Sekali saja kepercayaan hilang, tak bisa pulih lagi. Prinsip itu dipegang erat Karmaka Surjaudaja, yang diturunkan kepada anak-anaknya. Mari belajar dari Karmaka.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Indonesia baru saja kehilangan salah satu bankir senior. Namanya Karmaka Surjaudaja, tokoh di balik kesuksesan Bank NISP melewati ”badai” bertubi-tubi sejak 1963. Presiden Komisaris PT Bank OCBC NISP Tbk itu mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Santo Borromeus, Kota Bandung, Senin (17/2/2020), pada usia 85 tahun.
Sejak awal berkecimpung di dunia perbankan, yakni ketika diminta Lim Khe Tjie, mertuanya, untuk mengambil alih manajemen NISP pada 1962, Karmaka berulang kali dihadapkan pada situasi sulit. Selain kondisi perekonomian nasional, dia juga harus berhadapan dengan praktik busuk di internal perusahaan, yang melibatkan oknum sejumlah petinggi NISP. Penyimpangan itu mengakibatkan risiko gagal bayar, kredit macet, serta satu hal lain yang paling penting: lunturnya kepercayaan nasabah.
Pada akhir 1965, ujian besar datang lagi. Ketika itu, pemerintah menempuh kebijakan sanering atau devaluasi, yakni dengan memotong nilai uang dari Rp 1.000 jadi Rp 1. Kebijakan itu membuat perbankan goyah. Banyak nasabah mengamuk karena tiba-tiba kehilangan nilai uangnya, bank-bank memberhentikan pekerjanya, dan ratusan bank ditutup ketika itu.
Perbankan Indonesia kembali menghadapi terpaan krisis pada akhir 1990. Lebih dari 100 bank ditutup karena dinilai bermasalah. Namun, NISP berhasil melewati kondisi itu, bahkan tanpa perlu mengikuti program rekapitalisasi perbankan yang dicanangkan pemerintah.
Namun, ternyata badai belum usai. Krisis kembali terjadi pada 1997/1998.
Ada kisah menarik yang dituturkan Karmaka dan ditulis Dahlan Iskan dalam buku Tidak Ada yang Tidak Bisa (2012).
Ketika baru dua hari tiba di Tanah Air pada akhir 1997, setelah beberapa bulan sebelumnya menjalani transplantasi liver di Amerika Serikat, Karmaka ditelepon seorang nasabah baiknya, Solichin, pemilik Toko Banda di Bandung. ”Banyak sekali orang berjubel di depan gedung Bank NISP. Saya ingin masuk. Sudah dua jam belum juga bisa masuk,” ujar penelepon itu.
Karmaka sebenarnya belum pulih benar, tetapi memaksakan diri pergi ke NISP. Dia melihat terlalu banyak orang berjubel di depan NISP. Di antara kerumunan itu, ada kenalannya, seorang notaris yang baru kena stroke. ”Sudah tiga jam antre sambil berdiri belum juga dilayani. Bahkan disuruh duduk pun tidak,” tulis nasabah itu.
Karmaka tersentuh. Demi meredam kemarahan, dia mempersilakan nasabah itu duduk di ruang khusus, lalu meminta maaf. Karmaka lalu bertanya, berapa banyak uang yang akan ditarik si nasabah. Namun, si nasabah membalas, ”Saya ini datang ke sini mau setor uang.”
Karmaka terperanjat, lho! Ini luar biasa. Ketika rush atau penarikan uang besar-besaran secara bersamaan terjadi di bank-bank lain, kok, malah ada orang mau menyetorkan uangnya.
Krisis moneter yang merembet ke krisis ekonomi, politik, dan sosial ketika itu membuat perbankan nasional kelimpungan. Lebih dari 200 bank goyah dihajar badai krisis, puluhan di antaranya rontok, tetapi lagi-lagi, NISP selamat. Apa kiatnya?
Ketika rush atau penarikan uang besar-besaran secara bersamaan terjadi di bank-bank lain, kok, malah ada orang mau menyetorkan uangnya.
Menurut Pramukti Surjaudaja, anak Karmaka yang ditunjuk sebagai Direktur Utama Bank NISP pada 1997, kuncinya adalah komitmen manajemen memegang teguh prinsip kesehatan, profesionalisme, etika, dan rentabilitas (Kompas, 14/5/2001).
Dalam sistem manajemen NISP, ada komite yang membuat direksi tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Pengawasan melingkar 360 derajat. Komisaris mengawasi direksi, para direksi saling mengawasi, direksi mengawasi karyawan, dan karyawan menilai pimpinan. Dengan begitu, ada kerja sama, saling percaya, dan saling melayani. Benar kata Pramukti, kadang-kadang manusia tidak bisa melihat dirinya sendiri.
Prinsip kerja sama, saling percaya, dan melayani itu melandasi pelayanan kepada nasabah. Bagi Karmaka, kepercayaan nasabah adalah yang paling utama, karena itu harus dijaga dan diperjuangkan.
Putri Karmaka, Parwati Surjaudaja yang menjabat Presiden Direktur dan CEO PT Bank OCBC NISP Tbk, mengulang hal yang ditanamkan ayahnya, ”Ibarat kayu, sekali patah, tidak bisa disambung lagi. Begitu pula kepercayaan, yang sekali saja hilang, tak bisa pulih lagi. Maka, kepercayaan nasabah harus dijaga” (Kompas, 31/10/2016).
Maka, kepercayaan nasabah harus dijaga
Kisah Karmaka dinilai menginspirasi. Pada 2015, perjalanan hidup Karmaka dan istrinya, Lelarati Lukman, dibikin film berjudul Love and Faith. Hari-hari ini, nilai-nilai yang ditanamkan Karmaka belum lekang. Mari belajar dari Karmaka.