Apakah para ”influencer” yang dibayar dengan anggaran publik turut membayar pajak? Di tengah kerumitan memajaki pelaku industri digital, pemerintah perlu memperjelas langkah memakai jasa mereka untuk promosi wisata.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Entah pemerintah mendapat ide dari mana ketika berencana mengeluarkan uang Rp 72 miliar untuk mengongkosi influencer sebagai bagian dari kampanye pariwisata. Langkah ini kabarnya untuk menjaga kinerja sektor pariwisata dari dampak negatif wabah virus Covid-19 yang masih mencemaskan. Sudah dipertimbangkan secara masak?
Debat ini tidak mengulas soal manfaat kehadiran influencer bagi promosi pariwisata. Kita lebih mempertanyakan pembiayaan promosi ini dari sisi perpajakan. Biaya ini dari anggaran yang sebagian berasal dari pajak yang dibayarkan warga. Pertanyaannya, sejauh mana para influencer itu ikut membayar pajak? Bisa dibayangkan bila ternyata pemerintah membiayai orang atau pihak yang ternyata selama ini belum membayar pajak.
Setidaknya dari pernyataan pemerintah yang muncul di media, sampai sekarang mereka belum bisa dijaring sebagai wajib pajak. Pejabat pemerintah dalam beberapa kesempatan menyatakan, mereka belum memiliki aturan untuk menarik pajak dari para pekerja media sosial. Sejauh ini, penanganan mereka masih sama dengan yang lain, yaitu sekadar membayar Pajak Penghasilan. Dari pengakuan pejabat pemerintah, sebagian besar dari mereka belum membayar pajak.
Indonesia tidak sendirian. Beberapa negara, seperti Denmark, Korea Selatan, dan Australia, sedang berupaya memajaki para influencer. Alasannya, nilai bisnis orang berpengaruh di media sosial itu 5 miliar-10 miliar dollar AS secara global tahun ini. Namun, sejauh ini influencer belum dikenai pajak karena sulit dilacak dan sulit menilai uang yang diterima oleh para selebritas media sosial. Belum lagi jika influencer mendapat produk gratisan dari para sponsor, pemerintah makin sulit lagi mengenakan pajak bagi mereka.
Australia sebenarnya lebih maju. Mereka punya ide, barang siapa bisa menghasilkan uang dari ketenarannya, mereka disarankan menegosiasi dan merenegosiasi dengan pemberi kerja atau partner bisnis agar dihitung kewajiban pajaknya. Selama ini, ada bukti mereka memisahkan pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ini dari pendapatan pribadi yang bisa dikenai pajak. Oleh karena itu, mereka menyarankan agar dalam negosiasi harga, selebritas negara itu memasukkan pajak di dalam kontrak.
Di tengah keribetan pemajakan ini, pemerintah malah akan menggunakan selebritas media sosial untuk mempromosikan program pemerintah. Belum lagi, bagaimana pemerintah akan memilih influencer itu? Masalah ini juga tidak mudah. Pemerintah harus memastikan konten-konten mereka sejalan dengan program pemerintah lainnya. Australia telah mengalaminya. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh laman Prweek menyebutkan, negara itu menghentikan penggunaan selebritas media sosial karena mereka menemukan sejumlah konten yang bertentangan dengan program pemerintah.
Warga memprotes penggunaan anggaran itu untuk membiayai para ”influencer” yang ternyata mengampanyekan gaya hidup tidak sehat.
Pada saat Pemerintah Australia mengampanyekan program-programnya, mereka malah membuat unggahan yang bertentangan. Kementerian Kesehatan negara itu yang membuat kampanye hidup sehat akhirnya menghentikan penggunaan selebritas media sosial setelah mengucurkan dana hingga 600.000 dollar AS setelah diketahui mereka malah mengunggah penggunaan alkohol dan pil untuk diet.
Warga memprotes penggunaan anggaran itu untuk membiayai para influencer yang ternyata mengampanyekan gaya hidup tidak sehat.
Departemen Pertahanan Australia pernah membiayai selebritas media sosial untuk mengampanyekan minat anak muda di dunia militer dengan mengeluarkan 52.500 dollar AS untuk salah satu selebritas, tetapi ternyata dia mengeluarkan unggahan yang tidak sopan. Pemerintah Australia akhirnya menghentikan penggunaan influencer.
Kementerian Keuangan Singapura seperti diberitakan laman Strait Times juga pernah menggunakan selebritas di Instagram untuk mengampanyekan pentingnya anggaran. Melalui agensi, mereka merekrut sejumlah orang yang memiliki akun Instagram dengan jumlah pengikut 1.500-35.000.
Meski demikian, cara ini dikritik karena hanya sekadar menyadarkan orang tentang anggaran, tetapi tidak akan mengubah perilaku dan sikap. Mereka hanya berguna hingga tahap menyadari tentang isu yang dikampanyekan.
Keribetan lainnya adalah tata kelola penggunaan influencer mulai dari pemilihan selebritas yang diajak bergabung, harga yang harus dibayar pemerintah, hingga cara-cara yang digunakan untuk memastikan konten yang diunggah selaras dengan kebijakan pemerintah. Mereka tidak bisa lagi bebas semaunya sendiri membuat unggahan.
Alangkah baiknya pemerintah membuka semua masalah ini, seperti agensi yang menangani, selebritas media sosial yang dipilih, harga yang diberikan, dan tentu pernyataan mereka bahwa ikut membayar pajak agar pemerintah tidak blunder di media sosial.