Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mendorong percepatan impor gula guna mengantisipasi kelangkaan persediaan menjelang masa produksi dan mencegah lonjakan harga.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan, pihaknya mendorong percepatan impor gula guna mengantisipasi kelangkaan persediaan menjelang masa produksi dan mencegah lonjakan harga. Masa puasa akan berlangsung akhir April, sedangkan musim giling diyakini akan dilaksanakan pada awal atau pertengahan Juni. Sampai dengan masa puasa dan musim giling tiba, stok harus dijaga sehingga harga komoditas ini tidak melambung tinggi.
Namun, harga gula setidaknya sepekan terakhir sudah di kisaran Rp 16.500-Rp 18.000 per kilogram. Harga terkini jauh berbeda dibandingkan dengan sebulan lalu di kisaran Rp 13.500 per kg yang juga masih di atas harga eceran tertinggi Rp 12.500 per kg. Artinya, kenaikan harga sebulan terakhir dari Rp 13.500 ke Rp 16.500-Rp 18.000 per kg di kisaran 16-18 persen.
Akan ada kekosongan pasokan sampai tiga bulan mendatang sehingga kami memandang perlu impor dalam bentuk raw sugar atau gula konsumsi. (Khofifah Indar Parawansa)
Di sisi lain, dengan harga yang cukup tinggi itu, ketersediaan gula tak terjamin. Komoditas ini mulai sulit didapat di pasar tradisional hingga jaringan toko retail. Jika gula ada, pembelian dibatasi, yakni 1 kg per orang atau per kedatangan. Namun, pembatasan pembelian yang diberlakukan oleh pengecer di pasar tradisional dan toko retail di Surabaya tidak efektif.
Ada konsumen yang cenderung menimbun persediaan, yakni bergantian dengan kerabat atau anggota keluarganya untuk membeli gula di pasar dan toko retail.
Bergantian membeli merupakan cara sederhana. Apalagi saat ini masyarakat dihadapkan pada situasi pandemi virus korona dan imbauan dari pemerintah untuk membatasi aktivitas kecuali untuk membeli kebutuhan pokok. Masker dan cairan pembersih (disinfektan atau sanitizer) juga sulit didapat di toko retail atau apotek. Jika barang ada, pembelian dibatasi dan harganya naik lebih dari empat kali lipat dibandingkan dengan kondisi biasa.
Padahal, pemerintah, termasuk di Jatim, sudah berkali-kali mengumumkan kepada masyarakat melalui media massa dan media sosial untuk tidak panik dan terdorong membeli guna menimbun bahan kebutuhan pokok, termasuk gula. Efektivitas permintaan atau imbauan diragukan karena untuk mendapatkan 1 kg gula, perlu usaha luar biasa dengan mencarinya di pasar dan toko.
Menurut Khofifah, kebutuhan konsumsi gula di Jatim sebesar 37.000 ton per bulan. Dengan begitu, sampai dengan musim giling tiba tiga bulan mendatang, persediaan yang harus ada di Jatim setidaknya 109.000 ton. ”Akan ada kekosongan pasokan sampai tiga bulan mendatang sehingga kami memandang perlu impor dalam bentuk raw sugar atau gula konsumsi,” ujarnya di Surabaya, Selasa (17/3/2020).
Masalah ketersediaan menjadi tantangan karena sebelum musim produksi tiba, akan datang bulan puasa lalu Lebaran. Di masa puasa, konsumsi bahan makanan pokok diyakini naik. Konsumsi gula juga akan naik. Kalangan masyarakat akan memakai gula untuk makanan dan minuman yang dikonsumsi sendiri atau dijual selama masa puasa. Industri makanan dan minuman diduga juga akan menaikkan konsumsi gula untuk produknya.
”Persediaan masih cukup, tetapi harga terus terkoreksi sehingga perlu solusi untuk stabilitas harga,” kata Khofifah, mantan Menteri Sosial itu. Dari laporan yang diterimanya, untuk Jatim, impor gula sudah masuk sebanyak 35.000 ton raw sugar.
Sebanyak 10.000 ton merupakan hak PT Kebun Tebu Mas. Masih ada 25.000 ton yang belum dikeluarkan dari kepabeanan. Pemprov Jatim menunggu pemerintah pusat yang akan menerbitkan persetujuan bagi sejumlah perusahaan. Dengan demikian, nanti bisa diawasi siapa pemegang izin impornya, kuota atau jumlahnya, dan distribusinya hingga ke pasar.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Jatim Karyadi mengatakan, pasokan gula di Jatim pada 2019 sebanyak 1,04 juta ton. Konsumsi masyarakat hanya 450.000 ton sehingga ada kelebihan 596.000 ton. Namun, kelebihan itu terdistribusi ke provinsi lain karena pasokan gula secara nasional berkurang.
Sebagai produsen gula nasional, lanjut Karyadi, Jatim harus mendistribusikan pasokan yang didapat ke daerah lain. Pada 2019, produksi gula nasional 2,22 juta ton, sedangkan konsumsinya lebih banyak, yakni 2,85 juta ton. Kekurangan sebanyak 627.000 ton. ”Sebagian ditutupi dari pasokan yang ada di Jatim,” katanya.
Stok kritis
Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Indonesia Aris Toharisman mengatakan, saat ini stok gula nasional benar-benar kritis. Stok gula secara riil saat ini hanya mencapai 8.244 ton. Padahal, kebutuhan gula konsumsi nasional rata-rata setiap bulan sebanyak 220.000 ton. ”Minimnya stok seluruh produsen gula, termasuk milik pedagang, menjadi salah satu pemicu melonjaknya harga gula,” kata Direktur Operasional PT Perkebunan Nusantara X itu.
Untuk meringankan beban warga Surabaya dari harga gula yang melonjak, Pemerintah Kota Surabaya sejak Januari terus menggelar operasi pasar secara bergiliran di kelurahan atau kecamatan.
Dalam operasi pasar, kata Kepala Dinas Perdagangan Kota Surabaya Wiwiek Widayati, selalu disediakan kebutuhan pokok, antara lain gula, beras, telur, bahkan bawang merah dan bawang putih. Khusus gula, di setiap titik didrop 150 kg untuk dijual ke masyarakat dengan harga Rp 12.200-Rp 12.500 per kg.
Padahal, di pasaran, selain harga sudah mencapai Rp 18.500 per kg, untuk mendapatkan komoditas gula berbasis tebu ini juga sulit. ”Susah dapat pasokan dari agen, saya sudah seminggu belum juga dikirim,” kata Najib, pemilik kedai kelontong di Gunung Anyar, Surabaya.