Kewenangan pemerintah pusat hanya mengatur norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) investasi yang wajib diikuti kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Sejumlah kewenangan dan hak pemda tetap berlaku.
Oleh
Agnes Theodora / Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menjamin Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak memangkas peran pemerintah daerah karena kewenangan perizinan investasi sektor energi dan sumber daya mineral dialihkan ke pemerintah pusat. Sejumlah kewenangan dan hak pemerintah daerah tetap berlaku.
Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi di Jakarta, Senin (24/2/2020), menampik pendapat bahwa pemerintah pusat akan berkuasa penuh terhadap perizinan dan pengelolaan investasi di bidang energi dan sumber daya mineral. Kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, hanya mengatur norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) investasi yang wajib diikuti setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (pemda) agar seragam antara pusat dan daerah.
NSPK sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah itu akan dirancang agar bisa mengontrol dan mempermudah proses perizinan di daerah. NSPK adalah pedoman yang dirancang oleh kementerian dan lembaga bagi pemda untuk melaksanakan urusan pemerintah yang didesentralisasikan ke daerah.
Menurut dia, jika presiden mengambil alih penuh perizinan dan pengelolaan sumber daya alam di daerah, hal itu justru bertentangan dengan norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. ”Wewenang presiden adalah menetapkan NSPK. Hal ini yang kemudian diartikan seolah-olah menarik kewenangan perizinan ke pusat. Kenyataannya, NSPK yang ditentukan presiden akan diturunkan kembali ke para menteri dan pemda. Tak mungkin presiden melawan UU Pemda,” ujarnya.
Sejumlah kalangan menilai RUU Cipta Kerja memangkas peran pemerintah daerah di sektor energi dan sumber daya mineral demi mengatasi hambatan perizinan dan mendongkrak investasi. RUU Cipta Kerja mengatur, misalnya, dalam pertambangan mineral dan batubara, pemerintah daerah tidak lagi berwenang dalam penerbitan perizinan. Seluruh kewenangan perizinan ditarik ke pemerintah pusat.
Hal itu terdapat dalam Pasal 40 Ayat 3 RUU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan pada Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Demikian pula, terkait panas bumi, perizinan dan pengelolaannya dilakukan pemerintah pusat dengan menghapus peran daerah.
Dalam UU Panas Bumi yang berlaku sekarang, penguasaan panas bumi dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya. Dalam RUU Cipta Kerja, penguasaan panas bumi dilakukan pemerintah pusat, termasuk mengatur perizinan investasi terkait panas bumi dan pencabutannya.
Belum rinci
Menurut Elen, RUU Cipta Kerja memang belum detail mencantumkan penjelasan mengenai kewenangan perizinan investasi sehingga memunculkan kesalahan interpretasi. Pemerintah akan menyampaikan ke DPR agar menambahkan penjelasan lebih rinci dalam proses pembahasan di kemudian hari.
Perubahan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja juga dijamin tidak sampai memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Apalagi bagi daerah yang pendapatan aslinya sangat bergantung pada sektor pertambangan, seperti di Timika, Papua. Menurut Elen, hak-hak penerimaan pemda, seperti kewenangan memungut royalti atau pajak dari investasi tambang di wilayahnya, masih ada.
Namun, pemerintah akan mengevaluasi ulang berdasarkan kondisi ekonomi dan kebutuhan setiap daerah. Jadi, tidak semua daerah akan dipukul rata. Kalaupun kewenangan memungut royalti di sebagian daerah itu hilang, kata Elen, pemerintah pusat wajib menutup kekurangan tersebut melalui dana transfer daerah dari APBN.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam catatannya, terkait mineral batubara dalam RUU Cipta Kerja, menyatakan, pemerintah perlu memastikan apakah kewenangan pemerintah daerah yang dicabut termasuk kewenangan memungut royalti atau pajak. Sebab, hal itu akan merugikan daerah yang pendapatan aslinya sangat bergantung pada pertambangan mineral, seperti Timika.
Terkait pencabutan wewenang daerah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah berpendapat, hal itu disebabkan oleh anggapan bahwa pemerintah daerah mempersulit investasi. Masalah kapasitas dan kesiapan daerah dalam pelayanan perizinan adalah salah satu contohnya.
Masalah lainnya, pungutan liar atau praktik korupsi dalam pengurusan perizinan. ”Akan tetapi, usaha penyederhanaan perizinan dengan mencabut wewenang daerah kontradiktif dengan usaha memperkuat daerah dalam konteks otonomi,” ujarnya.