Ambisi Kejar Tayang RUU Cipta Kerja Terhambat Virus Korona?
Pembahasan RUU Cipta Kerja di tingkat wakil rakyat dibayangi wabah Covid-19. Akankah pembahasan akan ditunda ataukah ambisi kejar tayang itu tetap mengemuka di tengah merebaknya Covid-19?
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah persimpangan pascamakin merebaknya virus korona. Akibat imbas wabah pandemi Covid-19, pembahasan regulasi sapu jagat oleh Dewan Perwakilan Rakyat itu kemungkinan besar bisa ditunda.
Penundaan itu dengan mempertimbangkan munculnya kebijakan pencegahan penyebaran virus korona lewat pembatalan forum-forum rapat yang melibatkan banyak orang untuk beberapa waktu ke depan. Namun, di tengah tenggat kejar tayang, pembahasan dimungkinkan pula menggunakan konferensi video.
Awalnya DPR dan pemerintah menargetkan pembahasan RUU Cipta Kerja setelah DPR mengakhiri masa resesnya pada 23 Maret 2020. RUU berkonsep sapu jagat (omnibus law) yang diserahkan pemerintah ke DPR pada 12 Februari 2020 itu ditargetkan rampung pada Mei 2020, di tengah penolakan luas dari publik.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Jakarta, Senin (16/3/2020), mengatakan, melihat perkembangan kondisi terkini, DPR tidak menutup kemungkinan akan menunda pembahasan RUU tersebut. Penundaan akan dilakukan jika kondisi penyebaran virus korona dalam beberapa pekan ke depan semakin meluas.
”Ini untuk kebaikan bersama dan menghindari penyebaran virus karena pembahasan dari RUU ini pasti akan melibatkan banyak pihak dan unsur masyarakat sehingga rentan terjadi penularan virus atau hal-hal lain yang tidak diinginkan,” katanya.
Opsi kedua selain menunda pembahasan adalah membahas RUU sapu jagat itu dengan tatap muka secara virtual untuk mengejar target pembahasan selama 100 hari yang sudah ditetapkan pemerintah. ”Yang pasti, dipastikan kami akan tetap membahas RUU tersebut,” ujar Dasco.
Opsi kedua selain menunda pembahasan adalah membahas RUU sapu jagat itu dengan tatap muka secara virtual untuk mengejar target pembahasan selama 100 hari yang sudah ditetapkan pemerintah.
Sampai hari ini, RUU Cipta Kerja masih memancing penolakan dari publik, khususnya terkait sektor ketenagakerjaan. Untuk menolak pasal-pasal terkait ketenagakerjaan itu, kelompok buruh merencanakan unjuk rasa di Jakarta pada 23 Maret 2020. Berbagai rangkaian aksi di daerah sudah dilakukan, seperti aksi unjuk rasa Gejayan Memanggil di Yogyakarta pada 9 Maret 2020.
Senin (16/3/2020), unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja juga berlangsung di Bandung, Jawa Barat. Aksi terjadi meski ada imbauan untuk menghindari kerumunan di tengah penyebaran wabah Covid-19 yang disebabkan virus korona tipe baru.
Beberapa hal yang diprotes buruh adalah peraturan upah minimum pekerja yang hanya didasarkan pada upah minimum provinsi, perluasan definisi status kerja pegawai kontrak (pekerja dengan waktu tertentu) dan pekerja alih daya (outsource), serta mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipermudah dalam RUU Cipta Kerja.
Perubahan isi RUU
Di tengah protes buruh, dalam sebulan terakhir, pemerintah mengadakan sosialisasi dan forum audiensi dengan berbagai perwakilan asosiasi buruh. Tidak menutup kemungkinan, draf RUU akan berubah dari versi awal.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan, hasil audiensi itu akan ditampung dalam draf RUU Cipta Kerja yang akan dibahas bersama DPR, serta rancangan peraturan teknisnya. Terkait itu, ada beberapa substansi yang akan berbeda dibandingkan draf awal.
Ida mencontohkan, sejumlah sanksi pidana bagi pelaku usaha di draf RUU Cipta Kerja tidak dihapus dan akan tetap eksis sebagaimana yang berlaku di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sejumlah sanksi pidana bagi pelaku usaha di draf RUU Cipta Kerja tidak dihapus dan akan tetap eksis sebagaimana yang berlaku di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sanksi pidana itu awalnya tercantum dalam ketentuan Pasal 185 sampai Pasal 190 UU Ketenagakerjaan. Dalam RUU Cipta kerja, ketentuan itu diubah. Ada beberapa sanksi pidana bagi perusahaan yang dihapus, misalnya, sanksi pidana jika pengusaha membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
Selain itu, ada pula penghapusan pidana yang selama ini melindungi hak-hak buruh perempuan. Contohnya, sanksi kepada perusahaan jika mempekerjakan buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun atau yang sedang hamil di atas jam kerja normal (pukul 23.00 sampai pukul 07.00).
Di dalam UU Ketenagakerjaan, jika pengusaha melanggar ketentuan itu, pengusaha dikenai sanksi pidana paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun, serta denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
Saat ditanyakan terkait ketentuan ini, Ida mengatakan, sanksi pidana terkait ketenagakerjaan tidak akan dihapus. ”Tidak dihapuskan, ada banyak yang mengatakan itu akan dihapus, tetapi tidak. Ketentuan pidana atau sanksi di UU omnibus law tetap eksis,” katanya.
Senada, Sekretaris Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Andriani menegaskan, tidak ada sanksi pidana terkait relasi buruh-perusahaan yang akan dihapus di RUU Cipta Kerja. Substansi pidana yang hilang di draf kelak akan diatur detail dalam peraturan turunan.
”Sanksi-sanksi pidana terkait kluster ketenagakerjaan yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya tetap ada. Nanti dimasukkan di peraturan turunan (peraturan pemerintah dan peraturan menteri),” katanya.