Investor dan pelaku usaha memerlukan kepastian berusaha. Kondisi ini mesti diciptakan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia melewatkan sejumlah momentum untuk memperkuat kinerja ekspor di kancah global dan menangkap peluang meraih investasi. Aliran investasi tersendat lantaran proses perizinan yang rumit dan penuh ketidakpastian.
Berdasarkan laporan kemudahan berusaha yang dipublikasikan Bank Dunia, Indonesia menempati posisi ke-73 dari 190 negara. Namun, secara terperinci, Indonesia berada di urutan lebih dari 100 di sejumlah aspek.
Pada aspek memulai bisnis, Indonesia menempati urutan ke-134 yang rata-rata melibatkan 10 prosedur dalam waktu 19,6 hari. Indonesia juga berada di posisi ke-146 dalam pelaksanaan kontrak (enforcing contracts) dengan nilai 47,23 dari 100 poin. Waktu yang dibutuhkan hingga pelaksanaan kontrak mencapai 403,2 hari dengan biaya 70,3 persen dari nilai klaim.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menyatakan, realisasi investasi tersendat karena kelambanan dalam pengurusan izin ataupun rekomendasi perizinan. ”Masih ada ketidakpastian waktu dalam proses birokrasi perizinan. Kendala untuk memulai operasi usaha biasanya disebabkan oleh izin lahan, izin bangunan, izin infrastruktur usaha, izin impor barang modal, bahkan impor bahan baku,” tuturnya saat dihubungi, Jumat (6/3/2020).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, kemudahan perizinan menjadi sorotan dalam realisasi investasi. Ada sejumlah aspek yang membuat perizinan berusaha tak mudah, misalnya izin di tingkat pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang tidak sinkron. Selain itu, hukum yang memayungi izin tersebut kerap berubah-ubah.
Perizinan tunggal
Sejak 2018, pemerintah telah menerapkan sistem perizinan tunggal (online single submission/OSS) yang kini berpusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal. Secara konsep, Shinta menilai, OSS menjanjikan peningkatan kemudahan berusaha.
Namun, Shinta menyatakan, praktik OSS belum sesuai harapan karena belum mengintegrasikan sejumlah perizinan di tingkat kementerian. ”Belum lagi masih ada sejumlah pemerintah daerah yang belum mengakui dokumen keluaran OSS,” katanya.
Praktik OSS belum sesuai harapan.
Hariyadi berpendapat, OSS terkendala ego sektoral di tingkat daerah. Sejumlah daerah masih meminta pelaku usaha atau calon investor yang mulai berusaha mengurus perizinan dengan sistem yang berlaku di daerah tersebut.
Kepastian hukum
Tak hanya teknis perizinan, Hariyadi berpendapat, kepastian hukum yang menaungi investasi masih belum terjamin. ”Investor ingin payung hukum yang menjadi landasan berusaha di Indonesia tidak berubah-ubah,” katanya.
Penerapan kebijakan birokrasi berbisnis di Indonesia, menurut Shinta, juga perlu dibenahi. ”Masih ada hal-hal yang belum akuntabel karena apabila ada kendala, pelaku usaha sulit meminta proses ketertelusuran dan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Praktik birokrasinya pun tidak berorientasi pada pelayanan,” katanya.
Upaya pemerintah
Dalam rangka membenahi proses perizinan tersebut, pemerintah telah merumuskan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang bersifat omnibus law dan kini menunggu pembahasan di tingkat DPR. ”RUU ini sudah cukup baik bagi pelaku usaha namun kami mesti melihat lagi proses pembahasannya,” katanya.
Menurut Shinta, sejumlah permasalahan teknis yang berkaitan dengan kemudahan berusaha sudah terjawab melalui RUU tersebut. ”Namun, aturan ini belum disahkan. Akibatnya, belum ada pembenahan secara praktis di lapangan yang berdampak pada kemudahan realisasi investasi,” katanya.
Secara umum, Shinta menilai, upaya perbaikan dari pemerintah relatif konsisten berada di jalan yang tepat. Namun, sejumlah aspek substansial dalam kemudahan berusaha serta perbaikan iklim usaha dan investasi belum berubah sejak sepuluh tahun lalu karena masalah yang bersifat sistemik dan cenderung politis. Di sisi lain, dalam periode yang sama, negara-negara pesaing lebih gencar dan konsisten dalam pembenahan iklim usaha dan investasi.