Nelly Loeppa (52) duduk di beranda rumahnya di Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Sambil memegang dompet besar berisi ratusan lembar uang, saudagar kopra ini siap menyambut cuan.
Seorang pria tua menghentikan skuter otomatisnya di muka rumah Nelly. Dua karung berisi potongan daging kelapa kering ia turunkan. Mei (20), keponakan Nelly, mengangkat karung itu lalu menggantungnya di timbangan satu per satu.
”Rp 296.000,” kata Mei. Lembaran uang dengan jumlah pas diserahkan Nelly kepada si pria tua. Kamis (5/3/2020) sore itu, Nelly mengakuisisi 74 kilogram kopra, menambah gunungan 6 ton lebih kopra di gudang di samping rumahnya yang menampung setoran warga Miangas dua bulan terakhir.
”Harga beli saya sesuaikan harga dari koko (juragan kopra) di Bitung. Kalau di sana Rp 6.500 per kilo, di sini saya beli Rp 4.000 per kilo dari warga,” katanya. Jarak lebih dari 550 kilometer Miangas-Bitung bukan soal. Pembeli di Bitung akan rutin mengabari Nelly harga yang berlaku, sekaligus menanyakan stok kopra.
Nelly yang juga sekretaris Kecamatan Miangas terakhir kali mengirim 10 ton kopra yang dikumpulkannya selama tiga bulan. Total penjualan melampaui Rp 67 juta. Bukti pembayaran dikirimkan via aplikasi Whatsapp. Kopra dikirim menggunakan kapal perintis Sabuk Nusantara 69, 70, dan 95 yang bergantian merapat ke Miangas, dua pekan sekali.
Biaya untuk mengangkut 10 ton kopra sekitar Rp 2,1 juta. Untuk bongkar muat, Nelly membayar lima buruh angkut, Rp 150.000 per orang. Meski menjadi pengusaha kopra terbesar di Miangas, Nelly mengatakan, jumlah kopra yang dijualnya tergolong sedikit. Pulau Miangas seluas 3,2 km persegi memang ditumbuhi pohon kelapa di segala penjuru.
Namun, jumlah pengusaha kopra Miangas hanya hitungan jari, dan produknya tidak dapat dijual setiap bulan. Nelly tak pernah mengirim kopra menggunakan kapal peti kemas tol laut meski Miangas terhubung ke Bitung dalam trayek T-5 yang melewati Tagulandang/Ulu Siau (Sitaro), Tahuna (Sangihe), dan Melonguane/Lirung (Talaud).
Kapal Kendhaga Nusantara 1 yang melayari trayek itu berkapasitas 90 peti kemas ukuran 20 kaki. ”Kami rugi kalau mau sewa peti kemas karena barang kami sedikit. Sewa peti kemas mahal sekali,” ujarnya. Biaya sewa satu peti kemas dari Miangas ke Bitung Rp 4,2 juta, dua kali lipat ongkos kirim 10 ton kopra milik Nelly. Di sisi lain, belum semua pengusaha di sana memahami prosedur pengiriman menggunakan peti kemas.
”Tahun lalu, kapal tol laut itu pernah datang ke dermaga. Kami tanya petugas, bisa angkut barang saat itu juga atau tidak. Ternyata tidak bisa karena harus pesan dulu. Kami tidak akan tahu cara pesannya kalau tidak ada sosialisasi,” kata Nelly. Sejak itu, Kapal Kendhaga Nusantara 1 tak pernah lagi masuk Miangas. Data Kementerian Perhubungan, satu perjalanan telah diselesaikan kapal itu membawa 9 peti kemas, tetapi ternyata kapal itu tak muncul lagi di Miangas.
Tak masalah bagi pengusaha kopra di Miangas karena Kapal Sabuk Nusantara 69, 70, dan 95 memenuhi kebutuhan mereka. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Talaud Habel Salombe mengatakan, alasan kapal tol laut belum bisa dinikmati warga Miangas karena dermaga pelabuhan tak memadai. Selain perairan dermaga dangkal, tidak ada forklif di sana.
”Pelabuhan di Talaud yang bisa dimasuki Kendhaga Nusantara 1 hanya Pelabuhan Melonguane dan Pelabuhan Lirung. Dermaga di Miangas belum layak. Saya sudah menyurati Kementerian Perhubungan supaya mereka lihat sendiri keadaan di perbatasan,” kata Habel.
Muatan balik
Kondisi berbeda terjadi di Pulau Morotai, Maluku Utara. Muatan balik tol laut dari Pulau Morotai ke Surabaya, Jawa Timur, justru membantu menaikkan harga jual kopra, komoditas andalan warga. Petani pengelola kopra bernapas lega jika ada pengusaha dari Surabaya yang datang membeli kopra di sana.
Akhir 2019, harga kopra yang terpuruk hingga Rp 2.000 per kg naik menjadi Rp 6.000 per kg. Pembeli kopra datang langsung ke sentra pengolahan kopra. ”Harga tinggi karena tidak melalui perantara serta ongkos angkut yang lebih murah,” kata Bahdin Danodasin, pengelola jasa ekspedisi di Pelabuhan Daruba, Morotai.
Ongkos satu kontainer berisi 25 ton kopra dari Morotai ke Surabaya Rp 3,5 juta. Meski sudah ditambah ongkos buruh angkut, biaya pengirimannya masih lebih murah 40 persen dibandingkan tarif komersial. Morotai termasuk pulau terluar yang berhadapan langsung dengan Filipina. Kapal tol laut mulai menjangkau Morotai tahun 2017.
Dari Pulau Jawa, kapal mengangkut barang kebutuhan pokok serta barang kebutuhan lokal yang diusulkan pemerintah daerah. Supriono Ahmad, dosen ilmu perikanan Universitas Pasifik Morotai, menilai, program tol laut masih banyak kekurangan. Di sejumlah daerah, program hanya menguntungkan pengusaha dan belum bisa memangkas disparitas harga di tingkat konsumen.
Namun, peluang tol laut masih ada dan harus dimanfaatkan untuk mengangkat ekonomi daerah. Jika di Miangas Nelly eksis tanpa tol laut, di Morotai tol laut mengembuskan harapan.