Pasar Kerja Makin Fleksibel, Pekerja Makin Rentan ”Didribel”
Pekerja tetap bakal kian mudah di-PHK, apalagi pekerja alih daya. Pasar kerja yang makin fleksibel itu membuat pekerja makin rentan ”didribel”, digiring sembari dipantul-pantulkan bahkan hingga keluar ”lapangan”.
Sejumlah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja massal di tengah kondisi ekonomi yang melemah. Tren hubungan industrial pun mulai bergeser ke arah lebih fleksibel dengan kian maraknya penggunaan tenaga kerja alih daya (outsourcing).
Hal ini patut diantisipasi seiring dengan polemik pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam rancangan legislasi sapu jagat (omnibus law) yang dibuat pemerintah dengan masukan pengusaha dan sejumlah akademisi itu, terjadi pergeseran ke arah fleksibilitas hubungan kerja.
Seiring dengan mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipermudah, definisi pekerja alih daya dan pekerja dengan waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak juga diperluas dengan batas waktu hubungan kerja yang fleksibel.
Fleksibilitas hubungan kerja ini menjadi salah satu poin perhatian dalam diskursus RUU Cipta Kerja. Apalagi, mengingat pekerja alih daya di Indonesia belum memiliki perlindungan hak dan kesejahteraan selayaknya pekerja tetap.
Pekerja tetap juga bakal kian mudah di-PHK sepihak, apalagi pekerja alih daya. Pasar kerja yang makin fleksibel itu membuat pekerja makin mudah ”didribel”, digiring sembari dipantul-pantulkan bahkan hingga keluar ”lapangan”.
Pengamat hukum ketenagakerjaan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, Kamis (27/2/2020), mengatakan, situasi ekonomi dunia yang sedang tidak baik ikut memengaruhi iklim berusaha di berbagai sektor. Setelah perang dagang Amerika Serikat-China, kondisi perekonomian yang mulai pulih kembali terpukul akibat merebaknya wabah virus korona jenis baru (Covid-19).
Selain kondisi ekonomi itu, perusahaan juga mulai bergeser ke arah sistem alih daya dan hubungan kerja yang lebih fleksibel demi strategi efisiensi bisnis. Sistem alih daya sudah banyak diterapkan di banyak negara, tetapi di Indonesia undang-undang belum melindungi hubungan kerja bagi pekerja tidak tetap itu.
”Dengan outsourcing, perusahaan diuntungkan karena bisa merekrut karyawannya secara tidak langsung lewat perusahaan penyedia outsource, dengan upah yang lebih murah, tanpa perlu membayar pesangon ketika di-PHK, dan lebih mudah mem-PHK karyawan,” kata Aloysius.
Ironisnya, kata Aloysius, hal ini justru dipermudah melalui RUU Cipta Kerja yang akan segera dibahas oleh DPR dan pemerintah. Di negara-negara lain tidak ada masalah karena hubungan kerjanya jelas.
”Di Indonesia, karena ketidakjelasan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia pekerja atau perusahaan pengguna pekerja, ada masalah hukum. Outsource ala Indonesia tidak mungkin mendapat perlindungan,” katanya.
Perusahaan mulai bergeser ke arah sistem alih daya dan hubungan kerja yang lebih fleksibel demi strategi efisiensi bisnis.
Salah satu PHK massal baru-baru ini dilakukan perusahaan operator telekomunikasi, Indosat Ooredoo. Pada 14 Februari 2020, Indosat memutus hubungan kerja 677 karyawannya untuk merampingkan SDM dan memacu bisnis untuk bergerak lebih lincah. Sebanyak 622 orang sudah menandatangani surat pemecatan, sedangkan 55 orang menolak karena menilai pemecatan dilakukan sepihak dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Serikat Pekerja (SP) Indosat membawa kasus itu dalam rapat dengar pendapat umum ke Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa (25/2/2020). DPR kemudian menindaklanjuti aduan itu dengan mengadakan audiensi dengan jajaran direksi PT Indosat Ooredoo, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Serikat Pekerja Indosat pada Kamis (27/2/2020).
Ketua SP Indosat Roro Dwihandayani di Jakarta mengatakan, proses PHK itu bermasalah karena dilakukan tanpa melibatkan serikat pekerja. Sementara, pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, jika segala upaya sudah dilakukan tetapi PHK tidak bisa dihindari, PHK harus melalui perundingan terlebih dahulu antara perusahaan, pekerja, dan serikat pekerja atau serikat buruh.
PHK itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 46 butir C3a Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT Indosat Tbk. Pasal itu berbunyi, apabila perusahaan akan mengambil keputusan final PHK yang bukan karena kesalahan karyawan atau permintaan sendiri, perusahaan akan membicarakan terlebih dahulu secara musyawarah dengan SP Indosat.
”Saat kami tanyakan, manajemen mengatakan tidak perlu berunding karena kondisinya tidak ada sanksi jika tidak berunding dengan serikat. Manajemen juga mengatakan perundingan dengan serikat akan memperlama waktu eksekusi PHK,” kata Roro.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Haiyani Rumondang mengatakan, kasus ini sudah diantisipasi pemerintah. Pemerintah sudah mengingatkan PT Indosat Ooredoo agar PHK dilakukan sesuai aturan.
”Kami sudah ingatkan, kami antisipasi, agar Indosat bicara dulu dengan serikat pekerja. Kalau tidak, ini bisa jadi masalah besar,” kata Haiyani.
