Penambahan Cuti Bersama Mendorong Pariwisata, Menurunkan Produktivitas
Penambahan cuti bersama dimaksudkan untuk mendorong sektor pariwisata guna mendongkrak perekonomian. Namun, di sisi lain, hal ini akan mengurangi produktivitas sektor riil.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Penambahan cuti bersama dimaksudkan untuk mendorong sektor pariwisata guna mendongkrak perekonomian dan pengaturan lalu lintas pasca-Idul Fitri 1441 Hijriah. Melalui kebijakan ini, akumulasi libur nasional dan cuti bersama tahun 2020 menjadi 24 hari dari sebelumnya 20 hari.
Cuti bersama akan ditambahkan pada 28 dan 29 Mei (Kamis-Jumat) terkait hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah sehingga libur nasional dan cuti bersama menjadi 10 hari dimulai dari 22 Mei sampai 31 Mei. Adapun penambahan cuti bersama pada 21 Agustus (Jumat) terkait dengan Tahun Baru Islam 1442 Hijriah dan 30 Oktober (Jumat) terkait Maulid Nabi Muhammad SAW.
Menyambut keputusan bersama antara Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini, sejumlah aparatur sipil negara (ASN) dan karyawan swasta merespons baik. Namun, mereka pun menyadari masih ada beban kerja yang menumpuk.
Irena Revin (25), analis sengketa di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, senang dengan keputusan penambahan cuti bersama. Namun, memang masih ada pekerjaan yang ditargetkan selesai pertengahan tahun 2020.
”Awalnya enggak berencana liburan Lebaran karena liburnya tanggung. Tapi karena ada tambahan cuti bersama, tentu akan dimanfaatkan untuk pulang kampung ke Bogor,” ujar Irena saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Terkait biaya tiket pesawat pergi-pulang yang naik dua kali lipat dari harga normal sekitar Rp 1,5 juta menjadi Rp 3 juta, Irena menyatakan tidak terlalu mempersoalkan. ”Prinsipku, yang penting bisa quality time sama keluarga, tapi memang pekerjaan harus sudah selesai dahulu,” ucapnya.
Indra Aris Oktariawan (26), karyawan swasta di Sukabumi, menyampaikan, karyawan swasta berbeda dengan ASN. Baginya, meski ada penambahan cuti bersama, tetap akan ada sistem shift kerja terutama pada bagian produksi dan penjualan.
”Jadi memang cuti bisa buat refreshing, tapi akan ada juga lembur dan sistem shift kerja. Intinya, saya akan mengikuti prosedur yang diterapkan perusahaan. Lagi pula, cuti atau tidak, saya tetap liburan di rumah untuk berkumpul bersama komunitas sosial,” tutur Indra.
Rizky Aji (25), tenaga ahli di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengatakan, meski cuti bersama ditambah, dirinya tetap akan melihat situasi untuk bepergian. Hal ini khususnya terkait dengan masih merebaknya penyebaran coronavirus disease (Covid-19).
”Saya tahun ini masih lihat situasi karena lagi waspada untuk sebisa mungkin menghindari tempat wisata umum, takut tertular Covid-19. Saya menilai, ke depan, persebaran korona di Indonesia masih berpotensi tinggi,” kata Aji.
Sama halnya dengan Virda Zikria (27), asisten dosen di salah satu universitas negeri di Aceh, yang mengaku antusias dengan penambahan cuti bersama. Namun, ia baru akan memutuskan bepergian ketika memang penyebaran Covid-19 sudah tidak mewabah.
”Kalau Covid-19 sudah tidak lagi mewabah, saya rencananya akan pergi ke Singapura atau Thailand. Tapi, kalau situasi masih parah, lebih baik di rumah saja,” ucapnya.
Berdasarkan worldmeters.info, Covid-19 sudah menyebar di 115 negara dan teritori dengan jumlah kasus mencapai 114.458 kasus. Jumlah kematian orang yang terinfeksi mencapai 4.027 orang, sementara yang sembuh sebanyak 64.105 orang.
Kontraproduktif
Penambahan cuti bersama memang akan mendorong masyarakat untuk berwisata. Namun, itu tidak akan signifikan sehingga bukan cara yang efektif untuk mendorong perekonomian melalui sektor pariwisata. Apalagi, saat ini, tren konsumsi masyarakat sedang melemah akibat menurunnya daya beli.
Data Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga berkontribusi 53 persen-54 persen dalam struktur pertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi rumah tangga cenderung melambat.
Secara tahunan, pertumbuhan konsumsi melambat dari 5,05 persen pada 2018 menjadi 5,04 persen pada 2019. Perlambatan tecermin di hampir semua subsektor, antara lain makanan dan minuman; pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya; serta transportasi dan komunikasi.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai, penambahan cuti bersama di sisi lain justru menurunkan produktivitas di sektor riil karena berkurangnya hari kerja.
”Harus hati-hati betul untuk dikalkulasi. Menurut saya, di tengah situasi daya beli masyarakat yang rendah serta adanya isu Covid-19, penambahan cuti bersama tidak akan banyak efektif untuk mendorong perekonomian,” ujarnya.
Pemerintah, kata Enny, akan lebih baik jika mengambil langkah untuk mengoptimalkan program-program preventif penyebaran Covid-19 yang konkret, misalnya pendistribusian masker dan memastikan adanya pengecekan suhu tubuh di setiap titik keramaian. Dengan begitu, orang-orang akan merasa lebih aman dan berani untuk berwisata.
Selain itu, guna mendorong konsumsi, syarat utamanya adalah ada daya beli. Artinya, pemerintah harus mampu meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja.
”Jadi, menurut saya, daripada menambah hari libur, lebih baik mendorong bagaimana para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah mampu mengisi substitusi impor dari China. Misalnya di industri pakaian jadi sehingga dapat mengambil momentum menjelang Lebaran,” tutur Enny.