Peningkatan penyerapan kelapa sawit, sejalan program biodiesel, diharapkan turut disertai sejumlah insentif buat petani, terutama soal akses pasar dan jaminan penyerapan produksi petani rakyat dan swadaya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah memacu program biodiesel yang berdampak pada meningkatnya penyerapan kelapa sawit. Petani berharap peningkatan penyerapan itu disertai dengan sejumlah insentif.
Sejak Januari 2020, Indonesia menerapkan kebijakan campuran 30 persen biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit (fatty acid methyl ester/FAME) dan 70 persen bahan bakar solar. Campuran ini disebut bahan bakar B-30.
Pemerintah memperkirakan bahan bakar B-30 membutuhkan FAME sebanyak 9 juta kiloliter dalam setahun. Imbasnya, kebutuhan minyak kelapa sawit mentah atau CPO untuk memproduksi FAME tersebut berkisar 10 juta ton.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan, insentif utama yang diharapkan petani ialah kepastian akses pasar dan penyerapan dalam penerapan program B-30 tersebut, khususnya bagi petani rakyat atau swadaya.
”Kalau kami menjual ke tengkulak, harganya bisa jadi 60-70 persen lebih rendah,” ujarnya dalam diskusi berjudul ”Biodiesel untuk Kesejahteraan Petani” yang diadakan Katadata Forum di Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Selain itu, Mansuetus juga mengusulkan adanya pendampingan dan pelatihan bagi petani kelapa sawit. Petani juga membutuhkan akses teknologi dalam rangka meningkatkan produktivitas.
Di sisi lain, Mansuetus turut meminta keterbukaan data serapan kelapa sawit untuk bahan bakar B-30 dari hulu ke hilir, termasuk penghematan anggaran untuk mengimpor solar. Menurut dia, keberhasilan penerapan program B-30 turut berimbas pada peningkatan kesejahteraan petani.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang berpendapat, program B-30 menjadi penyangga penyerapan CPO berbasis konsumsi dalam negeri. Penyangga penyerapan ini berfungsi dalam menjaga harga komoditas kelapa sawit dunia.
Menurut Togar, terjaganya harga komoditas kelapa sawit dunia berimbas pada terjaganya harga tandan buah segar di tingkat petani. Hal ini dapat dinilai sebagai insentif yang dinikmati petani.
Tak hanya terjaganya harga di tingkat petani, peningkatan kemitraan antara pelaku usaha dan petani dalam menjalankan program B-30 turut menjadi kunci. Kemitraan ini membuat pelaku usaha dapat mengontrol kualitas produksi CPO yang menjadi bahan baku FAME.
Hingga saat ini, Kepala Subdirektorat Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Effendi Manurung mengatakan, realisasi B-30 mencapai sekitar 789.934 kiloliter. Angka ini setara dengan 8,2 persen dari target realisasi sepanjang 2020.
Effendi menambahkan, saat ini Kementerian ESDM tengah meneliti paduan formula campuran bahan bakar nabati sebanyak 40 persen yang berbahan baku CPO. Setelah itu, formula tersebut akan disesuaikan dengan standar otomotif demi menjaga keamanan berkendara.
Peremajaan lahan
Salah satu wujud konkret program pemerintah yang berorientasi pada kesejahteraan petani kelapa sawit ialah peremajaan tanaman atau replanting. Dalam menjalankan program ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bekerja sama dengan lembaga/kementerian lain, seperti Kementerian Pertanian, dalam hal penyediaan bibit.
Pelaksana Tugas Direktur Kemitraan BPDPKS Muhammad Ferian menyoroti desain program peremajaan lahan kelapa sawit secara komprehensif dari pemerintah. ”Uang hanya bagian kecil dari program itu,” ujarnya.
Ferian menjelaskan, sepanjang 2015-2019, realisasi dana BPDPKS untuk peremajaan lahan kelapa sawit mencapai sekitar Rp 2 triliun. Adapun dana yang diterima petani kelapa sawit sebesar Rp 25 juta per hektar.