Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur China merosot, dari 50 pada Januari 2020 ke 35,7 pada Februari 2020. Hal ini menunjukkan geliat investasi manufaktur China melambat. Ancaman bagi ekonomi dunia kian nyata.
Oleh
Agnes Theodora/Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Epidemi Covid-19 memengaruhi kinerja perdagangan dunia, membuat indeks saham anjlok, dan menahan penduduk dunia bepergian. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dunia terancam merosot.
Ancaman kian nyata setelah Biro Statistik Nasional China merilis Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur pada pekan lalu. Data yang dikutip Kompas, Minggu (1/3/2020), menunjukkan, PMI Manufaktur China anjlok dari 50 pada Januari 2020 menjadi 35,7 pada Februari 2020. Posisi ini merupakan yang terlemah sejak krisis keuangan global pada 2008. Mengutip laman Bloomberg, pada November 2008, PMI Manufaktur China pada posisi 38,8.
PMI Manufaktur menunjukkan geliat investasi manufaktur. Angka di atas 50 bermakna geliat investasi meningkat, sedangkan di bawah 50 menunjukkan sebaliknya. Kondisi ini memengaruhi dunia karena ekspor China besar di dunia. Indonesia juga terpengaruh seiring nilai perdagangan dengan China yang meningkat, dari 48,23 miliar dollar AS pada 2014 menjadi 72,826 miliar dollar AS pada 2019.
Pengaruh bagi Indonesia juga akan terasa di sektor manufaktur. Sebab, Indonesia bergantung pada impor bahan baku non-migas dari China, terutama mesin dan peralatan mekanik, komponen elektronik, dan bahan industri farmasi.
Pemerintah mesti merespons dengan tepat agar perekonomian Indonesia tidak terseret perlambatan pertumbuhan ekonomi China lebih dalam. Caranya, antara lain melalui kebijakan mendorong substitusi impor, membenahi industri manufaktur, serta mencari pasar ekspor baru.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Indonesia pada 2019 terbesar ke China, yakni 25,852 miliar dollar AS, disusul ke AS senilai 17,681 miliar dollar AS. Sementara, impor nonmigas Indonesia terbesar dari China, senilai 44,578 miliar dollar AS.
Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia I Gusti Putu Wira Kusuma di Bandung, Sabtu (29/2/2020), menyampaikan, sektor manufaktur atau pengolahan menjadi penyumbang tertinggi dalam neraca perdagangan. Namun, porsinya terus berkurang seiring produktivitas yang merosot.
Mengutip data BPS, ekspor nonmigas dari hasil industri pengolahan pada 2019 senilai 126,568 miliar dollar AS. Nilai ini turun 2,73 persen dibandingkan dengan 2018 yang senilai 130,118 miliar dollar AS.
Wira menambahkan, kondisi saat ini perlu dilihat sebagai momentum membenahi sektor manufaktur. Peningkatan nilai tambah pada produk komoditas Indonesia dapat mendongkrak kinerja ekspor.
Pemerintah sudah mengeluarkan stimulus dan insentif untuk menggenjot konsumsi domestik di sektor yang terdampak epidemi Covid-19. Namun, stimulus juga diperlukan untuk mendorong produksi ketika perdagangan dengan China terhambat.
Kondisi saat ini perlu dilihat sebagai momentum membenahi sektor manufaktur.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Sabtu, menyampaikan, pemerintah memberi insentif diskon tiket pesawat dari Jakarta ke 10 destinasi wisata di Indonesia mulai Minggu (1/3). Tujuannya, menggerakkan pariwisata domestik.
Defisit
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi defisit transaksi berjalan akan melebar karena kegiatan produksi yang tersendat dan ekspor yang tidak maksimal. Pemerintah perlu mencari cara mendorong substitusi barang domestik untuk menggantikan impor bahan baku dari China.
Berdasarkan data BI, transaksi berjalan pada triwulan I-2019 defisit 6,593 miliar dollar AS, lebih dalam daripada defisit triwulan I-2018, yakni 4,937 miliar dollar AS.
Pemerintah perlu mencari cara mendorong substitusi barang domestik untuk menggantikan impor bahan baku dari China.
Indonesia, kata Josua, harus mulai memperluas pasar ekspor. Selama ini, ekspor Indonesia cenderung mengalir ke tiga negara utama, yaitu China, AS, dan Jepang.
”Kebijakan kita jangan hanya defensif dalam arti membatasi impor, tetapi juga harus ofensif, meningkatkan keterbukaan dan memperluas pasar ekspor kita,” kata Josua.
Di pasar modal, rencana Otoritas Jasa Keuangan yang akan membolehkan emiten membeli kembali saham (buyback) di pasar modal menjadi sentimen positif.
Meski demikian, analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada, berpendapat, jika hanya menyiapkan insentif tanpa memulihkan kepercayaan pasar, pelaku pasar hanya akan memanfaatkan untuk aksi ambil untung. (AGE/DIM)