Tak Diam Saat Korona Memukul Wisata dan Merumahkan Pekerja
Korona telah memukul pariwisata, kemudian berujung dirumahkannya pekerja sektor itu. Sejumlah daerah destinasi wisata berupaya memitigasi dampak dan membuat program aksi agar sektor pariwisata tak terpuruk makin dalam.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Dampak wabah penyakit virus korona baru atau Covid-19 di sektor industri pariwisata mulai nyata. Korona telah memukul pariwisata, kemudian berujung dirumahkannya pekerja sektor itu. Namun, sejumlah daerah destinasi wisata berupaya memitigasi dampak dan membuat program aksi agar sektor pariwisata tak terpuruk makin dalam.
Kunjungan wisatawan menurun, pemesanan kamar hotel dan pusat konvensi batal, serta pembelian paket perjalanan merosot. Kondisi yang lesu ini membuat sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata mulai kesulitan membayar gaji karyawan.
Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan, pendapatan dari sektor pariwisata di Indonesia secara moderat diperkirakan anjlok 0,207 persen produk domestik bruto (PDB) atau sekitar 2,155 miliar dollar AS.
Dampaknya di salah satu sektor penopang devisa negara itu mulai terlihat sejak Januari 2020. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat hunian kamar hotel berbintang di Indonesia anjlok 10,22 poin menjadi 49,17 persen pada Januari 2020 dibandingkan Desember 2019.
Tingkat hunian kamar di seluruh kategori bintang merosot. Penurunan terdalam terjadi pada kategori hotel bintang 4, yakni 12,19 poin menjadi 51,15 persen.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Jumat (6/3/2020), mengatakan, dana kas perusahaan terganggu penurunan tingkat okupansi atau hunian kamar hotel dan penurunan jumlah pengunjung restoran. Beberapa perusahaan pun mulai merumahkan atau meminta karyawan cuti tanpa dibayar.
”Beberapa perusahaan yang karyawannya pekerja harian sudah jelas tidak dipakai lagi, sedangkan yang karyawan kontrak mulai dirumahkan,” katanya.
Beberapa perusahaan yang karyawannya pekerja harian sudah jelas tidak dipakai lagi, sedangkan yang karyawan kontrak mulai dirumahkan.
Beberapa perusahaan, lanjut Hariyadi, juga terancam wanprestasi atau gagal membayar pinjaman kredit ke bank. Sebab, uang kas perusahaan dialihkan untuk membayar biaya operasional atau gaji karyawan.
Berdasarkan data Badan Pimpinan Pusat PHRI, penurunan okupansi paling drastis terjadi di Bali, yaitu 60-80 persen. Saat ini, rata-rata okupansi hotel di Bali sebesar 30-40 persen dibandingkan kondisi normal. Sejak wabah Covid-19 merebak, sudah ada pembatalan 40.000 kamar hotel dengan kerugian Rp 1 triliun.
Sejak wabah Covid-19 merebak, sudah ada pembatalan 40.000 kamar hotel dengan kerugian Rp 1 triliun.
Di Batam dan Bintan, tingkat okupansi pada Januari-Februari 2020 turun 30-40 persen dibandingkan hari-hari normal. Rata-rata okupansi hotel saat ini 20-30 persen.
Di Manado, dengan 70 persen turis berasal dari China, tingkat okupansi turun sampai 30-40 persen sehingga okupansi rata-rata saat ini 30 persen dari kondisi normal. Dampak Covid-19 juga dirasakan agen perjalanan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno mengatakan, selama Februari 2020, relatif tidak ada pemasukan karena pembelian paket-paket perjalanan anjlok. Sementara biaya operasional perlu dibayar. Dampaknya, beberapa karyawan mulai diminta cuti tanpa bayaran.
Per akhir Januari 2020, sejak Pemerintah China melarang bepergian warganya, penjualan paket perjalanan turun 60 persen dan pembatalan penumpang 80 persen. Kondisi diperkirakan semakin lesu seiring dengan perjalanan ibadah umrah dan haji yang ditunda sampai wabah Covid-19 mereda.
”Kondisi ini diperkirakan terus menurun seiring bertambahnya negara yang warganya terinfeksi Covid-19. Semula kami berharap bisa menjual destinasi selain China, ternyata malah meluas ke negara lain,” kata Pauline.
Pembelian paket perjalanan oleh wisatawan Nusantara juga tidak bisa mengangkat pemasukan. Saat ini orang-orang takut bepergian.
Mitigasi dan pemulihan
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Pemerintah Provinsi NTB memperbolehkan kapal pesiar masuk ke daerah tersebut. Hanya saja, kapal harus melewati standar yang telah ditentukan, baik menyangkut kesehatan maupun keamanan pelabuhan. Ini untuk mengantisipasi merebaknya Covid-19.
Kepala Dinas Perhubungan Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Bayu Windia mengatakan, keputusan diambil Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah pada Jumat (6/3/2020) sore. Prosedur standar operasi yang diterapkan berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Maritim Internasional (IMO).
”Standar WHO itu akan digunakan Kantor Kesehatan Pelabuhan serta IMO oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan,” katanya.
Ada tiga kapal yang direncanakan datang di Lombok, yakni MS Albatros, MS Columbus, dan Viking Sun. General Manager PT Pelindo III Lembar Baharuddin mengatakan, Albatros yang saat ini berada di Benoa, Bali, dijadwalkan tiba di NTB pada Senin (9/3/2020). Kapal pesiar itu membawa 350 penumpang.
Columbus dijadwalkan tiba pada Selasa (10/3/2020) membawa sekitar 1.300 penumpang dan Viking Sun pada Rabu (11/3/2020) membawa sekitar 950 penumpang. Tahun ini direncanakan ada 21 kapal pesiar yang akan bersandar di Pelabuhan Gili Mas saja di Lembar, Lombok Barat, sekitar 28 kilometer selatan Kota Mataram.
”Jadi, prosedurnya, jika ada kapal dari luar negeri, kami akan lihat kapalnya datang dari mana. Kalau negara asal kapal adalah negara terjangkit Covid-19, kami akan bekerja sama dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk penanganan,” ujar Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Lembar M Junaidin.
Di Bali, Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan, pemerintah pusat sudah mengeluarkan kebijakan antisipasi dampak Covid-19 terhadap perekonomian dan pariwisata. Di antaranya pemberian dana alokasi khusus (DAK) untuk fisik pariwisata, dukungan kegiatan pariwisata, serta pembebasan pajak hotel dan restoran sebesar 10 persen selama enam bulan mulai Maret hingga Agustus.
Pemerintah pusat juga memberikan potongan harga tiket 30 persen untuk 25 persen kursi pesawat ke 10 destinasi pariwisata. Adapun Bali, program aksi melibatkan unsur pemerintah pusat di daerah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), hingga kalangan pengusaha pariwisata di Bali.
”Pemprov Bali juga meluncurkan program penjenamaan (branding) ’We Love Bali Movement’ dengan sejumlah kegiatan, antara lain memfasilitasi acara dan perlombaan berskala internasional,” kata Koster. (ISMAIL ZAKAKARIA/COKORDA YUDHISTIRA)