Industri Pariwisata Akan Kembali Indah pada Waktunya
Industri pariwisata dunia, termasuk Indonesia, tengah dihadapi krisis akibat wabah Covid-19. Berdasarkan pengalaman, dampak ekonomi pariwisata rata-rata pulih dalam 19 bulan setelah krisis dimulai.
Industri pariwisata paling sensitif terhadap berbagai ancaman krisis, mulai dari terorisme, bencana alam, ancaman kesehatan, hingga ketegangan geopolitik dan geoekonomi. Adapun awal tahun 2020 ini, industri pariwisata di seluruh dunia terancam wabah penyakit akibat virus korona jenis baru atau Covid-19.
Sampai Jumat (6/3/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, 90 negara melaporkan bahwa virus bernama SARS-CoV-2 itu telah menjangkiti 99.624 orang dan menewaskan 3.400 orang. Korea Selatan, Italia, dan Iran mengonfirmasi paling banyak kasus positif setelah China yang merupakan pusat penyebaran wabah.
Hingga 6 Maret, Pemerintah Indonesia mengonfirmasi empat kasus positif SARS-CoV-2. Bersamaan dengan itu, pemerintah menutup akses masuk bagi turis asal Korea Selatan, Italia, dan Iran. Adapun akses masuk turis China ke Indonesia sudah lebih dulu dibatasi pemerintah setempat sejak akhir Januari.
Pelaku industri pariwisata dalam negeri, mulai dari maskapai penerbangan, agen perjalanan, sampai pemilik hotel dan restoran, merasakan dampak dari hilangnya turis mancanegara yang berkurang.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, penurunan okupansi paling drastis terjadi di Bali, yaitu 60-80 persen. Saat ini, okupansi hotel di Bali berkisar 30-40 persen dibandingkan dengan kondisi normal. Sejak wabah Covid-19 merebak, sudah ada pembatalan 40.000 kamar hotel dengan kerugian Rp 1 triliun.
Sementara di Batam dan Bintan, tingkat okupansi pada Januari-Februari 2020 turun 30-40 persen dibandingkan dengan hari-hari normal. Okupansi hotel saat ini 20-30 persen. Di Manado, dengan 70 persen turis berasal dari China, tingkat okupansi turun 30-40 persen sehingga okupansi rata-rata saat ini 30 persen dari kondisi normal.
Jumlah wisatawan China pada 2019 diketahui berkontribusi pada 12 persen (2 juta kunjungan) dari total jumlah wisatawan mancanegara yang mencapai 16 juta kunjungan. Turis China menempati urutan kedua setelah Malaysia dengan porsi 18,51 persen (2,98 juta kunjungan).
Baca juga : Industri Lesu, Pelaku Usaha Kena Dampak
Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan, kondisi tersebut membuat sejumlah perusahaan perhotelan dan restoran mulai kesulitan membayar ongkos operasional, termasuk gaji karyawan. Tidak hanya mereka, agen perjalanan juga terkena getahnya.
Sejak akhir Januari, Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) mencatat, ada penurunan 60 persen pada penjualan paket perjalanan dan 80 persen pembatalan penumpang. Belum lagi, adanya penundaan keberangkatan perjalanan umrah ke Arab Saudi per 27 Februari. Perjalanan itu rata-rata dilakukan 110.000 warga Indonesia setiap bulan.
Untuk meringankan kerugian, Sekretaris Jenderal Astindo Pauline Suharno mengatakan, agen perjalanan diimbau agar menutup kantor pada hari Sabtu, mengurangi jam kerja karyawan, hingga memberi cuti tanpa dibayar.
Bangkit dalam 19 bulan
Dampak wabah seperti ini bukan pertama kali menerpa industri pariwisata. World Travel & Tourism Council (WTTC) menganalisis berbagai epidemi dan wabah yang muncul tahun 2001 sampai 2018 yang berdampak pada industri pariwisata di negara-negara asal penyebaran penyakit.
Ada epidemi dan wabah yang menular langsung ke manusia, mulai dari penyakit mulut dan kuku di Inggris Raya pada 2001. Lalu, SARS di China, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong pada 2003. Wabah MERS di Arab Saudi (2012), ebola dari Afrika (2014), hingga zika yang berdampak besar di Benua Amerika (2015).
WTTC dalam buku laporan berjudul Crisis Readiness menghitung, waktu pemulihan aktivitas pariwisata rata-rata memakan waktu 19,4 bulan. Kisaran waktu pemulihan mulai dari 10 bulan dalam kasus zika di Miami hingga 34,9 bulan untuk kasus penyakit kuku dan mulut di Inggris Raya.
