UMKM dengan kemampuan permodalan yang lebih terbatas, lebih rentan terhadap syok akibat wabah Covid-19. Oleh sebab itu, OJK membuat kebijakan restrukturisasi kredit untuk UMKM sebagai stimulus dari sesi permodalan.
Oleh
M Paschalia Judith J/Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM turut terimbas dampak perekonomian merebaknya kasus Covid-19. Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan membuat kebijakan restrukturisasi kredit untuk UMKM sebagai stimulus dari sesi permodalan.
Kebijakan tersebut dinyatakan dalam konferensi pers Stimulus II Dampak Covid-19 di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020). Acara itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Selain itu hadir pula Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, dan Direktur Kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) Ilyas Lubis.
Wimboh berpendapat, UMKM berada di garda terdepan perekonomian nasional dengan total nilai eksposur mencapai Rp 1.100 triliun. "Kalau (UMKM) tidak diberi kemudahan, bangkitnya akan lama. Oleh sebab itu, kami segera memberikan stimulus yang efektif mulai minggu depan," ujarnya.
Menurut Wimboh, stimulus itu berupa restrukturisasi kredit pembiayaan bagi UMKM. OJK telah meminta perbankan merestrukturisasi kredit itu agar kualitas pembiayaan menjadi tergolong lancar. Metodenya dapat berupa, penundaan pembayaran pokok atau penundaan pembayaran bunga.
Selain itu, OJK juga melonggarkan penilaian terhadap kualitas kredit kepada UMKM. OJK menetapkan, penilaian kualitas pembiayaan tersebut cukup berdasarkan ketepatan waktu dalam membayar pokok, bunga, atau pokok dan bunga kredit.
"Stimulus-stimulus itu berlaku bagi UMKM yang sektornya terdampak wabah Covid-19. Restrukturisasi kredit pun dapat dilakukan perbankan setelah debitur UMKM terkena dampak Covid-19," ujarnya.
Kedua stimulus OJK itu juga berlaku bagi pelaku yang skala usahanya di atas UMKM. Khusus untuk kebijakan pelonggaran penilaian kredit, OJK menetapkan, jumlah pembiayaan maksimal sebesar Rp 10 miliar.
Menurut Wimboh, kedua strategi tersebut ini penting untuk menyokong peran perbankan dalam mengoptimalkan efektivitas stimulus fiskal dan nonfiskal dari pemerintah bagi pelaku usaha dan industri. "Kami ingin memperluas gerak para pelaku usaha agar dapat memanfaatkan berbagai stimulus dari pemerintah," ujarnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam, mengatakan, kredit di ranah UMKM menghadapi ancaman meningkatnya kredit macet (non-performing loans atau NPL). "UMKM dengan kemampuan permodalan yang lebih terbatas, lebih rentan terhadap syok akibat Covid-19," kata dia.
UMKM dengan kemampuan permodalan yang lebih terbatas, lebih rentan terhadap syok akibat Covid-19.
Piter berpendapat, langkah OJK dalam restrukturisasi kredit tersebut sudah tepat di tengah tekanan dari potensi kenaikan NPL akibat perlambatan ekonomi. Kebijakan dari OJK ini juga melengkapi strategi moneter Bank Indonesia yang melonggarkan giro wajib minimum (GWM) perbankan. Tanpa stimulus yang diputuskan OJK tersebut, NPL akan meningkat dan perbankan mesti memperbesar cadangannya yang semakin menyedot likuiditas.
Pasar keuangan
Sementara, pasar keuangan dan pasar saham global semakin tertekan dampak pandemi Covid-19. Langkah investor yang beramai-ramai menarik modalnya dari pasar investasi portfolio Indonesia, khususnya surat berharga negara (SBN), menimbulkan lonjakan kurs rupiah dan melemahkan nilai tukar rupiah. BI pun terus meningkatkan intervensinya untuk menstabilkan pasar keuangan.
Pada penutupan perdagangan Jumat Sore, rupiah melemah 256 poin atau 1,76 persen menjadi Rp 14.778 per dollar AS dari hari sebelumnya yang berada di level Rp 14.522 per dollar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, rupiah mengalami tekanan signifikan. Ini karena berlanjutnya pelepasan SBN oleh investor asing yang panik dengan kondisi pasar keuangan global yang meradang.
Kepanikan investor bertambah setelah bursa saham di seluruh dunia rontok, khususnya bursa saham AS yang anjlok sekitar 10 persen. Pelepasan SBN berbondong-bondong itu memicu pembelian valuta asing (valas) yang besar, khususnya di pasar antar bank.
“Bank-bank kustodian di domestik dipanggil oleh bank-bank di luar yuridiksi (offshore) untuk membeli valas dalam jumlah yang cukup besar sehingga menimbulkan lonjakan kurs rupiah,” kata dia.
Untuk meredakan tekanan, lanjut Nanang, BI meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan melalui penjualan instrumen Domestic Nondeliverable Forward (DNDF), serta pembelian SBN sebanyak dua kali lelang pada sesi Jumat pagi dan sore.
Pada lelang sesi pagi, penawaran masuk mencapai Rp 11 triliun dan dimenangkan dengan pembelian senilai Rp 6 triliun. Sementara, pada lelang sesi sore, penawaran masuk sebesar Rp 3 triliun dan dimenangkan dengan pembelian Rp 1,78 triliun.
BI mencatat, sepanjang 2020, sampai 13 Maret 2020, BI sudah memborong SBN dari pasar dengan jumlah nilai total Rp 140 triliun. Adapun aliran modal asing yang keluar dari SBN sejak kasus Covid-19 merebak pada 20 Januari 2020 sampai hari ini mencapai Rp 70 triliun.
“Pembelian SBN ini dilakukan untuk mencegah penjualan SBN oleh investor asing yang bisa mengarah pada penjualan berskala besar yang bisa memukul balik nilai rupiah kita hingga melemah tajam,” kata Nanang.
Pembelian SBN ini dilakukan untuk mencegah penjualan SBN oleh investor asing yang bisa mengarah pada penjualan berskala besar yang bisa memukul balik nilai rupiah kita hingga melemah tajam.
Selain lewat pembelian SBN, BI juga tetap mengintervensi transaksi forward (berjangka) lewat penerapan kebijakan DNDF sebagai instrument hedging atau lindung nilai domestik.
Nanang mengatakan, sentimen negatif tidak hanya dirasakan oleh pasar keuangan dalam negeri, tetapi juga secara global. Ia menyontohkan, indeks saham global terus jatuh, bahkan indeks saham Amerika Serikat menccapai pelemahan terdalam sejak kejadian kejatuhan pasar pada 1987 yang dikenal dengan nama Black Monday.
“Meski Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, telah mengumumkan akan memompa likuiditas secara agresif di pasar keuangan dengan total 5,4 triliun lewat operasi masuk ke pasar repo (repurchase agreement) dan pembelian obligasi AS (UST), tetapi pelemahan indeks saham terus berlanjut,” pungkasnya.