Pemerintah optimistis target investasi Rp 866 triliun pada tahun ini dapat tercapai. Sejumlah peluang dimanfaatkan.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wabah virus korona (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 yang berdampak pada kondisi perekonomian global membawa peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Momentum ini perlu disiasati dengan sigap melalui langkah terukur pemetaan potensi investasi, peningkatan daya tarik, dan perbaikan iklim berusaha dalam negeri. Untuk memberi daya gaung lebih besar, investasi yang masuk pun harus diarahkan ke sektor manufaktur yang berorientasi ekspor.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal di Jakarta, Sabtu (7/3/2020), mengatakan, hal pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah memetakan potensi investasi berdasarkan sektor industri serta kemampuan dan peluang di daerah. Pemerintah harus bergerak cepat karena sejumlah perusahaan dari China saat ini mulai berpikir untuk merelokasi bisnis, sebagai dampak dari Covid-19 terhadap perekonomian ”Negeri Tirai Bambu” itu.
Beberapa negara lain, seperti Bangladesh, Kamboja, Malaysia, dan Vietnam, juga aktif menjajaki peluang investasi tersebut. Indonesia sudah pernah kalah langkah pada momentum sebelumnya saat perekonomian dunia merosot di tengah perang dagang Amerika Serikat-China. Saat itu, investor China lebih memilih memindahkan usaha ke Vietnam.
Untuk memberi efek pengganda yang besar, investasi lebih baik diarahkan pada sektor manufaktur berorientasi ekspor yang bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja sekaligus mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan. Sebab, kinerja ekspor diprediksi akan terganggu wabah Covid-19 karena kesulitan memperoleh bahan baku dan kelesuan pasar ekspor.
Beberapa sektor industri yang produknya memiliki potensi dan berdaya saing untuk dipasarkan ke luar negeri, antara lain produk perikanan dan industri agro.
”Pemetaan sangat penting sebagai langkah awal karena kita harus memperhatikan potensi kita ada di mana saja, di sektor apa saja, daerah mana yang kira-kira iklim berinvestasinya suportif, dan negara-negara lain tertarik berinvestasi di sektor apa saja,” katanya.
Selain memperhatikan sektor industri yang menjadi tujuan investasi, Faisal mengatakan, pemerintah juga perlu memetakan potensi investasi berdasarkan daerah. Sebab, iklim investasi sangat ditentukan oleh kebijakan dan birokrasi pemerintah daerah ataupun kondisi geografis dan infrastruktur di daerah.
Dengan pemetaan itu, stimulus yang diberikan pemerintah bisa lebih selektif sehingga tidak membebani keuangan negara. Peningkatan daya tarik dan daya saing juga bisa lebih terarah. ”Jangan menyandingkan Indonesia sebagai satu negara melawan negara pesaing lain karena satu daerah tertentu di Indonesia bisa jadi lebih kompetitif dibandingkan Vietnam atau Kamboja,” kata Faisal.
Menurut dia, stimulus yang paling menarik di mata investor adalah terkait jaminan kelancaran sistem logistik, produktivitas tenaga kerja, dan pasokan energi untuk industri manufaktur. ”Perusahaan multinasional yang sedang berpikir merelokasi bisnis ini umumnya memiliki rantai nilai global (global value chain) sehingga mereka akan sangat bergantung pada kemudahan logistik,” katanya.
Sejauh ini, stimulus di bidang logistik yang diberikan pemerintah adalah mendorong penerapan sistem Indonesia National Single Window (INSW). INSW rencananya akan diintegrasikan dengan sistem pelabuhan-pelabuhan di Indonesia (Ina Port). Stimulus itu diberikan untuk memperlancar dan mendorong efisiensi logistik barang.
INSW berfungsi sebagai pusat informasi yang mengelola penanganan dokumen kepabeanan, perizinan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan ekspor, impor, dan logistik secara elektronik. Sistem ini diyakini bisa memangkas biaya logistik Indonesia yang selama ini dikenal mahal.
Berdasarkan data Indeks Kinerja Logistik yang dirilis Bank Dunia 2018, dampak dari biaya logistik nasional Indonesia itu sudah mencapai 24 persen dari produk domestik bruto. Mahalnya biaya logistik itu membuat Indonesia sulit bersaing di arena perdagangan internasional, termasuk dalam menarik investor.
Optimistis
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, mengatakan, meskipun ada penurunan investasi dari China, realisasi investasi di triwulan pertama sejauh ini masih tumbuh 6-7 persen. Data itu belum selesai dirangkum karena masih terus dipantau sampai akhir Maret 2020.
Pertumbuhan itu banyak dipengaruhi oleh realisasi penanaman modal investasi asing langsung (FDI) dari negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Pemerintah pun terus menjajaki peluang dari sejumlah investor Eropa, seperti Belanda, dan negara-negara Timur Tengah. Sebagian investasi itu pada sektor manufaktur yang berorientasi ekspor, tetapi BKPM belum bisa memberi data mendetail karena masih mengkaji situasi satu bulan terakhir.
Bahlil menambahkan, wabah Covid-19 di China membawa peluang bagi negara-negara tetangga. Beberapa perusahaan dari China, misalnya, sudah ada yang menghubungi BKPM terkait potensi memindahkan bisnisnya ke Indonesia.
”Masih by phone, belum dibicarakan untuk bidang apa saja, tetapi potensinya ada. Semoga Covid-19 ini cepat selesai sehingga kita bisa mulai bicarakan detail mana saja industri dari China yang mau direlokasi ke Indonesia,” katanya.
Selain penanaman modal asing, pertumbuhan realisasi investasi juga banyak didongkrak oleh penanaman modal dalam negeri yang diprediksi tumbuh 6-10 persen. Peningkatan iklim investasi dalam negeri itu, menurut Bahlil, diakibatkan pemangkasan dan penyederhanaan sejumlah regulasi, peran BKPM dalam mempercepat perizinan, serta investasi mangkrak senilai Rp 708 triliun yang terurai sehingga memberi kepastian pada investor.
”Di tengah isu global yang belum begitu bagus, kita bangun strategi mencari pasar baru yang mengoptimalkan investasi dalam negeri. Secara akumulatif, realisasi di triwulan pertama ini berpotensi ada kenaikan, tetapi angkanya akan kami pastikan akhir bulan ini,” kata Bahlil.
Kita bangun strategi mencari pasar baru yang mengoptimalkan investasi dalam negeri.
Di tengah kondisi itu, BKPM tetap optimistis target investasi Indonesia sebesar Rp 866 triliun tahun ini bisa tetap tercapai. Pemerintah pun terus melakukan pemetaan berdasarkan keunggulan komparatif setiap wilayah serta permintaan investor. ”Meski ada virus korona, kami masih fokus menjajaki peluang dari dalam negeri dan luar negeri untuk merealisasikan investasi,” ujarnya.