RUU Cipta Kerja Masih Dianggap Bakal Pangkas Hak Pekerja
Serikat pekerja masih menganggap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memangkas sebagian besar hak mereka. Sosialisasi dari pemerintah dilakukan untuk melihat dan menampung respons dari serikat pekerja.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Serikat pekerja masih menganggap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja bakal memangkas sebagian besar hak mereka. Sosialisasi dari pemerintah dilakukan untuk melihat dan menampung respons dari serikat pekerja sehingga bisa diputuskan langkah selanjutnya.
Dalam pertemuan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dengan serikat pekerja di Bandung, Ida memberikan pemahaman tentang RUU Cipta Kerja yang dikritisi serikat. Sosialisasi ini dilaksanakan tertutup di Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Bandung, Rabu (11/3/2020).
Pertemuan itu dihadiri sekitar 10 perwakilan serikat pekerja. Mereka antara lain Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN).
Sekretaris Jenderal FKSPN Benny Rusli menganggap RUU Cipta Kerja masih berpihak kepada pengusaha. Karena itu, dia berharap pemerintah berdialog dengan berbagai pihak sebelum undang-undang ini disahkan.
”Resistensi dari teman-teman serikat pekerja masih ada. Mayoritas pasal masih kami anggap mendegradasi, memangkas hak pekerja. Kami berharap pemerintah mau mengkaji ulang. Kalau dipaksakan, akan ada perlawanan,” tutur Benny saat ditemui seusai pertemuan.
Terkait upah minimum provinsi, Benny menjelaskan, pemerintah diharapkan mempertimbangkan kebutuhan pekerja sebelum merumuskan kebijakan. Menurut dia, kebutuhan akan hidup layak diharapkan tetap menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan upah minimum, apalagi tingkat biaya hidup di setiap daerah berbeda.
”Dialog tetap dibutuhkan untuk mengatasi persoalan tersebut. Sekarang perhitungan kebutuhan hidup layak sudah menghilang dalam mengukur tingkat upah, hanya berpatok dari pertumbuhan ekonomi. Makanya didiskusikan dulu, jangan buru-buru,” tuturnya.
Ida mengatakan, dalam pertemuan tersebut ia menerima masukan dari para perwakilan, baik berupa dukungan maupun kritik. ”Kami menjelaskan tentang omnibus law ini ke teman-teman serikat pekerja. Ada masukan dari mereka, ada yang mendukung dan ada yang mengkritisi. Kami akan tampung semua. Yang penting mereka memahami isu yang ada,” ujarnya.
Dialog tetap dibutuhkan untuk mengatasi persoalan tersebut. Sekarang perhitungan kebutuhan hidup layak sudah menghilang dalam mengukur tingkat upah, hanya berpatok dari pertumbuhan ekonomi. Makanya didiskusikan dulu, jangan buru-buru.
Salah satu poin utama yang dikritisi serikat pekerja terkait upah minimum provinsi. Dalam pembahasan upah minimum provinsi, Ida menjelaskan kepada serikat bahwa hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah.
”Kalau ada satu daerah yang lebih tinggi penghasilannya, kemungkinan perusahaan akan merelokasi ke kabupaten yang lebih rendah. Karena itu, kami akan terus berdialog dengan mereka untuk mencari jalan keluar,” ujar Ida.
Terkait penempatan tenaga kerja asing, Ida juga menjelaskan, tidak semua posisi bisa diambil oleh tenaga kerja asing. Pemerintah masih memberlakukan seleksi ketat dan mengutamakan tenaga kerja lokal sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
”Tidak ada pelonggaran masuknya tenaga kerja asing. Kami hanya menerima pekerja luar dengan kompetensi khusus yang belum tersedia di Indonesia. Contohnya, untuk personalia, tidak boleh menerima tenaga asing,” paparnya.