”Panic Buying” dan ”Panic Policy” Rugikan Masyarakat dan Perekonomian
”Panic buying” atau membeli banyak barang dalam waktu singkat akibat kepanikan pada dasarnya merugikan semua pihak. Masyarakat diharapkan dapat lebih rasional dalam menyikapi pemberitaan dan tidak perlu panik.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Istilah panic buying atau membeli sesuatu karena panik merupakan respons alami terhadap hilangnya kontrol psikologis akibat sesuatu yang mencemaskan dan tak pasti, dalam konteks sekarang adalah penyebaran corona virus disease atau Covid-19 yang masif dan global. Definisi ini dikutip dari artikel di laman knowledge.insead.edu berjudul ”The Psychology Behind Coronavirus Panic Buying”, Jumat (6/3/2020).
Dalam keadaan panic buying, masyarakat membeli kebutuhan sehari-hari, khususnya alat pencegah penyakit, misalnya masker dan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dalam jumlah besar. Masyarakat juga terdorong membeli kebutuhan pokok lebih dari pembelian normal.
Sejak merebaknya Covid-19 pada akhir Januari 2020, sejumlah negara menghadapi panic buying, antara lain China, Singapura, Hong Kong, Australia, Italia, dan Indonesia. Panic buying terjadi di Indonesia setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia menderita penyakit Covid-19 pada Senin, 2 Maret.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyampaikan, setidaknya panic buying terjadi di beberapa kota, yakni Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, Surabaya, dan Semarang. Akibatnya, pada hari itu, terjadi rata-rata peningkatan pembelian khususnya masker dan hand sanitizer secara signifikan.
”Bagi peritel, panic buying itu suatu hal yang tidak lazim, tidak normal, dan tidak boleh terjadi karena akan mengganggu mekanisme perdagangan. Aksi borong ini membuat konsumen membeli di luar batas kewajaran sehingga konsumen lain enggak kebagian,” kata Roy saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Roy, panic buying terjadi pada seseorang yang cemas dan menjadi korban hoaks. Masyarakat menjadi fobia atau ketakutan berlebihan yang tidak berdasarkan rasio dan paranoid atau tergesa-gesa untuk mengambil keputusan tanpa pemikiran yang kritis.
Akibat panic buying, stok masker dan hand sanitizer menjadi kosong di pasaran. Harga penjualan di beberapa situs daring pun melonjak, misalnya 1 boks masker isi 50 buah dijual Rp 400.000 per boks dari harga normal Rp 25.000 per boks.
Masyarakat, lanjut Roy, diharapkan dapat lebih rasional dalam menyikapi pemberitaan dan tidak perlu panik karena pemerintah sudah menyiapkan langkah antisipasi. Selain itu, stok masker dan hand sanitizer pun diharapkan minggu depan sudah kembali normal karena produksi sudah berjalan.
”Diharapkan minggu depan sudah ada stoknya (masker dan hand sanitizer) lagi karena produksi sudah berjalan. Kami sudah meminta para produsen untuk meningkatkan kapasitasnya dan distributor juga diminta untuk segera mengirim,” ujar Roy.
Tidak signifikan
Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, panic buying yang sempat terjadi tidak akan berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Sebab, masker dan hand sanitizer tidak termasuk barang pemicu inflasi.
”Penyebab inflasi terbesar biasanya itu makanan. Dampak inflasi hanya akan terjadi kalau panic buying-nya terjadi selama dua minggu atau satu bulan. Kalau hanya satu atau dua hari seperti kemarin, tidak akan terlalu signifikan juga terhadap inflasi,” tutur Tauhid.
Selain panic buying, lanjutnya, yang lebih berbahaya adalah panic policy seperti yang terjadi pada awal Februari terkait penundaan impor bawang putih. Pengumuman ini seolah menjadi hukuman bagi pelaku usaha.
”Keadaan itu membuat adanya momentum bagi pelaku usaha untuk menahan bawang putih karena impor ditunda, akibatnya inflasi terjadi. Harga rata-rata bawang putih sempat menyentuh Rp 60.000 per kilogram, 50 persen lebih dari harga normal,” ujar Tauhid.
Catatan Kompas, Kementerian Pertanian pada 5 Februari menyatakan, pihaknya menunda impor sejumlah komoditas hortikultura asal China. ”Impor terbesar itu bawang putih dan bawang bombay. Buah-buahan juga ada, seperti jeruk, apel, dan pir,” ujar Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto saat itu.
Meski sempat terjadi panic buying, masker dan hand sanitizer dapat disubstitusi, masyarakat masih punya pilihan. Berbeda dengan bawang putih, masyarakat tidak punya pilihan substitusi.
Untuk itu, kata Tauhid, jangan sampai terjadi rumor dan kebijakan yang tergesa-gesa dari pemerintah agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat. Tak hanya itu, terkait panic buying, pemerintah harus menegakkan pengawasan dan memberikan sanksi bagi penimbun yang mencari keuntungan.
”Pemerintah juga harus menyiapkan strategi operasi pasar kalau penyebaran Covid-19 terjadi lagi atau bahkan lebih besar. Jangan sampai masyarakat kembali panik dan berdampak pada inflasi karena masyarakat juga yang akan rugi,” katanya.
Rencana kontingensi
Mengutip artikel Guardian berjudul ”UK Supermarkets Draw Up Plan to ’Feed The Nation’ as Coronavirus Spreads” yang terbit pada Senin (2/3/2020), supermarket Inggris telah menyusun rencana kontingensi apabila Covid-19 terus mewabah sehingga memicu panic buying kembali terjadi. Rencana tersebut diistilahkan dengan feed the nation.
Melalui rencana ini, supermarket akan bekerja sama dengan pemasok untuk mengurangi stok berbagai makanan dan bahan makanan yang kurang pokok dan, sebaliknya, fokus untuk menjaga persediaan kebutuhan pokok. Dengan begitu, rantai pasokan kebutuhan pokok tidak terputus.
Untuk diketahui, hingga hari ini, berdasarkan data worldmeters.info, sudah ada sebanyak 98.424 kasus Covid-19 yang menyebar di 90 negara dan teritori. Total kematian pasien mencapai 3.386 jiwa, sementara yang sembuh sebanyak 55.640 orang.
Kasus terbesar terjadi di China (80.552 kasus) dengan angka kematian 3.042 orang dan 53.763 orang dinyatakan sembuh. Di luar China, negara-negara dengan kasus cukup signifikan terjadi di Korea Selatan (6.284 kasus), Italia (3.858 kasus), dan Iran (3.513 kasus).