepanikan di pasar saham. Ini kan terkait persepsi, jadi bisa menimbulkan efek rush,” kata pengajar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, yang juga Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Lana Soelistianingsih.
Oleh karena itu, Kejagung pun membuka ruang bagi para pemilik rekening efek yang keberatan rekeningnya diblokir. Para pemilik rekening dapat mengklarifikasikan transaksi rekening efeknya dengan penyidik Kejagung.
Menurut catatan Kompas, Kejagung telah menyita beberapa aset milik para tersangka. Aset-aset tersebut antara lain 156 bidang tanah milik Benny Tjokro, rekening bank, 41 kamar apartemen di Jakarta Selatan, beberapa unit kendaraan, dan perusahaan tambang milik tersangka Heru Hidayat.
Kepala Pusat Penerangan Kejagung Hari Setiyono mengatakan, karena kasus ini merugikan keuangan negara, tim penyidik akan terus berupaya mendapatkan aset-aset yang terkait. Jika hakim nantinya memutuskan barang yang disita merupakan hasil tindak pidana, aset tersebut nantinya akan dirampas untuk negara atau aset akan dirampas untuk negara cq Jiwasraya.
Baca juga: Jaksa Telusuri Dugaan Pencucian Uang dan Aset Kasus Jiwasraya
”Kalau dirampas untuk negara saja, aset akan diserahkan ke Kementerian Keuangan yang akan mengelola. Tapi kalau dirampas untuk negara cq Jiwasraya, nanti jaksa akan mengeksekusinya dan langsung diserahkan ke Jiwasraya,” kata Hari.
Kalau dirampas untuk negara saja maka aset akan diserahkan ke Kementerian Keuangan yang akan mengelola. Tapi kalau dirampas untuk negara cq Jiwasraya, nanti jaksa akan mengeksekusinya dan langsung diserahkan ke Jiwasraya.
Sampai saat ini, proses penyidikan adanya dugaan korupsi di Jiwasraya masih berlangsung. Tentu asas praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi. Namun, kasus ini menjadi penting bukan hanya karena korbannya sangat banyak dengan nilai kerugian besar, melainkan penyelesaian kasus ini berpengaruh besar bagi masyarakat.
Pertama, kepercayaan masyarakat (pemegang polis) terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kedua, memulihkan kepercayaan investor terhadap dunia asuransi ataupun pasar modal di Indonesia. Soal lain adalah apakah pemerintah mampu memulihkan harapan itu semua dan tak mengulang lagi dengan menguatkan fungsi-fungsi pengawasan, seperti Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga lainnya?