Tidak Ada Harga Mati...
Aturan ini yang buat kita, bisa kita ubah lagi. Aturan yang ada mari kita sama-sama patuhi, manakala nanti di jalan ada kekeliruan atau kekurangan, yuk kita sempurnakan. Tidak ada harga mati.
Pro-kontra revisi peraturan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan akan segera menemukan ujungnya. Dalam waktu dekat, pemerintah memastikan untuk menerbitkan sejumlah aturan hasil revisi yang dinilai akan mendorong dunia usaha. Namun, pemerintah menjanjikan tidak ada harga mati dari aturan itu.
”Peraturan-peraturan menteri terdahulu yang memberatkan dan menyulitkan (pelaku usaha) sudah kami evaluasi dan revisi. Satu langkah lagi, tinggal kami sampaikan (aturan baru) kepada Presiden. Tinggal tunggu waktunya, maka peraturan-peraturan baru yang tujuannya memihak akan segera kami terbitkan,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, pekan ini.
Regulasi baru ini merupakan hasil revisi terhadap 29 aturan di era sebelumnya yang dinilai menghambat investasi perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan sinyal terdapat 18 regulasi yang akan diterbitkan pada Maret 2020. Perumusan regulasi yang sudah dinyatakan final mencakup subsektor perikanan tangkap dan budidaya.
Di perikanan tangkap, pemerintah memberikan lampu hijau bagi beroperasinya kembali kapal-kapal buatan luar negeri yang sebelumnya dilarang. Selain itu, pemanfaatan alat tangkap cantrang serta mengubah pembatasan ukuran kapal penangkap dan pengangkut ikan. Ketentuan baru yang juga mencuat adalah dibukanya investasi asing untuk usaha perikanan tangkap.
Akhir pekan ini, 900 nelayan dengan 30 kapal cantrang dari pantai utara Jawa diberangkatkan ke Natuna untuk mengisi zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Pengiriman nelayan ke Natuna dinilai menjadi solusi untuk mengisi perairan ZEE Indonesia sekaligus menekan pelanggaran perairan perbatasan dan ZEE Indonesia oleh kapal-kapal ikan asing.
Pengiriman nelayan ke Natuna dinilai menjadi solusi untuk mengisi perairan ZEE Indonesia, sekaligus menekan pelanggaran perairan perbatasan dan ZEE Indonesia oleh kapal-kapal ikan asing.
Di perikanan budidaya, salah satu regulasi yang akan diterbitkan adalah pembukaan keran ekspor benih lobster secara terbatas dan terkendali bersamaan dengan pembenihan, pembesaran, dan penambahan stok benih lobster di alam. Sebelumnya, lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, pemerintah melarang penangkapan ataupun ekspor benih lobster.
Sewaktu larangan ekspor benih lobster berlaku, penyelundupan benih lobster ke Vietnam dilaporkan marak. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis, aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri berkisar Rp 300 miliar-Rp 900 miliar per tahun.
Baca juga: Presiden: Nilai Tambahnya Ada di Dalam Negeri
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis, aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri berkisar Rp 300 miliar-Rp 900 miliar per tahun.
Pantauan Kompas, kendati kebijakan ekspor benih belum disahkan, penawaran benih lobster mulai marak (Kompas 25/2/2020). Benih lobster ditawarkan kepada calon pembeli, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain melalui media sosial.
Ketentuan tata niaga ekspor benih secara terbatas dikhawatirkan sejumlah kalangan bakal memicu praktik kartel di mana hanya segelintir pengusaha yang memegang kendali ekspor. Di samping itu, menggencarkan pengiriman benih lobster ke luar negeri. Pembudidaya terancam berbenturan dengan pengepul benih untuk ekspor.
Di sisi lain, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Vietnam dalam hal budidaya pembesaran hingga jejaring pasar di China. Padahal, Vietnam mengandalkan hampir 80 persen pasokan benih dari Indonesia.
Tidak dihukum
Selain merevisi aturan, Edhy juga memastikan pemerintah berkomitmen tidak lagi melakukan tindakan hukum (law inforcement) terhadap nelayan-nelayan yang melanggar aturan. Alasannya, nelayan-nelayan, khususnya nelayan kecil, belum semuanya paham terhadap aturan. Pemerintah akan memilih langkah pembinaan dan penguatan nelayan agar mengerti pola penangkapan yang benar.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengaku sudah bertemu dan melakukan kesepakatan dengan Kepala Kepolisian Negara RI dan Badan Keamanan Laut untuk menerapkan langkah awal pembinaan terhadap nelayan yang melakukan kesalahan.
Dengan kelonggaran ini, diharapkan ekonomi bergerak. Target akhir, pendapatan nelayan meningkat.