Dalam audiensi antara pemerintah, DPR, serikat pekerja, dan direksi Indosat kemarin, DPR mendorong agar proses PHK ditangguhkan terlebih dahulu sampai perundingan selesai dilakukan.
Baca juga: Risiko PHK Meningkat, Pekerja Milenial Bersiasat
Haiyani mengatakan, gelombang PHK tidak bisa dihindari di tengah kondisi ekonomi yang melesu. Ini berbarengan dengan kebutuhan perusahaan untuk berinovasi menopang strategi bisnis demi mempertahankan usaha.
”Namun, yang penting, semua tindakan itu harus dicermati sesuai undang-undang, apalagi yang terdampak pada pekerja. Jangan sampai karena itu untuk bisnis, alasannya pekerja. Paling penting sebenarnya adalah PHK harus dibicarakan jauh-jauh hari,” katanya.
Badai PHK juga dilakukan sejumlah perusahaan milik negara (BUMN). Selain PT Indosat, pada hari yang sama, audiensi di DPR juga dilakukan dengan manajemen Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang melakukan PHK massal terhadap puluhan karyawannya.
Serikat Pekerja Antara ikut membawa kasus PHK tanpa pelibatan serikat pekerja itu ke DPR untuk ditindaklanjuti karena dinilai melanggar UU Ketenagakerjaan dan PKB LKBN Antara.
”Praktik-praktik yang dilakukan manajemen terhadap karyawan tidak lagi atas pertimbangan yang wajar dan manusiawi, tetapi lebih banyak kepada kebijakan sepihak direksi,” kata Ketua SP Antara Abdul Gofur.
Praktik-praktik yang dilakukan manajemen terhadap karyawan tidak lagi atas pertimbangan yang wajar dan manusiawi, tetapi lebih banyak kepada kebijakan sepihak direksi.
Selain Antara, perusahaan BUMN lain yang dalam enam bulan terakhir melakukan PHK massal adalah PT Krakatau Steel, yang memecat 1.300 karyawan organik dan alih daya pada akhir Agustus 2019.
Alih daya
Hal lain yang dikritisi serikat pekerja dalam kasus PHK itu adalah isu indikasi penggunaan pekerja alih daya. Pada kasus PT Indosat Ooredoo, konteksnya adalah pengalihan penanganan jaringan (network operation) ke pihak ketiga atau perusahaan alih daya penyedia managed service.
Unit kerja yang paling banyak di-PHK, pada 14 Februari 2020, adalah karyawan yang menangani jaringan (network). Roro menyatakan, urusan penanganan jaringan adalah bisnis inti atau core business dari Indosat sebagai perusahaan telekomunikasi.
Sementara mengacu pada Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, pekerjaan yang bisa dialih daya hanya yang merupakan kegiatan penunjang perusahaan, bukan terkait dengan kegiatan pokok atau proses produksi perusahaan.
”Yang di-PHK kebanyakan karyawan yang bekerja di network operation. Dalam perusahaan telekomunikasi, tren outsourcing cenderung terlihat, seperti XL dan Huawei,” kata Nurkholis (45), teknisi di bidang transmisi jaringan yang ikut di-PHK.
Pekerja alih daya menurut rencana akan mulai dipekerjakan per 1 Juli 2020.
Direktur and Chief Human Resources Officer Indosat Ooredoo Irsyad Sahroni mengatakan, 90 persen dari 677 karyawan yang terdampak reorganisasi sudah diberikan paket kompensasi yang signifikan. Paket itu bahkan lebih tinggi daripada ketentuan yang disyaratkan undang-undang.
Tidak hanya itu, mayoritas sudah menerima keputusan PHK itu dan hanya menyisakan beberapa orang yang belum menerima keputusan perusahaan. ”Perundingan akan terus dilakukan antara manajemen Indosat dan serikat pekerja yang diberi kuasa oleh pekerja yang di-PHK,” ujarnya.
Baca juga: Indosat Ooredoo Gulirkan Strategi Tiga Tahun
Terkait adanya perusahaan managed service untuk pengalihan penanganan jaringan di Indosat, Irsyad mengatakan, Indosat saat ini menjalin kerja sama dengan perusahaan managed service itu. Tujuannya adalah memberi kesempatan bagi karyawan yang terdampak agar tetap bisa bekerja di bawah naungan mitra.
Pelatihan pascakerja juga akan disediakan kepada pekerja yang di-PHK. Indosat menghargai karyawan yang memilih tidak menerima paket yang ditawarkan perusahaan dan menghargai hak mereka untuk menempuh jalur sesuai ketentuan yang berlaku.
”Kami meyakini, reorganisasi bisnis ini adalah tindakan yang berat, tetapi sangat dibutuhkan agar Indosat Ooredoo tetap bertahan dan bertumbuh,” kata Irsyad.
Kami meyakini, reorganisasi bisnis ini adalah tindakan yang berat, tetapi sangat dibutuhkan agar Indosat Ooredoo tetap bertahan dan bertumbuh.
Makin mudahnya PHK pekerja atau makin fleksibelnya pasar tenaga kerja akan menjadi perhatian DPR dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Dilema RUU Cipta Kerja
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ribka Tjiptaning, mengakui ada banyak persoalan dalam RUU Cipta Kerja. Salah satunya mengenai fleksibilitas hubungan kerja serta lemahnya perlindungan terhadap pekerja.
Bagaimanapun perlindungan terhadap pekerja itu tetap harus menjadi perhatian utama dalam hubungan kerja. Hal ini akan menjadi pertimbangan kami, apalagi mengingat ada beberapa kasus PHK massal belakangan ini yang juga bermasalah,” katanya.