Regulasi pemerintah daerah yang tidak sinkron dengan pemerintah pusat masih jadi pengganjal investasi. Masalah ini mesti dituntaskan.
Oleh
Maria Paschalia Judith/C Anto Saptowalyono
·2 menit baca
Sekitar 5-8 tahun lalu, ada perusahaan swasta yang berminat berinvestasi pada pelabuhan di Jakarta. Lahan pelabuhan itu milik BUMN. Namun, saat proses berjalan, ada pergantian direksi BUMN itu, yang berdampak pada perubahan kesepakatan.
Di sektor telekomunikasi, ada perusahaan swasta yang memenangi tender atau lelang pengadaan jaringan internet. Saat proses pengadaannya sudah setengah jalan, terjadi pergantian menteri yang menaungi sektor itu. Proses pengadaan dihentikan.
Dua cerita itu disampaikan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani di Jakarta, akhir pekan lalu. Inti cerita itu, pelaku usaha dan investor masih diliputi ketidakpastian dalam berusaha dan berinvestasi di Indonesia. Birokrasi dan regulasi masih kerap jadi batu sandungan dalam berusaha di Indonesia.
Hariyadi menambahkan, dari laporan dan keluhan pelaku usaha, perizinan pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih tidak sinkron.
Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi Rp 866 triliun. Pada 2019, realisasi investasi Rp 809,6 triliun, melampaui target Rp 792 triliun.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menyoroti daya saing Indonesia. Ia mengisahkan, saat menghadiri World Ceramic Tiles Forum di Berlin, November 2019, porsi ekspor keramik Indonesia ke Australia masih sangat kecil. Pasar Australia lebih banyak dinikmati China dan Malaysia.
”Porsi Indonesia baru sepersepuluh Malaysia. Mengapa? Salah satunya berkaitan dengan daya saing,” ujar Edy yang juga Chief Operating Officer PT Arwana Citramulia Tbk.
Salah satu faktor yang memengaruhi daya saing industri keramik Indonesia adalah harga gas. Edy meyakini, jika harga gas bisa ditekan, daya saing industri keramik bisa meningkat.
Magnet
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan, pemerintah sudah memiliki magnet untuk menarik investasi, terutama manufaktur. ”Tiap sektor industri berbeda-beda insentifnya karena karakteristiknya juga berbeda-beda,” katanya.
Dalam jangka pendek, kata Agus, bea masuk impor bahan baku, terutama dari China, disesuaikan. Dengan cara itu, proses produksi industri semakin mudah. Apalagi, industri menghadapi kesulitan mengimpor bahan baku sebagai dampak wabah Covid-19.
Dalam jangka menengah dan panjang, Agus mendorong industri meningkatkan utilisasi manufaktur. ”Kita gunakan kesempatan ini untuk mendorong industri dalam negeri dan meningkatkan substitusi impor,” katanya.
Meski demikian, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio, menyatakan, masalah institusional masih mengganjal proses investasi di Indonesia. Salah satunya soal regulasi.
”Jika persoalan ini tidak kunjung dituntaskan, investor masih akan sulit percaya sehingga enggan datang ke Indonesia," katanya.