”Kami berkomitmen tidak ada penangkapan terhadap nelayan, apa pun kesalahan dia. Kalau ada (nelayan) yang salah gunakan alat tangkap, kasih tahu yang benar. Kalau enggak ada alat tangkapnya, ya dikasih (bantuan). Pembinaan didahulukan. Bukan nelayan ditangkap (karena pelanggaran),” katanya.
Meski demikian, lanjut Edhy, pemerintah tidak akan berkompromi terhadap beberapa jenis pelanggaran berat, seperti penyelundupan narkoba, senjata, dan pengeboman.
Baca juga: Pemerintah Tak Konsisten soal Cantrang
Dalam sejumlah kesempatan, Edhy menyatakan, kebijakan harus mengayomi pelaku usaha kecil dan besar. Pelaku usaha yang kecil tidak bisa ditekan, tetapi pelaku usaha besar juga jangan dimatikan oleh aturan.
”Ekonomi hanya bergerak kalau gerakan dari bawah kencang, yaitu dari seluruh pelaku usaha,” katanya.
Arah kebijakan dan kelonggaran yang diberikan pemerintah untuk menggenjot investasi di sektor perikanan dan kelautan dikhawatirkan sejumlah kalangan akan mengorbankan lingkungan dan keberlanjutan. Menyikapi arah kebijakan tersebut, sejumlah lembaga mendesak pemerintah mengedepankan strategi perikanan berkelanjutan ataupun keberpihakan kepada pelaku usaha kecil yang mendominasi sektor kelautan dan perikanan.
Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) menyoroti masih maraknya praktik perikanan ilegal oleh kapal ikan asing, khususnya di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga. Selain itu, alih muatan kapal di tengah laut secara ilegal dan penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang.
Dibukanya keran modal asing dan pengoperasian kapal buatan luar negeri berpotensi memicu pelanggaran baru. Kapal-kapal asing ataupun buatan luar negeri umumnya menggunakan alat tangkap yang destruktif dan eksploitatif sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan.
Menurut Direktur Enforcement Support and Stakeholder Partnership Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Fadilla Octaviani, hasil analisis dan evaluasi Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal yang Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (Satgas 115) terhadap 1.132 kapal ikan buatan luar negeri pada 2015 menunjukkan, seluruh kapal itu terbukti melakukan pelanggaran operasional. Sebanyak 60-70 persen kapal itu dimiliki pemodal asing.
”Jadi, kapal buatan luar negeri itu tidak putus dari relasi kepemilikan asing. Perusahaan Indonesia hanya agen dan perantara,” kata Fadilla yang sebelumnya menjabat anggota Satgas 115.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch-Indonesia Mohammad Abdi Suhufan juga menyoroti rancangan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang membuka izin kapal asing. Langkah itu bisa meminggirkan nelayan nasional.
”Masuknya kapal asing berukuran besar merupakan karpet merah bagi asing, tetapi akan berdampak meminggirkan nelayan nasional,” katanya.
Masuknya kapal asing berukuran besar merupakan karpet merah bagi asing, tetapi akan berdampak meminggirkan nelayan nasional.
Baca juga: Rancangan Aturan Membingungkan
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyatakan menyoroti dibukanya alih muatan kapal ikan di tengah laut (transshipment). Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki kemampuan mengontrol dan melakukan pengawasan kapal perikanan. Minimnya pengawasan dikhawatirkan memicu perikanan tidak dilaporkan (unreported) ataupun ikan dilarikan ke luar negeri.
Di sisi lain, kebijakan memperbolehkan anak buah kapal (ABK) kewarganegaraan asing maksimum 30 persen di kapal perikanan bisa meminggirkan peluang ABK Indonesia mengisi kapal-kapal ikan. Langkah ini dinilai bertentangan dengan upaya penguatan nelayan Indonesia untuk mengisi perairan hingga ke ZEE Indonesia.
Kebijakan memperbolehkan anak buah kapal (ABK) kewarganegaraan asing maksimum 30 persen di kapal perikanan bisa meminggirkan peluang ABK Indonesia mengisi kapal-kapal ikan.
Edhy mengemukakan, tidak ada kebijakan memuaskan semua pihak. Pro dan kontra di masyarakat merupakan hal wajar. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membuka ruang komunikasi publik. Aturan yang telah disusun bukan harga mati, dalam perjalanannya, masih bisa diubah lagi.
”Aturan ini yang buat kita, (jadi) bisa kita ubah lagi. Aturan yang ada mari kita sama-sama (patuhi), manakala nanti di jalan ada kekeliruan atau kekurangan, yuk kita sempurnakan. Tidak ada harga mati,” ujarnya.