Sementara itu, aktivitas pariwisata di negara yang menjadi pusat penularan virus dari keluarga besar yang sama dengan SARS-CoV-2, yaitu SARS, di China pulih dalam 16 bulan.
Baca juga : Pariwisata Hadapi Tekanan akibat Wabah Covid-19
Adapun kerugian ekonomi pariwisata yang ditimbulkan rata-rata 1.447 juta dollar AS akibat hilangnya kedatangan turis sampai rata-rata 2,17 juta orang di daerah pusat penyebaran virus.
Saat ini, dampak ekonomi pariwisata akibat wabah Covid-19 belum dapat diprediksi. Bagaimanapun, industri pariwisata dan pemangku kebijakan perlu bersama-sama memitigasi dampak krisis. Apalagi, industri pariwisata kini menyumbang 10,4 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) global.
Pemerintah Indonesia pun sudah mulai mengeluarkan kebijakan untuk pemulihan aktivitas pariwisata, yang menyumbang sekitar 4 persen PDB nasional. Hibah sebesar Rp 3,3 triliun akan diberikan kepada 10 daerah yang terdampak penurunan tarif pajak hotel dan restoran.
Ke-10 daerah tersebut adalah Bintan dan Batam di Kepulauan Riau, Bali, Yogyakarta, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Lombok di Nusa Tenggara Barat, dan Malang di Jawa Timur. Ada juga Manado di Sulawesi Utara, Silangit di Sumatera Utara, dan Tanjung Pandan di Kepulauan Bangka Belitung.
Kepada 10 daerah tersebut, pemerintah juga memberikan insentif berupa diskon 50 persen untuk harga tiket pesawat terhitung mulai 1 Maret sampai 30 Mei 2020. Diskon diberikan untuk 25 persen kursi di setiap penerbangan.
Sementara itu, pemerintah menunda insentif sebesar Rp 298,5 miliar untuk mendatangkan turis asing karena tidak lagi relevan. Namun, Kepala Biro Komunikasi Sekretariat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf)/Sekretariat Utama Badan Ekonomi Kreatif Agustini Rahayu mengatakan, promosi lewat media akan terus dijalankan.
”Leading sector perekonomian nasional, kan, pariwisata. Kalau saat ini kita tidak melakukan apa-apa, enggak melakukan promosi, nanti ketika pulih, kita dicaplok lagi sama negara lain. Jadi, kami akan tetap berpromosi sembari melindungi agar warga kita tidak ke luar negeri,” tuturnya saat ditemui Kompas.
Wisata jadi kebutuhan
Optimisme akan bangkitnya industri pariwisata pun diharapkan sejumlah pihak. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya minat masyarakat untuk mengunjungi suatu tempat, baik untuk kunjungan dinas maupun berwisata.
Seperti Suci (26), warga Jakarta, yang mengaku menganggarkan 10 persen pendapatannya untuk biaya liburan setidaknya dua bulan sekali. Ada juga Cahyadi (34), karyawan BUMN, yang biasa pulang menemui keluarga kecilnya dari Pati ke Depok beberapa kali dalam sebulan.
Baca juga : Menentukan Lokasi ”Feeling Good” di Media Sosial
Pemerintah melalui Kemenparekraf, menurut Agustini Rahayu, yakin industri pariwisata akan cepat pulih karena aktivitas wisata sudah menjadi kebutuhan semua orang.
Keyakinan itu makin tebal dengan adanya peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Januari 2020. Pada bulan tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ada 1,27 juta kunjungan wisatawan mancanegara, naik 5,85 persen dibandingkan dengan Januari 2019 yang sebesar 1,20 juta kunjungan.
Agen perjalanan seperti Golden Rama Tours & Travel yang terdampak wabah juga masih optimistis dengan geliat wisata turis domestik. Untuk itu, mereka akan tetap menyusun perencanaan guna mengantisipasi situasi kembali membaik.
”Kami masih optimistis konsumen di Indonesia masih membutuhkan traveling,” kata Head Of Marketing Communication Golden Rama Ricky Hilton.
Tahun ini, Pemerintah Indonesia menargetkan ada sekitar 300 juta pergerakan wisatawan nusantara. Data BPS juga menunjukkan, jumlah perjalanan dan total pengeluaran penduduk Indonesia di dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2018, ada 303,54 juta pergerakan dengan pengeluaran Rp 291 triliun. Jumlah itu meningkat dari 270 juta pergerakan pada tahun 2017 yang mendistribusikan pengeluaran sebesar Rp 246,8 triliun.