Pemerintah Andalkan Papua sebagai Wilayah Penyerap Karbon
Pemerintah membuka peluang masuknya nvestasi yang berkelanjutan. Dua provinsi di Indonesia bagian timur, yaitu Papua dan Papua Barat, disiapkan sebagai wilayah penyerap karbon terbesar di Tanah Air.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
SORONG, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan kawasan Papua dan Papua Barat menjadi wilayah penyerap karbon terbesar di Tanah Air. Investasi hijau di dua provinsi itu tidak lagi menyasar kelapa sawit, tetapi difokuskan pada komoditas yang dapat menguntungkan petani kecil.
Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi Investasi Hijau di Sorong, Papua Barat, Kamis (27/2/2020). Bersama para pelaku bisnis, pemerintah daerah, tokoh adat, dan organisasi masyarakat sipil, Luhut membahas tentang perkembangan investasi rendah karbon di Papua dan Papua Barat.
Dua topik utama pembahasan pada pertemuan itu antara lain investasi masa depan yang diharapkan mampu mengangkat kemakmuran masyarakat lokal. Kedua, mengenai skema kredit karbon di dua provinsi paling timur di Indonesia ini. ”Ini semua untuk menjaga kelestarian hutan di Papua sehingga tetap menjadi gudang karbon yang membantu dunia,” kata Luhut di depan peserta acara.
Turut hadir dalam pertemuan itu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, dan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanosoedibjo.
Sebagai tuan rumah, hadir Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal. Pertemuan tersebut juga terselenggara atas inisiatif berbagai mitra, salah satunya Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH).
Menurut Luhut, keuntungan kredit karbon tersebut sangat potensial untuk kemakmuran rakyat dan pemerintah daerah Papua dan Papua Barat. Hal tersebut juga bisa digunakan untuk restorasi studi lingkungan di tempat masing-masing. Misalnya di Mamberamo, Arfak, dan Raja Ampat. ”Bagi Indonesia, kredit karbon dapat menghasilkan angka miliaran dollar AS per tahun,” ujarnya, menambahkan.
Untuk mendukung langkah tersebut, Luhut kembali menegaskan bahwa tidak ada lagi investasi kelapa sawit di tanah Papua. Investasi yang akan dikembangkan adalah investasi hijau atau ramah lingkungan yang dilakukan akan fokus pada petani kecil menengah. Komoditas yang akan didorong adalah tanaman kakao, pala, kopi, atau rumput laut. ”Kami akan mendorong pengembangan kebun-kebun di sini supaya petani kelas menengah ke bawah bisa menikmati (manfaatnya),” kata Luhut.
Pertemuan itu juga membahas tentang peluang ekspor komoditas tersebut langsung ke luar negeri. Berdasarkan laporan dari Kementerian Perhubungan dan Pelindo IV, hal itu sudah berjalan dan skalanya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Sebelumnya, Dominggus mengatakan, pemerintah daerah telah berkomitmen melakukan pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon di Papua Barat. Mereka bertekad mempertahankan 70 persen tutupan hutan di kawasan Papua Barat.
Pertanian menjanjikan
Syahrul mengatakan, produk pertanian di tanah Papua sangat menjanjikan. Karena itu, diperlukan intervensi bersama, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain kopi, pala, dan kakao, dua komoditas lain yang akan didorong produksinya yaitu jagung dan sagu. ”Hal ini nantinya akan dipetakan oleh tim gabungan. Intervensi bersama ini sangat dibutuhkan,” katanya.
Selain itu, bersama pemerintah daerah, Kementerian Koperasi dan UKM juga berdiskusi untuk membangun skala bisnis kopi sebesar 100-1000 hektar. Dalam skala tersebut, petani-petani harus berkelompok di dalam satu area. Sebab, jika mereka terpencar, akan sulit untuk membangun infrastrukturnya, termasuk jalan.
Menurut Bahlil, investasi hijau saat ini difokuskan pada komoditas pala, kakao, kopi, atau rumput laut lantaran masyarakat sudah familiar dengan tanaman-tanaman tersebut. Masyarakat sudah menanam komoditas tersebut secara turun-temurun.
Dengan begitu, Bahlil berharap pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan secara merata. Menurut dia, hal tersebut belum terjadi saat ini. ”Yang terjadi di Papua sekarang adalah minus. Kalau di Papua Barat, sedikit sekali pertumbuhannya, hanya dikuasai oleh segelintir kelompok,” katanya.
Sebelumnya, BKPM telah merumuskan delapan masalah utama investor di Papua Barat. Masalah tersebut yakni adanya tumpang-tindih lahan, kurangnya SDM lokal yang bersedia bekerja di lahan sawit, dan kurangnya infrastruktur untuk akses ke lahan-lahan perkebunan.
Masalah lainnya yaitu kurangnya keterlibatan dan pengembangan masyarakat, kurangnya pendampingan pemerintah setempat, masalah perpajakan yang berlapis-lapis, regulasi yang menghambat, dan gangguan-gangguan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Menurut Bahlil, dari sejumlah masalah tersebut, yang dirasa paling berat adalah masalah mengenai infrastruktur dan tumpang-tindih kepemilikan lahan. Masalah lahan menjadi prasyarat yang harus diselesaikan sebelum investor datang. Sebab, pengusaha membutuhkan kepastian. ”Kalau mengurus tanah di Papua, hari ini selesai, tapi besok dia punya anak datang tidak selesai. Nanti mereka punya cucu juga seperti itu,” ujarnya.
Selain dua masalah utama tersebut, stabilitas keamanan juga menjadi penghambat investasi. Menurut Bahlil, semua wilayah di Indonesia memiliki potensi untuk bergejolak. Yang terpenting adalah manajemen agar gejolak tersebut bisa diselesaikan. Ia yakin, Papua Barat dapat melakukan hal tersebut.