Momentum Kebangkitan Kakao Indonesia
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan perwakilan masyarakat berkomitmen untuk memajukan komoditas kakao di Papua dan Papua Barat.
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan perwakilan masyarakat telah berkomitmen untuk memajukan komoditas lokal berbasis ramah lingkungan di Papua dan Papua Barat. Komitmen ini diharapkan mampu menjadi momentum kebangkitan industri kakao sebagai salah satu komoditas lokal di kawasan Papua dan sejumlah kawasan lain di Nusantara.
Pertemuan Tingkat Tinggi Investasi Hijau yang diselenggarakan di Sorong, Papua Barat, pada Kamis (27/2/2020) telah menghasilkan keputusan untuk mendorong produksi komoditas lokal, seperti kakao, pala, kopi, sagu, dan rumput laut. Komoditas tersebut akan menggantikan kelapa sawit yang telah dimoratorium sebelumnya oleh pemerintah.
”Kelapa sawit sudah pasti menguntungkan perusahaan besar, tapi belum tentu menguntungkan masyarakat lokal. Sekarang kami ingin dorong peran petani kecil menengah,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Baca juga : Hilirisasi Kakao Terkendala Pasokan Biji Kakao dan Bea Masuk
Salah satu komoditas unggulan dari Papua dan Papua Barat adalah kakao (Theobroma cocoa). Biji daging dari buah kakao ini dikenal sebagai bahan dasar pembuatan cokelat. Selain masyarakatnya yang sudah turun-temurun menanam pohon kakao, tanah Papua dikenal sebagai salah satu penghasil kakao terbaik di dunia.
Komisioner PT Bumitangerang Mesindotama (BT Cocoa) Piter Jasman mengatakan, Indonesia pernah menghasilkan kakao sebanyak 600.000 ton per tahun. Pada 2010, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan bea keluar (BK) kakao. Hal ini lantas menarik para investor asing masuk ke Indonesia.
”Investor luar negeri banyak yang masuk ke Indonesia. Mesin-mesin pengolahan kakao yang terpasang di Indonesia total memiliki kapasitas sekitar 800.000 ton per tahun,” katanya.
Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan industri kakao terbesar di dunia. Namun, hal tersebut tak bertahan lama. Setelah tahun 2010, produksi kakao dari petani merosot menjadi 200.000 ton per tahun sehingga memaksa pelaku usaha mengimpor bahan baku dari luar negeri untuk memenuhi permintaan pasar.
Dari segi produksi, Indonesia pernah menjadi negara peringkat ketiga penghasil kakao terbesar dunia di bawah Ghana dan Pantai Gading. Dengan menurunnya produktivitas di kalangan petani, Indonesia kini menduduki peringkat keenam penghasil kakao di dunia.
Baca juga : Ribuan Hektar Kebun Kakao Jayapura Diremajakan
Menurut Direktur PT Olam Indonesia Vijay K Karunakaran, dari 200.000 ton produksi kakao di Indonesia, wilayah Papua menyumbang setidaknya 3.000 ton per tahun. Sebagai perbandingan, Pantai Gading menghasilkan kakao sebanyak 2 juta ton setiap tahun.
”Kualitas kakao di Papua bagus. Meski mereka tidak melalui proses fermentasi, permintaan pasar selalu ada. Sekarang, kita harus bicara untuk menaikkan produksinya,” ujarnya.
Saat ini, rata-rata petani hanya bisa memproduksi kakao sebesar 400 kilogram per hektar setiap tahun. Padahal, jika menggunakan teknologi yang benar, lanjut Piter, mereka memiliki potensi untuk memproduksi sebanyak 2 ton kakao per hektar setiap tahun.
Kusnan Arief, perwakilan dari Green Economy Growth UK Aid, sejak 1998 telah melakukan pendampingan kepada petani di 30 perkampungan Kabupaten Jayapura. Bersama dengan Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi, dan Kota Jayapura, daerah ini dulunya mampu menghasilkan 9.450 ton per tahun pada medio 2007-2008.
Hal tersebut kemudian berubah drastis pada 2011. Petani saat itu hanya mampu menghasilkan sekitar 1.500 ton per tahun. ”Itu sangat berpengaruh bagi masyarakat. Dulunya mereka bisa menyekolahkan anak, sekarang sulit mencari biaya. Anak muda yang bisa sekolah SMA saja sudah bersyukur,” tuturnya.
Menurut dia, banyak faktor penyebab menurunnya produksi tersebut. Namun, yang paling utama adalah masalah varietas. Biji cokelat yang ditanam zaman dulu sudah tidak resisten terhadap hama dan penyakit.
Peluang bangkit
Piter mengatakan, permintaan cokelat di Asia Pasifik terus meningkat 4-5 persen setiap tahun. Terutama di tiga negara, yakni China, India, dan Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia mengingat tidak semua negara mampu menanam kakao. Hanya negara yang dilewati garis khatulistiwa yang mampu melakukannya.
