Penyematan status negara maju bisa membuat Indonesia tak lagi mendapat bea masuk murah dari Amerika Serikat. Indonesia juga berpotensi tak akan lagi diberi keistimewaan AS dalam Sistem Tarif Preferensial Umum (GSP) AS.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Indonesia menyandang status baru sebagai negara maju versi Amerika Serikat. Bersama dengan 127 negara lain, termasuk China, Thailand, Malaysia, Vietnam, Afrika Selatan, Etiopia, dan Zimbabwe, Indonesia tidak lagi disebut sebagai negara berkembang per 10 Februari 2020.
Amerika Serikat (AS) hanya mempertahankan 36 negara yang masuk dalam kategori negara berkembang. Di sisi lain, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) masih menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang.
Dengan status baru sebagai negara maju versi AS itu, Indonesia bersama 126 negara lain tidak akan lagi mendapatkan perlakuan diferensial khusus (special differential treatment/SDT) yang tersedia dalam Kesepakatan WTO tentang Subsidi dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Dua fasilitas kemudahan Indonesia dari AS dalam konteks penyelidikan dumping, yaitu de minimis thresholds (ambang batas minimal) marjin subsidi dan negligible import volumes (volume impor yang diabaikan) tidak akan lagi didapat. Dalam investigasi antidumping, penyelidikan itu bisa berakhir jika marjin dumping kurang dari 2 persen.
Penyelidikan antidumping itu juga dapat dihentikan jika volume impor produk yang diduga disubsidi itu kurang dari 3 persen dari total ekspor. Dengan hilangnya kedua fasilitas itu, AS akan lebih mudah menginvestigasi produk-produk impor yang diduga dumping dan mengenakan bea masuk antidumping terhadap produk-produk itu.
Penyematan status baru Indonesia itu juga bisa menyebabkan Indonesia tidak lagi mendapatkan bea masuk murah dari AS. Dengan begitu, Indonesia tidak akan lagi masuk sebagai negara yang diberi keistimewaan AS dalam Sistem Tarif Preferensial Umum (GSP).
Penyematan status baru Indonesia itu juga bisa menyebabkan Indonesia tidak lagi mendapatkan bea masuk murah dari AS. Indonesia berpotensi tidak masuk sebagai negara yang diberi keistimewaan AS dalam GSP AS.
Padahal, pada medio Februari 2020, Indonesia baru menyambangi Perwakilan Perdagangan AS untuk WTO (USTR) untuk mempertahankan keistimewaan tarif itu. Sebab, AS tengah meninjau penerapan GSP terhadap Indonesia sejak April 2018.
Di era kepemimpinan Donald Trump, AS ingin menyeimbangkan neraca perdagagan dengan negara-negara lain. AS memulainya dengan meninjau dan menaikkan tarif produk-produk China, karena defisit perdagangan AS dengan China sangat besar.
Indonesia pun juga menjadi sasaran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan migas dan nonmigas Indonesia terhadap AS sebesar 8,4 miliar dollar AS. Khusus neraca perdagangan nonmigas, surplusnya 9,58 miliar dollar AS. Adapun neraca perdagangan migas, Indonesia mengalami defisit 1,12 miliar dollar AS dari AS.
Alasan AS
USTR menyebutkan tiga kriteria sebuah negara berkembang masuk kategori negara maju. Pertama, produk domestik bruto (PDB) per kapita negara itu di atas 12.000 dollar AS. Kedua, memiliki pangsa pasar perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen. Ketiga, menjadi anggota organisasi ekonomi internasional, salah satunya G-20.
Trading Economics mencatat, PDB per kapita Indonesia baru 4.284,70 dollar AS pada 2018. Sementara pangsa pasar ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia sebesar 0,91 persen pada 2018.
WTO memiliki kebijakan sebuah negara bisa menentukan sendiri statusnya sebagai negara berkembang. Bukan negara lain yang berhak menentukan status sebuah negara. Kendati begitu, WTO memperbolehkan negara anggota WTO lain menentang klaim negara tersebut sekaligus menyatakan tidak terikat untuk memberikan keistimewaan perdagangan pada negara tersebut.
Sementara Bank Dunia mengklasifikasikan negara berdasarkan berbagai karakteristik, seperti geografi (wilayah), kelayakan pinjaman, kerapuhan, dan tingkat pendapatan rata-rata. Dalam hal pendapatan, Bank Dunia membagi ekonomi dunia menjadi empat kelompok pendapatan, yaitu negara berpendapatan tinggi, menengah atas, menengah bawah, dan rendah.
Setiap pertengahan tahun, Bank Dunia memperbarui ketentuan PDB per kapita untuk mengelompokkan negara berdasarkan pendapatan. Pada 1 Juli 2019, Bank Dunia mengategorikan sebuah negara sebagai negara maju atau berpenghasilan tinggi jika PDB per kapita negara itu lebih dari 12.375 dollar AS.
Adapun PDB per kapita negara berpendapatan menengah ke bawah sebesar 1.026 dollar AS-3.995 dollar AS dan negara berpendapatan menengah ke atas sebesar 3.996 dollar AS-12.375 dollar AS. Negara-negara itu masuk dalam kategori sebagai negara sedang berkembang dan negara berkembang.
Selain PDB per kapita, ukuran negara maju juga ditentukan oleh tingkat pertumbuhan hidup, kemampuan industri manufaktur dan jasa, serta perkembangan teknologi informasi. Sementara dalam menentukan status sebuah negara, AS lebih mempertimbangkan ketimpangan perdagangan dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Jika ditimbang dari dampak status baru versi AS itu, yang perlu dikhawatirkan ialah bukan dalam konteks penyelidikan antidumping. Namun, hal itu bisa merembet ke pencabutan keistimewaan Indonesia dalam GSP AS.
Apabila fasilitas murah tarif bea masuk itu dicabut, beban para eksportir Indonesia semakin besar. Daya saing produk Indonesia di AS akan semakin turun.
Apabila fasilitas murah tarif bea masuk itu dicabut, beban para eksportir Indonesia semakin besar. Daya saing produk Indonesia di AS akan semakin turun, terutama tekstil, alas kaki, dan produk perikanan-kelautan.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri, perlu mendialogkan kembali persoalan ini dengan AS. Sembari itu, jika AS masih kukuh dengan kebijakannya, Indonesia perlu menyiapkan strategi perkuatan daya saing produk, pengalihan pasar, dan imbal dagang. Daya tawar Indonesia terhadap AS diuji.