Fokus kebijakan yang memprioritaskan investasi dikhawatirkan mengorbankan keberlanjutan sektor perikanan dan kelautan. Pemerintah diminta memperhatikan prinsip keberlanjutan dan berpihak ke nelayan tradisional.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah menggenjot investasi di sektor perikanan dan kelautan dikhawatirkan mengorbankan lingkungan dan keberlanjutan. Sejumlah lembaga meragukan arah kebijakan sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi aturan terkait perikanan dan kelautan.
Pemerintah diminta mengedepankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, strategi perikanan berkelanjutan maupun keberpihakan kepada pelaku usaha kecil yang mendominasi sektor kelautan dan perikanan. Demikian benang merah diskusi yang digelar Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral), di Jakarta, Selasa (3/3/2020).
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch-Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menyoroti RUU Cipta Kerja yang membuka keran masuknya investasi asing di perikanan tangkap. Sementara itu, rancangan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan juga membuka izin kapal asing yang bisa meminggirkan nelayan nasional.
”Masuknya kapal asing berukuran besar merupakan karpet merah bagi asing, tetapi akan berdampak meminggirkan nelayan nasional,” katanya.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyatakan, liberalisasi perikanan memberikan ruang investasi kepada pemodal besar, tetapi menggerus kedaulatan. Sementara itu, kebijakan memperbolehkan anak buah kapal (ABK) kewarganegaraan asing maksimum 30 persen di kapal perikanan bisa meminggirkan peluang ABK Indonesia mengisi kapal-kapal ikan.
”Pemerintah mau jualan murah (investasi) lima tahun ke depan atau strategi jangka panjang untuk penguatan nelayan Indonesia untuk mengisi perairan hingga ke zona ekonomi eksklusif Indonesia?” tanya dia.
Leonard juga menyoroti dibukanya alih muatan kapal ikan di tengah laut (transshipment). Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki kemampuan untuk mengontrol dan melakukan pengawasan kapal perikanan. Minimnya pengawasan dikhawatirkan memicu perikanan tidak dilaporkan (unreported) ataupun ikan dilarikan ke luar negeri.
Menurut Direktur Enforcement Support and Stakeholder Partnership Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Fadilla Octaviani, hasil analisis dan evaluasi Satgas 115 terhadap 1.132 kapal ikan buatan luar negeri tahun 2015 menunjukkan, seluruh kapal itu terbukti melakukan pelanggaran operasional. Sebanyak 60-70 persen kapal itu dimiliki pemodal asing.
”Jadi, kapal buatan luar negeri itu tidak putus dari relasi kepemilikan asing. Perusahaan Indonesia hanya agen dan perantara,” kata Fadilla yang sebelumnya menjabat anggota Satgas 115.
Pemerintah seharusnya fokus mendorong pembangunan perikanan yang menyentuh nelayan tradisional.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati mengemukakan, pemerintah seharusnya fokus mendorong pembangunan perikanan yang menyentuh nelayan tradisional ketimbang membuka investasi asing. ”Kebijakan kelautan dan perikanan seharusnya mampu menyeimbangkan sumber daya yang ingin diurus dan dimanfaatkan,” ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengemukakan, ekonomi akan bergerak kalau gerakan pelaku usaha perikanan kencang. Pertumbuhan ekonomi meniadi tujuan kita, tetapi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pihaknya sudah memulai dengan membuka komunikasi. Sejumlah peraturan yang sebelum ini memberatkan dan menyulitkan sudah dievaluasi, dan tinggal dilaporkan kepada presiden untuk selanjutnya diterbitkan.
”Peraturan menteri yang berpihak kepada pelaku usaha perikanan akan diterbitkan. Jika ada peraturan yang dinilai menimbulkan gangguan, silakan beri masukan. Tetapi, kami minta arah yang positif. Boleh kritik di mana saja, tetapi harus ada solusi,” katanya, dalam peluncuran lembaga pengelolaan perikanan WPP-NRI dan harvest strategy di perikanan kerapu, kakap, dan rajungan, di Jakarta, Selasa.
Pengelolaan wilayah
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana mengoperasikan lembaga pengelola di 11 wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar mengemukakan, pemerintah saat ini mendorong arah baru pemanfaatan potensi perikanan berkelanjutan melalui pengelolaan WPP-NRI. Pengelolaan berbasis WPP-NRI merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.
”Pengelolaan perikanan berbasis WPP-NRI bisa terwujud melalui kesepakatan semua pihak. Maka, perlu dibentuk lembaga pengelolaan untuk mengelola di WPP masing-masing,” ujarnya.
Di samping itu, pemerintah telah menyusun strategi pengelolaan kerapu, kakap, dan rajungan menjadi salah satu acuan dalam mengelola WPP-NRI untuk menjaga keberlanjutan usaha nelayan kecil.
Tahun 2018, total ekspor komoditas kerapu, kakap, dan rajungan senilai Rp 6 triliun. ”Ini komoditas ekonomi yang perlu kita kawal karena tekanan terhadap sumber daya ini semakin meningkat sehingga butuh strategi tata kelola yang efektif,” katanya.
Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengemukakan, operasional lembaga pengelola WPP-NRI akan melibatkan pemerintah provinsi, perguruan tinggi, pelaku usaha, nelayan, dan KKP.