Ekonomi Lesu, Investasi pada Obligasi Negara Jadi Pilihan
Tren penurunan suku bunga dan perlambatan ekonomi membuat investasi menjadi lebih berisiko dan kurang menguntungkan. Dalam kondisi saat ini, investasi apa yang kira-kira tetap aman dan menguntungkan?
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Obligasi negara atau surat utang negara (SUN) dinilai menjadi pilihan investasi yang tetap aman dan menguntungkan di tengah lesunya perekonomian dan tren penurunan suku bunga. Surat utang negara baik yang dijual secara ritel maupun nonritel bisa dibilang tanpa risiko (zero risk) karena dijamin negara dan menawarkan imbal hasil tetap yang lebih tinggi dibandingkan deposito.
Seiring tren penurunan suku bunga, imbal hasil yang ditawarkan instrumen-instrumen berbasis bunga akan cenderung turun. Tren penurunan suku bunga tampak dari kebijakan Bank Indonesia yang terus menurunkan suku bunga acuannya.
Penurunan suku bunga acuan terjadi sejak Juli 2019. Selama periode Juli hingga Oktober 2019, BI menurunkan suku bunga acuan secara bertahap dari 6 persen menjadi 5 persen. Terakhir, dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Februari 2020, suku bunga kembali dipangkas dari 5 persen menjadi 4,75 persen.
Penurunan suku bunga acuan dilakukan BI untuk menggairahkan kembali perekonomian yang selama ini lesu. Penurunan suku bunga acuan berimbas pada menurunnya suku bunga deposito dan instrumen-instrumen lain yang berbasis bunga termasuk SUN.
Kendati imbal hasil SUN turun, berdasarkan data Asian Bonds Online, Indonesia tetap menjadi negara dengan imbal hasil obligasi tertinggi, mencapai 6,53 persen. Menyusul kemudian imbas hasil obligasi dari Filipina (4,35 persen), Malaysia (2,91 persen), Vietnam (2,88 persen), China (2,86 persen), Singapura (1,63 persen), Korea Selatan (1,45 persen), Hong Kong (1,29 persen), Thailand (1,08 persen), dan Jepang (negatif 0,06 persen).
Head of Capital Market Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, menilai, instrumen SUN memang menjadi investasi yang aman dan relatif menguntungkan di tengah siklus perlambatan ekonomi.
Menurut Wawan, obligasi negara jauh lebih aman dibandingkan dengan obligasi korporasi karena tidak ada risiko gagal bayar. Sementara obligasi korporasi, meski imbas hasilnya lebih tinggi, tetap ada risiko gagal bayar sehingga investor harus berhati-hati dengan melihat dahulu rating dari obligasi bersangkutan.
”Jadi, saat yang tepat membeli SUN, ya, sekarang karena kalau kita tunggu 3-4 bulan lagi, imbal hasilnya akan semakin turun,” ujarnya.
Kendati demikian, lanjutnya, diversifikasi tetap menjadi hal penting. ”Saya sarankan investor untuk tetap diversifikasi, bobot paling besar tetap pada obligasi sebesar 50 persen, 30 persen pada money market (reksa dana pasar uang atau deposito), dan 20 persen baru boleh diinvestasikan pada instrumen yang berisiko, misalnya saham,” kata Wawan.
Selain itu, investor dapat juga berinvestasi di emas. Namun, perlu diingat bahwa emas, khususnya logam mulia, tidak memberikan imbal hasil, dalam arti bunga yang bisa dinikmati secara berkala. Ada pula tambahan risiko apabila membeli fisik, yaitu dapat dicuri atau hilang.
Felix Anindita (30), karyawan swasta di Jakarta, menilai, emas dan SUN memang masih menjadi investasi paling aman saat ekonomi lesu. Ia pun memilih untuk berinvestasi di SUN, emas, dan saham, tetapi SUN mendapat porsi investasi terbesar.
”Tadinya hanya 10 persen untuk SUN, tetapi melihat kondisi ekonomi yang masih lesu, saya tambah porsinya menjadi 40 persen. Sementara emas dan saham masing-masing 30 persen,” kata Felix.
Investasi emas, ujarnya, hanya untuk melindungi nilai, bukan untuk mendapatkan imbas hasil. Sementara saham, ia terlebih dahulu mempelajari kinerja perusahaan dan melihat rating perusahaan untuk memperkecil risiko kerugian.
Krisis awal
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menyampaikan, perlambatan ekonomi salah satunya disebabkan epidemi Covid-19 dari China. Wabah ini memengaruhi perekonomian Indonesia melalui sektor pariwisata, perdagangan, industri, keuangan, dan sektor jasa.
”Katakanlah proyeksi pertumbuhan ekonomi kita 5,3, tetapi berkurang 0,6, artinya sekitar 4,7. Saya kira ini akan drastis sekali dan kalau di bawah 5 persen, berarti sudah masuk ke krisis awal. Ini yang harus diwaspadai,” kata Tauhid.
Belum lagi, Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dan menggolongkannya sebagai negara maju. Keadaan ini akan mendistorsi peluang perdagangan ke AS.
”Tentu saja ini mengurangi kelebihan kita sebagai negara berkembang untuk ekspor lebih tinggi karena AS menjadi berhak melakukan penyelidikan dan investigasi, apakah memang ekspor-ekspor yang Indonesia lakukan ke AS terdapat subsidi. Pada akhirnya, kalau itu diberlakukan, kita akan kena tarif yang lebih tinggi,” kata Tauhid.
Untuk dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, ujarnya, pemerintah harus memilih sektor-sektor apa saja yang terdampak baik oleh Covid-19 ataupun perang dagang dan memasukkannya dalam prioritas fiskal. Misalnya, sektor pariwisata dan industri.
”Dalam sektor pariwisata, pemerintah dapat menunda beberapa pajak yang berkaitan dengan bahan bakar minyak sehingga biaya tiket pesawat dapat lebih murah dan diskon berlaku efektif. Sementara untuk industri, pemerintah dapat membantu dengan mengurangi bea masuk bahan baku sehingga industri mendapatkan harga lebih murah,” tutur Tauhid.