Kelanjutan Proyek KA Trans-Sulawesi Masih Terkendala Lahan
Kelanjutan proyek kereta Trans-Sulawesi hingga kini terkendala lahan. Sebagian besar lahan yang akan digunakan untuk pembangunan jalur rel masih bersoal dengan warga yang belum sepakat dengan nilainya.
Oleh
RENY SRI AYU
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kelanjutan proyek kereta Trans-Sulawesi hingga kini masih terkendala lahan. Sejauh ini sebagian besar lahan yang akan digunakan untuk pembangunan jalur rel masih bersoal dengan warga yang belum sepakat dengan nilai tanah yang ditaksir Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
Padahal, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, menarget pengoperasian kereta perintis (Labbakkang-Palanro) dan kereta logistik (Tonasa-Garongkong) mulai dilakukan pada Januari 2021. Adapun pengoperasian secara menyeluruh Lanbakkang-Palanro dan Tonasa-Garongkong pada Juli 2021. Persoalan lahan itu membuat pemerintah menempuh jalur konsinyasi untuk ganti rugi lahan warga.
Persoalan tanah ini dibahas dalam rapat terbatas dan tertutup di rumah jabatan Gubernur Sulsel di Makassar, Jumat (28/2/2020) malam. Pertemuan ini antara lain dihadiri Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, Dirjen Perkeretapian Zulfikri, dan pejabat terkait. Hadir pula pemerintah daerah dari kabupaten yang wilayahnya masuk dalam proyek kereta Trans-Sulawesi. Menhub kemudian meninjau proyek pada Sabtu (29/2/2020) pagi.
Berdasarkan data Dirjen Perkeratapian Kementerian Perhubungan, jalur kereta Makassar-Parepare akan membentang sepanjang 142 kilometer dengan 16 stasiun. Saat ini yang rampung baru lebih dari 40 kilometer di wilayah Barru.
Proyek terbagi atas beberapa segmen, di antaranya Barru-Parepare, Barru-Pangkep, dan Pangkep-Maros. Untuk Barru, luas lahan yang dibutuhkan 311.269 meter persegi. Dari luas lahan ini, sebanyak 57 persen lahan telah rampung dibebaskan, 13 persen konsinyasi, dan sisanya belum tuntas.
Sementara di Pangkep, luasnya 2.038.987 meter persegi dan baru 8,8 persen yang rampung. Sebanyak 47,5 persen lainnya dalam bentuk konsinyasi, 32 persen belum tuntas, dan selebihnya dalam proses taksiran oleh LMAN serta penilaian dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Adapun di Maros, kebutuhan lahan 965.255 meter persegi. Sebanyak 71,7 persen di antaranya belum tuntas dan 14,3 persen tuntas. Selain itu, sebanyak 3,4 persen konsinyasi dan sisanya masih penilaian BPKP.
Tak ada alasan proyek ini tak jalan karena anggaran telah disiapkan.
Untuk lahan di Pangkep dan Maros, pemerintah menyediakan dana lebih dari Rp 350 miliar untuk pembebasan lahan. Adapun nilai tanah bervariasi tergantung letak, kelengkapan surat tanah, hingga peruntukan selama ini.
Menteri Perhubungan mengatakan, pertemuan ini dilakukan untuk mempercepat proses penuntasan pembebasan lahan. Budi mengatakan, tak ada alasan proyek ini tak jalan karena anggaran telah disiapkan.
”Pembebasan lahan harus dilakukan dan dipercepat. Untuk itu, kami melakukan pertemuan ini. Pemerintah sudah menyiapkan anggaran dan sebagian dititipkan di pengadilan. Sosialisasi juga sudah dilakukan agar warga mendukung proyek ini. Kami berharap bisa tuntas secepatnya,” kata Budi.
Sementara itu, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengakui, sejauh ini sebagian warga setuju dengan pembayaran, sebagian tidak. Untuk itu, warga dan pemerintah kabupaten diminta bekerja sama. Semua pihak juga diminta melakukan penguatan untuk menuntaskan persoalan pembebasan lahan.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri mengatakan, lahan-lahan dalam bentuk konsinyasi sedang diupayakan segera tuntas. Persoalan lain terkait lahan adalah adanya lahan yang masuk kawasan hutan ataupun fasilitas umum.
”Proyek kereta Trans-Sulawesi ini adalah gabungan kereta barang dan transportasi manusia. Pengerjaannya dilakukan paralel agar bisa tuntas bersamaan,” katanya.