Dengan adanya moratorium kelapa sawit dan investasi hijau di Papua dan Papua Barat, Piter berharap, kakao di Indonesia dapat bangkit. Peningkatan produktivitas kakao, selain meningkatkan devisa negara, juga berdampak pada sekitar 95 persen petani perorangan.
”Jika di daratan Papua ada sekitar 30 persen wilayahnya yang bisa dikembangkan, kami setuju untuk ditanami kakao. Kami akan membantu,” ucapnya.
Baca juga : Cerita Kakao dari Hutan Papua
Head of Sustainable Cocoa Indonesia Imam Suharto menyebutkan, Olam telah melakukan sejumlah strategi untuk pengembangan kakao di Indonesia. Strategi itu antara lain dengan mendorong produktivitas petani, melarang deforestasi, dan melakukan pemberdayaan pada petani.
”Kami tidak akan membeli satu biji kakao pun dari petani yang menanam di hutan. Kami akan cek asal-usul kakao tersebut,” katanya.
Untuk memudahkan penerapannya, Olam telah mendata 70.000 petani yang bekerja sama dengan mereka melalui Olam Farmers Information System (OFIS). Selain itu, Olam juga menggolongkan petani tersebut berdasarkan tingkat keahliannya.
Hal itu bertujuan untuk memudahkan pelatihan kepada petani sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Petani yang memiliki kategori profesional akan mendapatkan pelatihan terkait dengan teknologi pertanian. Sementara itu, petani yang baru memiliki pengetahuan dasar akan didorong untuk meningkatkan keahliannya.
”Kami juga memiliki beberapa tim yang terdiri dari 200 orang. Mereka melakukan pendekatan lapangan kepada petani,” lanjut Imam.
Menurut dia, ada beberapa hal yang selama ini menghambat peningkatan produktivitas kakao di Indonesia. Masalah yang tak bisa terhindarkan adalah perubahan iklim serta serangan hama dan penyakit sebelum panen. Hal ini diperkuat dengan minimnya pengetahuan mitigasi dari petani.
Masalah lainnya berkaitan dengan akses petani pada permodalan. Meski pemerintah telah menyediakan kredit usaha rakyat (KUR) dengan suku bunga 6 persen, hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Masih banyak petani yang tidak memiliki agunan untuk memenuhi persyaratan dari perbankan sebelum mengajukan KUR.
”Padahal, permodalan tersebut penting digunakan petani untuk melakukan teknik good agriculture practice, seperti memberikan pupuk atau pestisida,” kata Vijay.
Familiar
Program Director Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) Zakki Hakim menuturkan, kakao menjadi salah satu komoditas yang produksinya akan didorong di Papua dan Papua Barat selain pala, kopi, sagu, dan rumput laut hingga ekowisata. Sebab, masyarakat dinilai sudah familiar meskipun mereka masih memerlukan pelatihan dan dukungan infrastruktur.
”Saat ini volumenya masih kecil dan teknis budidayanya belum optimal. Selain itu, ada kendala infrastruktur untuk membawa komoditas itu keluar dari tempat panen ke pelabuhan hingga sampai ke luar Pulau Papua dan luar negeri,” katanya.
Peran IDH dalam hal ini adalah menjembatani antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta untuk mengembangkan bisnis yang berkelanjutan. Pertemuan tingkat tinggi yang dilaksanakan di Sorong menjadi salah satu ajang untuk menggaet investor baru agar tertarik dengan Papua dan Papua Barat.
Sebanyak 25-30 perusahaan mengadakan pertemuan tertutup dengan perwakilan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam waktu satu bulan, para pengusaha akan membuat rencana kerja dan disampaikan kepada pemerintah. Dari situ pemerintah akan memetakan kebutuhan dari para investor.
Selain Luhut, hadir dalam pertemuan tersebut Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Hadir pula Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanosoedibjo, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan, dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal.
Menurut Zakki, untuk membangun Papua dan Papua Barat dibutuhkan investasi sebanyak 200 juta dollar AS atau Rp 2,8 triliun untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Sebab, tantangan dari pengembangan komoditas ini adalah menjaga hutan supaya tetap utuh dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.
”Hal tersebut ditargetkan bisa memberikan penghasilan alternatif untuk 60.000 keluarga di Papua dan Papua Barat,” katanya.
Oleh sebab itu, investasi sebanyak 200 juta dollar AS tersebut nantinya akan dialokasikan untuk melakukan pemberdayaan petani, penguatan koperasi, serta penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemberdayaan petani yang dimaksud termasuk pelatihan budidaya pertanian yang baik.
Dana sebanyak 200 juta dollar AS itu bisa berasal dari kombinasi antara hibah dan investasi dari perusahaan. Artinya, perusahaan yang mau memberikan pelatihan kepada petani, dananya tidak harus ditanggung mereka seluruhnya.
Selain itu, ada juga skema keuangan inovatif di mana dana global dapat turut dimasukkan. ”Seperti dana hasil kombinasi climate impact fund dengan dana hibah, dana perusahaan, atau mungkin APBD dan APBN,” lanjutnya.