Pelaku pasar belum sepenuhnya yakin langkah The Fed dapat meredam kepanikan pasar. Kondisi ini terjadi lantaran pelaku pasar khawatir terhadap dampak ekonomi yang disebabkan wabah Covid-19.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemangkasan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat hingga 1 persen tidak memberi dampak positif terhadap kinerja pasar modal regional Asia dan Indonesia. Kekhawatiran pelaku pasar terhadap dampak ekonomi dari penyebaran wabah Covid-19 masih membebani indeks saham di bursa Asia.
Pada perdagangan awal pekan, Senin (16/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dututup melemah 4,42 persen atau 216,91 poin ke level 4.690,66. Meski melemah, investor asing mulai mencatatkan aksi beli bersih mencapai Rp 238,11 miliar.
Sentimen kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed, untuk memangkas suku bunga acuan Fed Fund Rate dari sebelumnya 1-1,25 persen menjadi kisaran 0-0,25 persen belum berdampak positif terhadap kinerja pasar saham domestik.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai, pelaku pasar belum sepenuhnya yakin langkah The Fed dapat meredam kepanikan pasar. Kondisi ini terjadi lantaran pelaku pasar khawatir terhadap dampak ekonomi yang disebabkan penyebaran penyakit yang disebabkan virus korona baru (Covid-19).
Dengan dipangkasnya suku bunga ke level terendah, secara otomatis amunisi The Fed untuk mengontrol stabilitas ekonomi AS menipis. ”Tetapi, menurut saya, langkah The Fed untuk menurunkan suku bunga dan pembelian obligasi sangat penting. Tujuannya, untuk meminimalkan dampak dari Covid-19,” ujarnya.
Pelaku pasar belum sepenuhnya yakin langkah The Fed dapat meredam kepanikan pasar.
Selain memangkas suku bunga, The Fed juga meluncurkan program quantitative easing (pelonggaran kuantitatif) sebesar 700 miliar dollar AS untuk memerangi efek negatif mewabahnya Covid-19 terhadap kinerja perekonomian AS. Sejalan dengan harapan investor atas stimulus lebih lanjut dari The Fed, indeks bursa saham di AS mengalami penguatan.
Pelonggaran kuantitatif adalah kebijakan moneter nonkonvensional yang dipakai bank sentral untuk mencegah penurunan suplai uang ketika kebijakan moneter standar mulai tidak efektif.
Pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu, bursa saham AS ditutup menguat, di antaranya indeks Dow Jones (9,36 persen), Nasdaq (9,35 persen), dan S&P 500 (9,29 persen).
Namun, di sisi lain, bursa-bursa di kawasan Asia mengalami penurunan yang dalam sehingga memberikan efek domino ekonomi yang negatif bagi pergerakan IHSG. Indeks Hang Seng Hong Kong melemah 4,03 persen, Nikkei 225 Jepang (2,46 persen), FTSE Straits Times Singapura (5,03 persen), serta indeks Kospi Korea Selatan (3,19 persen).
”Penurunan dalam bursa-bursa tersebut memberikan efek domino ekonomi yang negatif bagi pergerakan IHSG,” ujar Hans.
Pelemahan yang terjadi pada IHSG sejalan dengan pelemahan terhadap nilai tukar rupiah. Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Senin ini, rupiah berada pada level Rp 14.818 per dollar AS, melemah 3 poin dari akhir pekan lalu.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi menilai, pelemahan rupiah hari ini masih disebabkan oleh sentimen penyebaran Covid-19.
Sementara sisi domestik, Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) pada Februari 2020 yang mengalami surplus sebesar 2,34 miliar dollar AS dengan angka ekspor mencapai 13,94 miliar dollar AS dan impor 11,60 miliar dolar AS tidak berpengaruh signifikan terhadap penguatan rupiah.
”Respons pasar terhadap surplus neraca perdagangan kurang baik karena mereka lebih fokus pada upaya pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19,” ujarnya.