Buruh, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula
Bagi sebagian pekerja, bekerja dari rumah menjadi keputusan dilematis. Jika tidak bekerja, hilang nafkah; jika bekerja, risiko tertular atau menularkan sakit.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitu kisah buruh negeri tercinta kita, Nusantara. Belum pulih dari tekanan inflasi, upah riil buruh berpotensi semakin terdistorsi.
Kini, kebijakan bekerja di rumah telah digaungkan menyusul meluasnya wabah Covid-19, penyakit yang disebabkan virus korona baru. Di sisi lain, merumahkan pekerja secara sementara—bukan lantaran kebijakan itu—juga terjadi karena kesulitan mendapatkan bahan baku/penolong dan sepinya kunjungan wisatawan.
Sebagian orang mulai menerapkan kegiatan bekerja dari rumah. Namun, penerapannya tidak bisa dipukul rata untuk semua kalangan. Bagi sebagian pekerja, itu menjadi keputusan dilematis: jika tidak bekerja, hilang nafkah; jika bekerja, risiko tertular atau menularkan sakit. Hal ini perlu diantisipasi pemerintah, apalagi jika skenario terburuk lockdown terjadi.
Kelompok yang harus menghadapi dilema bekerja dari rumah antara lain buruh industri manufaktur yang tetap harus ke pabrik, pekerja lapangan seperti jurnalis, pekerja informal harian yang tidak akan mendapat upah jika tidak datang bekerja, serta karyawan yang perusahaannya tidak memberi keringanan bekerja dari rumah.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar di Jakarta, Senin (16/3/2020), mengatakan, opsi bekerja dari rumah adalah keistimewaan yang tidak bisa dirasakan semua kalangan pekerja. Ada jenis pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dari rumah, sementara ada juga perusahaan yang enggan memberi keringanan bekerja dari rumah atau mengizinkan cuti berbayar.
”Dilema itu terlebih dihadapi pekerja informal yang dibayar harian. Mereka praktis tidak akan mendapat upah jika tidak datang bekerja,” ujarnya.
Lanskap tenaga kerja Indonesia masih didominasi pekerja informal. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Agustus 2019, jumlah pekerja informal mencapai 70,49 juta orang atau 55,72 persen, sedangkan pekerja formal 56,02 juta orang atau 44,28 persen.
Pekerja informal umumnya bekerja di segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan dari negara dan usahanya tidak dikenai pajak, antara lain penarik becak, pedagang kaki lima, petugas kebersihan, buruh pabrik, buruh tani, dan kuli bangunan.
Mereka tergolong rentan karena tidak mendapat hak dasar dan jaminan sosial seperti pekerja formal lainnya. Pekerja informal juga umumnya diupah lebih rendah daripada pekerja formal.
Jika pekerja informal memutuskan tidak bekerja, mereka akan kehilangan pendapatan, yang berarti akan berpengaruh signifikan ke daya beli masyarakat, yang akan berdampak pada laju konsumsi rumah tangga dan kondisi ekonomi secara makro. Daya beli yang menurun itu juga berbahaya di tengah pandemi seperti ini karena masyarakat jadi sulit mengakses keperluan medis dan layanan kesehatan.
”Ini dilema. Kalau dia tidak datang bekerja, dia tidak dibayar, tidak ada penghasilan, bagaimana biaya hidupnya? Kalau tetap bekerja, bagaimana kesehatannya dan orang di sekitarnya? Sementara di kondisi force majeur seperti ini dengan arus kas perusahaan yang juga macet, mau tetap memberi gaji juga tentu susah,” tutur Timboel.
Ini dilema. Kalau dia tidak datang bekerja, dia tidak dibayar, tidak ada penghasilan, bagaimana biaya hidupnya? Kalau tetap bekerja, bagaimana kesehatannya dan orang di sekitarnya?
Dilema juga dihadapi sektor manufaktur. Beberapa pekerjaan, karena menggunakan mesin, harus dikerjakan buruh di pabrik. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Johnny Darmawan memahami, imbauan menghindari kerumunan dan melakukan pembatasan sosial (social distancing) salah satunya adalah lingkungan kerja di pabrik.
Namun, beberapa jenis pekerjaan di pabrik tidak bisa dipindahkan ke rumah. ”Kecuali pabriknya sudah bergantung pada robot, tetapi pabrik-pabrik di Indonesia, kan, mayoritas masih mengandalkan pegawai,” katanya.
Beberapa jenis pekerjaan di pabrik tidak bisa dipindahkan ke rumah. Kecuali pabriknya sudah bergantung pada robot, tetapi pabrik-pabrik di Indonesia, kan, mayoritas masih mengandalkan pegawai.
Baca juga : Upah Riil Buruh Tertekan di Tengah Panik Belanja
Ia mengatakan, perusahaan pun harus memilah mana jenis pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah dan mana yang tetap harus di pabrik. Protokol khusus untuk industri manufaktur dibutuhkan agar bisa mencapai titik keseimbangan antara menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja, tetapi juga tidak menghentikan roda produksi total.
”Kalau mau diliburkan, bisa, tetapi risikonya clear. Tidak ada barang yang diproduksi. Jadi, work from home ini memang tidak semudah itu. Kerjaan yang bisa dibawa pulang, silakan. Tetapi, kalau tidak, bagaimana dibuat sedemikian rupa agar tempat kerja bersih, steril, dan aman,” katanya.
Misalnya, menyemprot lingkungan kerja di pabrik dengan disinfektan secara berkala dua kali sehari, memeriksa dengan rinci kondisi kesehatan buruh yang masuk ke pabrik, termasuk pengecekan suhu berkala, penyediaan masker dan cairan antiseptik untuk buruh saat bekerja, serta jika perlu, mengatur ulang tata letak tempat kerja agar buruh tetap menjaga jarak batas yang aman.
Kebijakan pemerintah
Kebijakan bekerja dari rumah disuarakan Presiden Joko Widodo melalui imbauan ”bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah dari rumah”. Di DKI Jakarta, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi menerjemahkannya dengan mengeluarkan surat edaran imbauan bekerja di rumah kepada pelaku usaha.
Surat edaran bernomor 14/SE/2020 tentang imbauan bekerja di rumah itu diterbitkan pada 15 Maret 2020 dan diteken oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta Andri Yansyah.
Surat edaran itu mengatur tiga kategori. Pertama, perusahaan untuk sementara waktu menghentikan seluruh kegiatan usahanya. Kedua, perusahaan untuk sementara waktu mengurangi sebagian kegiatan usahanya (sebagian karyawan, waktu dan fasilitas operasional). Ketiga, perusahaan tidak dapat menghentikan kegiatan usahanya mengingat kepentingan langsung yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, kebutuhan bahan pokok, dan bahan bakar minyak.
Dalam mengambil langkah kebijakan itu, perusahaan diminta melibatkan pekerja atau buruh dan serikat pekerja atau buruh di perusahaan terkait.
Dalam rapat antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan perwakilan Apindo serta Kadin DKI Jakarta pada Minggu (15/3/2020) diputuskan, sektor usaha yang menutup seluruh kegiatannya aadalah tempat wisata, hiburan, dan lembaga pendidikan.
Sementara yang menutup sebagian usahanya atau mengurangi jam operasional adalah sektor perhotelan, restoran, retail, perbankan dan jasa keuangan lainnya, serta sebagian industri manufaktur. Adapun perusahaan yang tidak bisa menutup kegiatan usahanya adalah industri alat kesehatan, sektor pelayanan kesehatan, jasa pemenuhan kebutuhan bahan pokok dan BBM, serta jasa angkutan penumpang dan barang.
Sejumlah perusahaan mulai menerapkan imbauan itu, termasuk perusahaan BUMN seperti Bank Mandiri dan Perum Bulog. Di Bank Mandiri, cabang-cabang tetap beroperasi normal dari pukul 08.00 sampai pukul 15.00. Namun, nasabah diimbau menggunakan aplikasi Mandiri Online.
Sementara penerapan kerja dari rumah di Bulog akan dilakukan untuk wilayah kerja kantor pusat dan kantor wilayah DKI Jakarta serta Banten. Ada pemetaan jenis pekerjaan yang harus tetap berjalan dan yang dapat dilakukan dari rumah.
Mengingat ini sudah menjadi kebijakan pemerintah, Timboel mengatakan, intervensi pemerintah penting untuk memastikan perusahaan menerapkannya. Kesehatan pekerja dan upaya bersama untuk menekan laju penyebaran virus harus menjadi prioritas saat ini. Di sisi lain, pemerintah juga tetap perlu menjaga daya beli pekerja yang terancam kehilangan pendapatan, seperti pekerja informal harian.
Di sejumlah negara, persoalan ini mulai disikapi. Amerika Serikat, misalnya, tengah membahas paket stimulus bagi pekerja yang ingin mengambil cuti atau izin sakit berbayar (paid sick leave). Paket itu disiapkan untuk membantu kelas buruh dan masyarakat menengah ke bawah yang sulit melewati krisis karena nafkahnya terancam.
Di Korea Selatan, pemerintah mengeluarkan paket stimulus 9,8 miliar dollar AS untuk menyubsidi beban gaji karyawan perusahaan kecil dan menengah serta memberi pelatihan untuk pekerja yang di-PHK. Italia juga mengeluarkan stimulus 28 miliar dollar AS yang salah satu poinnya juga memberi bantuan untuk pekerja yang pemasukannya berhenti atau terancam di-PHK.
Baca juga : Nasib Buruh di Antara Virus Korona dan ”Omnibus Law”
Timboel mengatakan, ini bisa menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pemprov DKI Jakarta, misalnya, memiliki program kartu pekerja untuk membantu pekerja yang gajinya setara atau 10 persen di atas upah minimum provinsi. Kartu itu bisa memberi subsidi pangan dalam bentuk potongan harga, subsidi berbelanja grosir, serta fasilitas transportasi umum gratis.
Dalam kondisi darurat seperti ini, cakupan program bisa diperluas untuk menyubsidi pekerja informal harian yang terancam hilang pendapatan. ”Pemerintah harus intervensi mencari cara membantu agar daya beli dan kebutuhan hidup warganya terpenuhi,” katanya.
Kesampingkan untung-rugi
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakrie, prioritas saat ini adalah menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja di tengah wabah Covid-19. Untuk itu, perusahaan mau tidak mau harus mengesampingkan hitung-hitungan untung-rugi.
Adapun perusahaan alas kaki dalam dua bulan terakhir sudah menurunkan target produksi hingga 20 persen untuk industri besar. Untuk industi kecil dan menengah, produksi diturunkan hingga 30 persen.
”Kerugian di tengah kondisi seperti ini sudah pasti. Sudah dua bulan terakhir kami merugi. Produksi sudah diturunkan karena bahan baku seret. Sekarang, bahan baku sudah ada, seharusnya kami sudah kejar produksi, tetapi ternyata kita positif korona, jadi situasi bergeser lagi,” katanya.
Beberapa karyawan dapat diinstruksikan bekerja dari rumah, kecuali buruh di bagian produksi. Jam kerja akan dibuat bergiliran agar buruh tidak terlalu lelah dan jumlah orang di dalam satu ruangan tidak kebanyakan. Jika kondisi semakin parah, industri juga bersiap untuk skenario lockdown dan pabrik harus ditutup.
”Kita berharap tidak sampai lockdown. Tetapi, kalau iya, kami akan stop produksi, kami akan minta menunda pengiriman. Produksi akan dikejar lagi begitu wabah reda. Kerugian pasti ada. Tetapi, kalau sampai pemerintah putuskan lockdown, kami juga akan tutup untuk langkah pengamanan,” tuturnya.
Di sisi lain, Timboel mengingatkan pentingnya menjaga daya beli pekerja dengan tetap menjamin upah yang utuh meski pekerjaan dibawa ke rumah. Setidaknya komponen utama seperti gaji pokok tetap dibayar selayaknya.
”Minimal sebatas upah minimum harus diterima. Di sisi lain, pekerja harus rela mengorbankan uang makan dan tunjangan lainnya. Ini konsekuensi yang harus dihadapi bersama. Yang penting hak-hak dasar tetap terjamin,” katanya.
Baca juga : Lindungi Rakyat, Jaga Daya Beli
Ia juga berharap industri tidak mengejar keuntungan di tengah kondisi saat ini dan mengesampingkan keselamatan pekerja. Beberapa pekerjaan yang bisa digeser dari mesin ke manual dapat dilakukan. Meski kualitas produk akan menurun, langkah darurat seperti itu bisa diambil untuk memastikan produksi tetap berjalan, buruh tetap bekerja, tanpa perlu mempertaruhkan kesehatan.
”Tidak usah saling menyalahkan, tidak usah mengejar untung, karena akan sulit mengukurnya di tengah situasi seperti ini. Kalau mau untung dan mengejar produksi, risikonya, pemulihan nanti bisa lebih lama,” katanya.
Johnny Darmawan mengatakan, Kadin sudah mengimbau setiap perusahaan untuk tetap mengutamakan perlindungan dan keselamatan pekerja. Demikian pula, untuk pekerja yang dibayar harian, perusahaan harus memikirkan cara untuk tetap memberi upah sewajarnya untuk membantu daya beli di tengah wabah.
”Upah tetap harus utuh, tetap ada aturan yang harus diikuti. Di saat-saat seperti ini, kita harus saling percaya dan berpikir positif. Pengusaha percaya pegawai tidak curang, pengusaha juga tetap memberi gaji utuh,” katanya.